Menuju konten utama

Selain Mendengarkan, Bertanya Jadi Kunci Suksesnya Obrolan

Buat sebagian orang, berbaur dan bicara pada orang asing bukan hal mudah.

Ilustrasi berbaur. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Berbicara dengan orang yang belum kita kenal sama sekali atau tidak kita kenal dekat bagi beberapa orang bukan perkara yang mudah. Orang yang tidak nyaman dengan aktivitas ini akan selalu berusaha menghindari situasi mingling ini.

Namun, seberapa pun usaha kita untuk menghindar, pada titik tertentu kita tidak akan bisa menolak untuk terlibat dalam obrolan yang asing dalam sebuah acara bersama; baik dalam lingkup keluarga, kantor, maupun masyarakat sekitar.

Selain karena hakikat kita sebagai bagian dari masyarakat, terlibat dalam obrolan (dengan orang asing) dapat membuka peluang baik pertemanan, ide, maupun bisnis baru bagi kita.

Keengganan untuk berbincang dengan orang yang tidak terlalu dekat atau kenal ini terjadi sebenarnya karena kita merasa tidak memiliki kesamaan dengan orang yang kita temui. Mungkin karena perbedaan generasi, tingkat pendidikan, profesi, atau status sosial ekonomi. Kita khawatir kehabisan bahan pembicaraan setelah basa-basi singkat lalu suasana akan terasa canggung.

Kita mungkin juga takut terlihat konyol, mengucapkan sesuatu yang bodoh atau jangan-jangan malah menyinggung. Kita cemas akan terjebak dalam perbincangan membosankan dengan orang yang salah, lalu tak bisa kabur.

Sebuah riset pada 2014 yang dilakukan Juliana Schroeder –lektor University of California, Berkeley, Haas School of Business—meneliti tentang interaksi sosial di dalam bus dan kereta, seperti yang dilansir oleh HuffPost.

Schroeder menyimpulkan bahwa ada dua alasan utama mengapa kita enggan berbicara dengan orang asing (walaupun sebenarnya ingin), yaitu ketakutan terhadap penolakan sosial dan pengabaian pluralistis.

Pengabaian pluralistis dalam penelitian ini berarti responden percaya bahwa orang lain tidak tertarik berinteraksi dengan diri mereka, walaupun responden sebenarnya tertarik berbicara pada orang itu.

Menurut Schroeder, rasa takut ditolak secara sosial sangat besar. Responden percaya bahwa lebih dari 50% orang yang mereka dekati akan menolak berbicara dengan mereka. Padahal, hanya 5% responden yang pernah mengalami penolakan seperti ini.

Responden berpikir bahwa orang lain tidak tertarik mengobrol karena orang lain tampak diam saja, memakai earphone atau bermain ponsel. Namun ternyata –menurut penelitian ini—sibuk dengan ponsel atau menutup kuping dengan earphone tidak selalu berarti seseorang tak tertarik diajak berinteraksi.

Penghalang untuk berbaur lainnya adalah asumsi bahwa kita takkan cocok dengan lawan bicara.

Oleh karena itu, kita perlu memiliki pola pikir bahwa semua orang pasti punya sisi menarik. Dan tugas kitalah untuk menemukan sisi itu.

Menurut Georgie Nightingall, pendiri Trigger Conversations – organisasi yang menawarkan pelatihan untuk menciptakan percakapan yang lebih bermakna - kita tak perlu punya kesamaan dengan orang lain untuk menemukan sisi menarik mereka.

Misalnya, jika orang yang kita ajak bicara ternyata hobi main golf, kita tak perlu punya kesukaan yang sama untuk bisa mengobrol tentang topik itu. Tapi kita dapat memanfaatkan kesempatan ini untuk mencari tahu apa menariknya olahraga golf dan mengapa orang itu getol bermain golf.

Semua Punya Kerentanan

Ada pandangan lain yang dijabarkan dalam video YouTube The School of Life tentang penyebab kita enggan atau malu berbaur dalam keriaan acara. Rasa malu itu timbul karena kita berasumsi kalau orang lain pasti lebih baik dari kita.

Orang lain pasti lebih percaya diri, tidak kekurangan teman, tidak kesepian, dan memahami seluk-beluk kehidupan. Kita menganggap mereka tidak punya kerentanan, keraguan, atau kebingungan yang sama seperti kita.

Kita lupa kalau setiap manusia pasti punya kesedihan, keraguan, dan kecemasan. Bukan berarti semua orang insecure, tapi masing-masing pasti punya kerentanan sendiri. Orang yang datang ke pesta dengan pasangannya dan tampak harmonis, siapa tahu sebenarnya sedang bermasalah. Orang yang terlihat intelek dan anggun bisa jadi merindukan kawan yang dapat menerima sisi kekonyolannya. Orang yang mendominasi percakapan mungkin saja haus perhatian. Intinya, kita bisa saja punya lebih banyak kesamaan dengan orang lain daripada yang kita duga.

