Menuju konten utama
Dr. Natasha Reyes:

"Selain Kesehatan Fisik, Pengungsi Rohingya Harus Melawan Depresi"

"Kami dengar cerita ... orang-orang Rohingya di Rakhine dibunuh, ditembaki, dibakar rumah-rumahnya, dipukuli hingga tewas termasuk anak-anak."

Dr. Natasha Reyes, direktur operasional Médecins Sans Frontières yang menangani pengungsi Rohingya di Bangladesh. tirto.id/ Teguh Sabit Purnomo

tirto.id - Sejak bentrokan mematikan atau yang disebut pemerintah Myanmar sebagai "operasi pembersihan" pada Agustus 2017 di Negara Bagian Rakhine, setidaknya 647 ribu etnis Rohingya telah menyeberang menuju Bangladesh. Mereka melarikan diri dari genosida yang dilakukan otoritas Myanmar selama puluhan tahun.

Kisah-kisah mengerikan terkait pembantaian itu dituturkan oleh para muslim Rohingya yang kini menghuni kamp-kamp pengungsian di kawasan perbatasan Bangladesh.

Médecins Sans Frontières (MSF) atau Dokter Lintas Batas, organisasi kemanusiaan independen yang berbasis di Perancis, melakukan survei mengenai angka kematian pengungsi Rohingya di Bangladesh. Hasilnya mengerikan: setidaknya 6.700 pengungsi Rohingya dilaporkan tewas dalam kurun waktu hanya sebulan sejak penyerangan yang dilakukan junta militer Myanmar.

Organisasi kemanusiaan ini mulai beroperasi di Bangladesh, tepatnya di Kutupalong, sejak 1985. Pada 2009, MSF mulai membangun sejumlah klinik dan rumah sakit untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada pengungsi Rohingya.

Status kependudukan muslim Rohingya ditolak oleh pemerintah Myanmar meski etnis ini sudah menduduki wilayah Rakhine selama bergenerasi-generasi, jika bukan berabad-abad, dan menjadikan mereka sebagai salah satu penduduk tuna negara terbesar di dunia.

Penyerangan oleh tentara-tentara Myanmar pada Agustus 2017 merupakan satu dari tiga pembantaian terbesar terhadap etnis ini sejak 2012 dan 2016.

Seperti apa gambaran krisis pengungsi Rohingya, dan bagaimana upaya-upaya kemanusiaan yang dilakukan oleh pelbagai organisasi independen di tengah keterbatasan dan pengabaian otoritas Myanmar? Berikut wawancara khusus reporter Tirto, Restu Diantina Putri dan Aqwam Fiazmi Hanifan, bersama dr. Natasha Reyes, Direktur Operasional Médecins Sans Frontières, melalui sambungan Skype, Sabtu pekan lalu.

Seperti apa situasi terkini di Rakhine?

Sulit untuk menjawabnya karena saat ini akses MSF sangat terbatas untuk masuk ke Rakhine. Kami tidak memiliki aktivitas yang berarti di sana. Sehingga kami tidak bisa memberikan informasi dari tangan pertama. Tapi, jika kami lihat dari hasil survei yang kami lakukan terhadap pengungsi Rohingya di Bangladesh, kami dapat mengatakan situasi di sana benar-benar tidak baik. Kami dengar cerita bagaimana orang-orang di sana dibunuh, ditembaki, dibakar rumah-rumahnya, dipukuli hingga tewas termasuk anak-anak. Dan dari survei tersebut, kami mendapatkan bahwa 6.700 etnis Rohingya terbunuh pada bulan pertama setelah "operasi pembersihan" yang dilakukan pemerintah Myanmar di Rakhine.

Mengetahui kondisi Rakhine yang tak kunjung membaik, kami kemudian menjadi concern pada wacana pemulangan kembali (repatriasi) para pengungsi Rohingya yang saat ini berada di Bangladesh ke Myanmar. Menurut kami, kesepakatan yang diteken pemerintah Myanmar dan Bangladesh tersebut sangat prematur. Kami kira kita harus memastikan terlebih dahulu mereka aman untuk kembali. Selain itu, kami juga berharap mereka kembali secara sukarela.

