Menuju konten utama

Sekuens Genom Minim, Indonesia Melawan Corona dengan Peta Buta

Sekuens genom SARS CoV-2 di Indonesia masih sangat minim. Indonesia melawan pandemi seperti dengan peta buta.

Sekuens Genom Minim, Indonesia Melawan Corona dengan Peta Buta
Warga mengikuti tes cepat (rapid test) antigen gratis di Pos Pengamanan Polsek Tebet, Jakarta, Selasa (29/12/2020). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Sekuens genom SARS CoV-2 di Indonesia masih sangat minim setelah virus menghantam lebih dari 10 bulan yang lalu. Hingga 4 Januari 2021, baru ada 139 yang diunggah ke Global Initiative for Sharing All Influenza Data (GISAID), inisiatif sains global dan sumber utama yang menyediakan akses terbuka ke data genom virus influenza dan Corona yang bertanggung jawab atas pandemi COVID-19.

Jumlah genom di Indonesia hanya nol koma nol sekian persen dari jumlah kasus terkonfirmasi positif per 2 Januari. Angkanya juga jauh lebih sedikit dibandingkan dengan negara-negara lain, berdasarkan data per 25 Desember 2020 yang diunggah di laman GISAID.

Negara dengan persentase genom tertinggi adalah Australia, jumlahnya 16.430 atau setara 58,11 persen dari total kasus. Kemudian Selandia Baru 1.040 genom atau setara 48,87 persen. Lalu Timor Leste yang memiliki 46,34 persen. (Catatan: total kasus COVID-19 di negara yang memisahkan diri dari Indonesia tahun 1999 itu hanya 41, dengan 19 genom.)

Sementara negara dengan total data sekuens genom terbanyak adalah Inggris, jumlahnya 135.512. Lalu Amerika Serikat 52.075 genom, Denmark 16.725 genom, Australia 16.430 genom, dan Jepang 9.609 genom.

Sekuens genom utuh atau whole genome sequencing (WGS), menurut IASLC Thoracic Oncology, adalah “analisis dari seluruh urutan DNA genom sel pada satu waktu” yang dapat “memberikan karakterisasi genom yang paling komprehensif.” Sementara genom sendiri adalah keseluruhan informasi genetik yang dimiliki suatu sel. Seorang peneliti dari LIPI menjelaskan dengan WGS kita mendapatkan petunjuk “bagaimana cara membangun, menjaga, serta melemahkan hidup bakteri tertentu.” Ia berguna sebagai dasar untuk “menentukan antibiotik yang tepat.&rdquo

WGS terhadap COVID-9 dilakukan dengan menganalisis sampel swab. Pemeriksaan dilakukan dengan mencocokkan detail material genetik virus menggunakan polymerase chain reaction (PCR) atau primer bagian dari virus itu sendiri.

Sangat Kurang

Ahli biomolekuler sekaligus peneliti genom SARS CoV-2, Riza Arief Putranto, mengatakan genom yang dapat dideteksi di Indonesia “kurang banget.” Ia mengibaratkannya sebagai remah-remah yang tidak bisa digunakan untuk menilai rasa kue secara keseluruhan.

Dari 139 genom itu kata Riza yang paling banyak merupakan varian S D614G; kemudian varian NSP12_P322L; N53_Q57H; N_R203K dan satu genom ditemukan yakni S A222V. Selain lima varian yang sudah umum itu belum ditemukan varian baru lagi. Data yang sedikit ini tak bisa dijadikan dasar untuk menyimpulkan genom mana yang dominan.

Varian genom dari Inggris, B.1.1.7, tidak diketahui sudah masuk Indonesia atau belum juga persis karena data genom yang terbatas. Riza memberikan ilustrasi sederhana: Deteksi di Indonesia itu hanya berdasarkan warna baju. Ketika warna baju diganti, maka sudah tidak bisa dikenali lagi. “Karena sulit mendeteksi seperti itu, para epidemiolog berhipotesis bisa saja varian [dari Inggris] itu sudah masuk,” kata Riza melalui sambungan telepon, Senin (4/1/2021).

Ditambah lagi tes swab PCR selama ini belum dilakukan secara masif. Sekalipun masif, apabila primer pendeteksi genetik virus yang digunakan masih sama, maka tetap akan sulit mendeteksi varian baru. Oleh karena itu “harus digunakan tambahan primer baru. Karena di Indonesia hanya menggunakan satu atau dua primer saja, tergantung labnya. Harus dimulai menggunakan dua sampai tiga primer kalau mau mendeteksi,” ujar Riza, yang juga merupakan peneliti di Pusat Penelitian Bioteknologi dan Bioindustri Indonesia.