Sebaliknya, kita sendiri juga memiliki emosi, minat, kerentanan yang –sengaja atau tidak— kita sembunyikan. Orang lain yang melihat bisa saja salah menilai dan merasa terintimidasi oleh kita, karena itu mereka tidak tergerak untuk menghampiri dan mengajak berinteraksi lebih dahulu.

Kita cenderung langsung menilai dan membuat kesimpulan utuh tentang seseorang hanya dari apa yang mereka perlihatkan. Ini yang membuat kita malu dan enggan mendekat. Namun jangan-jangan, rata-rata orang ternyata lebih mudah didekati daripada yang terlihat.

Kunci untuk lebih percaya diri saat berbaur dan berinteraksi dengan orang baru adalah dengan membayangkan kehidupan asli orang tersebut, atau lebih tepatnya membayangkan orang itu juga punya kerentanan dan masalah.

Infografik Berbaur

Infografik Berbaur. tirto.id/Fuad

Langkah Awal Mengatasi Kecanggungan

“Beberapa menit pertama adalah yang paling krusial. Jika Anda bisa tersenyum dan melakukan kontak mata, Anda berada dalam situasi yang tepat, ” kata Akash Karia, seorang pembicara dan pelatih kinerja yang telah menulis buku termasuk Small Talk Hacks: The People Skills and Communication Skills You Need to Talk to anyone and and Be Instantly Likeable.

Menurut Dianna Booher, penulis Communicate with Confidence, rata-rata orang senang berbicara tentang diri mereka sendiri. Bagi seseorang yang sulit mencari bahan obrolan, hal ini tentu menjadi keuntungan tersendiri, yakni menjadi pendengar yang baik.

Dua peneliti dari departemen psikologi di Universitas Harvard menemukan bahwa berbicara tentang diri sendiri memicu sensasi kesenangan yang sama di otak seperti halnya makanan. Jadi simak saja lawan bicara kita, dan tunjukkan minat yang tulus.

Namun, menjadi pendengar yang baik bukan satu-satunya senjata untuk luwes dalam bersosialisasi. Anda tetap harus berani untuk melakukan percakapan kecil. Hal ini bisa dilakukan dengan melontarkan pertanyaan-pertanyaan sederhana dari percakapan yang ada.

Sebuah riset dari Harvard Business School pada 2017 menemukan bahwa kunci obrolan ringan yang sukses adalah bertanya.

Anda juga dapat memulai pertanyaan yang dangkal, dan tidak perlu malu dengan pertanyaan tersebut.

“Ada berbagai macam percakapan harian yang dangkal. Dan mengajukan pertanyaan dangkal adalah hal yang wajar,” kata Paul Ford penulis artikel "How to Be Polite". "Orang-orang suka berbicara,” lanjutnya.

Ilustrasi berbaur

Ilustrasi berbaur. FOTO/iStockphoto

Selain itu, bila gilirannya Anda yang harus menjawab pertanyaan lawan bicara, bereskpresilah dengan lebih jujur.

Sebagian orang tidak senang berbaur dalam acara karena tak suka berbasa-basi yang superfisial. Nightingall, termasuk orang yang "bosan" berbasa-basi. Namun dalam presentasi Tedx Talks pada 2018, ia menjelaskan keputusannya untuk mengekspresikan diri lebih jujur.

Jadi ketika ditanya “apa kabar”, ia tak mau sekadar menjawab “baik”. Ia bisa menjawab, “Lumayan. 7,5 dari 10” atau “Sedang kurang kafein, nih” atau “Super gembira karena sebentar lagi akan ikut kursus yang asyik.”

Dengan jawaban semacam itu, Nightingall memberi kesempatan pada lawan bicara untuk bertanya, “Kenapa 7,5?” atau “Kursus apa?”. Ia juga berhasil keluar dari jawaban “baik” yang monoton.

Walau sadar jawabannya terasa sedikit aneh, namun orang lain ternyata tetap menyambutnya.

Karena jawaban yang tidak monoton, ternyata membuat seseorang justru terkesan menarik, jujur, dan manusiawi dalam sebuah obrolan dengan seseorang yang (awalnya) mungkin asing bagi kita.

Baca juga artikel terkait TREN GAYA HIDUP atau tulisan lainnya dari Eyi Puspita

tirto.id - Gaya hidup
Kontributor: Eyi Puspita
Penulis: Eyi Puspita
Editor: Lilin Rosa Santi
-->