Anda bilang akses MSF terbatas untuk masuk ke Rakhine, apakah ini karena hasil laporan MSF?

Keterbatasan akses ini sudah sedemikian terbatas sejak beberapa bulan lalu dan ini tak hanya berlaku bagi MSF, melainkan hampir seluruh lembaga kemanusiaan independen yang ingin menembus Rakhine. Hasil survei yang kami dapatkan sebenarnya kami dapatkan dari pengungsi di Bangladesh. Seperti diketahui, sebanyak 600 ribu pengungsi Rohingya menyeberang ke Bangladesh sejak serangan mematikan pada Agustus 2017.

Dalam laporan, Anda menyebutkan pula angka kematian anak-anak. Apa saja penyebabnya?

Sebagian tewas karena mengalami kekerasan, sebagian lagi juga karena terkena wabah penyakit. Kami memiliki sejumlah klinik dan rumah sakit di beberapa kamp pengungsian dan dari sana kami mengetahui kebanyakan dari mereka meninggal karena terkena gangguan pernapasan dan diare. Yang kami juga perhatikan adalah penghidupan di sana sangat tidak layak dan begitu padat sehingga mereka tidak cukup mendapat akses air bersih dan sanitasi yang layak.

Bagaimana dengan kasus kekerasan seksual seperti perkosaan yang dialami perempuan dan anak-anak Rohingya?

Ya, kami juga mendapat laporan terkait hal itu. Tapi yang harus digarisbawahi adalah jumlah yang kami rilis dalam laporan diperkirakan berada di bawah angka yang sebenarnya. Jumlahnya kemungkinan justru jauh lebih besar. Ini terjadi lantaran biasanya penyintas kekerasan seksual malu untuk melaporkan apa yang mereka alami. Juga kesadaran untuk memeriksakan diri ke tenaga medis usai mengalami kekerasan seksual juga masih rendah di kalangan mereka.

Terkait kekerasan yang dialami warga Rohingya, siapa yang bertanggungjawab atas hal ini?

Dari keterangan yang kami dapatkan dari pengungsi Rohingya di Bangladesh, pembunuhan serta kekerasan tersebut dilakukan oleh sejumlah kelompok seperti militer Myanmar, polisi, dan milisi setempat.

Apa yang paling dibutuhkan para pengungsi saat ini?

Yang paling mereka butuhkan saat ini adalah kebutuhan dasar seperti akses air bersih dan sanitasi yang layak, juga obat-obatan. Dan sebelum kita bicara soal pemulangan, mereka harus kembali secara sukarela, mereka harus menyetujui untuk kembali ke Rakhine, juga mereka harus terjamin keselamatan dan martabatnya setelah mereka kembali. Sayangnya, kami belum melihat itu hingga sekarang.

Pemerintah dan masyarakat Myanmar tidak begitu senang dengan hasil laporan MSF. Apa tanggapan Anda?

Well, sebenarnya tujuan utama dilakukannya survei ini adalah untuk mengumpulkan informasi mengenai status kesehatan populasi para pengungsi. Survei kematian yang kami lakukan merupakan bagian dari survei kesehatan yang lebih besar. Kami juga mengumpulkan angka kasus malnutrisi. Hasil survei ini sangat bermanfaat bagi kami untuk mengetahui status kesehatan para pengungsi sebelum dan sesudah mereka mengungsi, sehingga kami bisa mengevaluasi apa yang bisa kami upayakan lebih baik untuk para pengungsi.

Kami juga berharap hasil survei ini dapat membuat situasi lebih baik di Rakhine karena survei ini menyediakan data objektif dan data ini dapat digunakan sebagai bahan diskusi bersama pemerintah.