Riza berharap sekuens genom diupayakan lagi juga karena “seiring bertambahnya kasus maka ada potensi mutasi. Kalau kita tidak mengawali itu ya nanti mutasinya bisa ke mana-mana dan kita tidak tahu yang sebetulnya.”

Selain itu, minimnya data informasi genom ini akan berpengaruh pada penanganan COVID-19, katanya. “Kita tahu sebagian [genom], tapi kita tidak tahu keseluruhan jadi mungkin kebijakan yang diambil kurang. Kebijakannya tidak berdasarkan kepada banyak input sains,” katanya.

Ia membandingkan dengan Inggris, yang siap melakukan pembatasan ketat lagi setelah menemukan mutasi genom terbaru dapat menular 50-75 persen lebih cepat.

Epidemiolog dari Griffith University Dicky Budiman mengatakan surveilans genom penting untuk bisa mengetahui pola penyebaran atau transmisi, termasuk asal muasal klaster yang bisa dihubungkan dari riwayat perjalanan seseorang. Dengan mengetahui pola tersebut, maka akan bisa diketahui daerah mana yang memiliki risiko tinggi atau menjadi bibit penyebaran virus.

Kemudian, banyaknya WGS juga membuat otoritas mampu menentukan antisipasi pengendalian pandemi berdasarkan karakteristik genom yang dominan.

“Indonesia jangankan surveilans genom, test COVID-19 saja masing sangat kurang,” kata Dicky kepada reporter Tirto, Senin.

Meskipun tidak seperti yang dilakukan Inggris atau Australia, Dicky bilang minimal Indonesia melakukan pemeriksaan sekuens genom rutin tiap bulan dengan mengambil dua persen dari setiap kasus.

Dengan situasi serba kurang ini, Dicky mengibaratkan Indonesia berperang melawan Corona dengan peta buta. “Kalau kita tidak bisa mendeteksi dan tidak melakukan secara memadai surveilans genom, kita akan buta. Buta memahami situasi terkini dari pandeminya maupun potensi ancaman ke depan. Kita strateginya terus seperti itu padahal sudah tidak efektif.”

Masalah

Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Amin Soebandrio mengatakan selama ini pemerintah tidak memerintahkan institusi tertentu untuk melakukan sekuens genom. Siapa saja yang bisa dipersilakan. Mula-mula yang melakukannya di awal masa pandemi hanya Lembaga Biologi Molekuler Eijkman. Menyusul kemudian Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Universitas Airlangga, Universitas Gadjah Mada, Institut Teknologi Bandung, Universitas Padjajaran, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, dan belakangan Universitas Indonesia dan Universitas Sebelas Maret.

“Tapi mungkin kapasitasnya tidak terlalu besar. Tentu tidak bisa dibandingkan dengan Inggris yang sudah submit puluhan ribu [genom] karena mereka punya laboratorium yang cukup besar kapasitasnya,” kata Amin melalui sambungan telepon, Senin.

Amin bilang idealnya memang harus ada pemeriksaan sekuens genom dari berbagai daerah di semua provinsi. Namun sejumlah kendala muncul, misalnya tak semua sampel swab dari seluruh Indonesia dikirim ke institusi yang melakukan pemeriksaan sekuens genom. Selain itu pemeriksaan juga cukup rumit karena membutuhkan alat khusus yang tidak dimiliki oleh semua laboratorium. Ia juga membutuhkan orang yang berpengalaman untuk melakukan analisis.

Otoritas kesehatan nampaknya memang baru lebih fokus terhadap persoalan ini setelah ditemukan varian baru COVID-19 di Inggris. Dalam keterangan pers, Selasa (29/12/2020), Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan untuk mengidentifikasi kemungkinan ini, dia bilang Kementerian Kesehatan akan “mengoordinasikan 11 dari 12 laboratorium di Indonesia bersama Menteri BRIN yang memiliki kemampuan genome sequencing.”

Selain itu, Menkes pengganti Terawan ini juga meminta setiap rumah sakit mengirimkan sampel dari pasien COVID-19 untuk diteliti di beberapa laboratorium milik Kemkes. Budi juga menggandeng beberapa sektor lain untuk bergabung mengerjakan penelitian, termasuk Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional (Kemenristek/BRIN).

Baca juga artikel terkait PENANGANAN COVID-19 atau tulisan lainnya dari Irwan Syambudi

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Irwan Syambudi
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Rio Apinino