Sudah terlihatkah dampaknya?

Menurut kami, terlalu dini untuk berbicara dampak karena kami baru merilisnya beberapa hari lalu.

Bagaimana respons Bangladesh terkait hal ini?

Kami mengapresiasi respons pemerintah Bangladesh soal krisis Rohingya. Seperti diketahui, lebih dari 600 ribu pengungsi menyeberang ke perbatasan dan mereka menyambutnya. Hingga saat ini gelombang pengungsi masih terus berdatangan. Tentunya kami berharap pemerintah Bangladesh tetap melanjutkan bantuan ini.

Bagaimana dengan PBB?

PBB masih aktif di kamp pengungsi Bangladesh. Mereka mendapatkan mandat khusus untuk membantu para pengungsi dan kami berkoordinasi penuh dengan mereka.

Apakah mereka juga aktif di Rakhine?

Saya tidak bisa jawab itu untuk PBB, karena, sekali lagi, akses kami terbatas dan kami tak mendapatkan informasi yang cukup dari dalam Rakhine secara langsung.

Bagaimana dengan peran ASEAN dalam mendorong penyelesaian krisis Rohingya?

MSF merupakan organisasi kemanusiaan. Kami tidak berafiliasi terhadap pemerintah manapun, jadi bukan kapasitas kami untuk mendorong apa yang harus dilakukan pemerintah. Tapi, kami berharap, dengan hasil survei yang kami dapatkan, komunitas internasional semakin perhatian terhadap krisis ini. Khususnya terkait wacana pemulangan kembali.

Apa rencana MSF selanjutnya setelah merilis laporan ini?

Kami berharap dan mendorong dibukanya akses bagi lembaga kemanusiaan untuk dapat mencapai Rakhine, termasuk MSF. Kami juga mendorong adanya bantuan yang adil untuk warga Rohingya yang masih di Rakhine.

Seberapa sulit menembus Rakhine dari Bangladesh?

Ya, kami tidak dapat begitu saja melewati perbatasan tanpa izin resmi sebagai organisasi. Kami tetap memiliki tim di Myanmar di samping aktivitas kemanusiaan di Rakhine. Hanya saja kami sulit menembus Rakhine. Hanya sedikit organisasi kemanusiaan yang dibolehkan masuk, seperti Palang Merah Myanmar. Kami mendapatkan akses untuk ke daerah tengah Rakhine tapi tidak untuk Rakhine bagian utara. Semua sangat berbeda di Rakhine, akses sepenuhnya dikontrol ketat oleh pemerintah.

Adakah kekhawatiran MSF diusir dari Myanmar setelah merilis laporan tersebut?

Selalu ada risiko setelah merilis hasil survei tersebut. Tapi ini adalah tanggung jawab kami. Kami hanya berharap laporan ini dapat meningkatkan penghidupan di Rakhine dan tentunya akses yang lebih leluasa bagi MSF untuk menembus Rakhine sehingga kami dapat memberikan bantuan kepada mereka.

Bisakah dikatakan, saat ini Bangladesh menjadi satu-satunya pintu untuk memberikan bantuan kemanusiaan?

Bagi kami, MSF: ya. Gelombang pengungsi masih terus berdatangan dan tentunya ini pekerjaan besar buat kami. Harus diakui ini merupakan situasi yang benar-benar memprihatinkan.

Selain menghadapi masalah kesehatan fisik, para pengungsi juga harus melawan depresi. Selama ini mereka hidup bergantung pada bantuan dan nampaknya hal itu masih akan berlangsung lama.

===========

Redaksi Tirto beberapa kali menurunkan laporan mengenai krisis Rohingya dan politik Myanmar, sila baca:

Baca juga artikel terkait ROHINGYA atau tulisan lainnya dari Restu Diantina Putri

tirto.id - Mild report
Reporter: Restu Diantina Putri & Aqwam Fiazmi Hanifan
Penulis: Restu Diantina Putri
Editor: Fahri Salam