Menuju konten utama

Seksualitas Perempuan di Era Komunis Jerman Timur

Hak untuk bekerja, cuti, serta waktu luang membuat perempuan Jerman Timur punya kepuasan yang tinggi di ranjang.

Pekerja sedang menyelesaikan pembuatan boneka di pabrik boneka, Jerman. Foto/vintag.es

tirto.id - Setelah Tembok Berlin runtuh, masyarakat Jerman menemukan fakta yang mencengangkan: perempuan Jerman Timur, eks negeri tirai besi itu, memiliki tingkat kepuasan seksual yang lebih tinggi ketimbang perempuan Jerman Barat.

Dagmar Herzog, sejarawan dari City University of New York, sempat tinggal di Jerman Barat pada 1990. Dalam dokumenter Do Communist Have Better Sex? (2007), Herzog mengatakan, “Awal tahun 1990an saya mulai meneliti seksualitas di Jerman. Kaum perempuan dari bekas wilayah Jerman Timur mengatakan kepada saya, dengan nada iba, betapa nasib mereka lebih baik ketika Jerman Timur masih ada.”

Hanin Elias, vokalis band cadas Atari Teenage Riot yang tinggal di Berlin Barat sejak 1980an pernah menyatakan: “Jerman Timur totaliter. Tapi setelah Jerman Timur runtuh, kehidupan perempuan semakin sulit. Tidak ada lagi pusat perawatan anak yang gratis. Perempuan harus menanggung beban ganda untuk merawat anak di rumah dan bekerja di luar.”

Keterangan Herzog dan Elias sekilas menggambarkan warisan ambigu rezim komunis Jerman Timur yang bubar pada 1990. Di satu sisi, rezim ini sangat otoriter. Pengawasan total diberlakukan pada warganegaranya melalui penyadapan dan sensor. Film peraih Oscar, The Lives of Others (2005), cukup baik menggambarkan suasana ketakutan tersebut: Seorang dramawan diintai gerak-geriknya oleh negara. Tanpa diketahui, seorang intel merekam setiap pembicaraannya dari loteng apartemen. Di kemudian hari, istri sang dramawan, dikisahkan berkomplot dengan aparat dalam pengawasan itu.

Tirai Besi di Berlin

Adalah sebuah ironi ketika di pusat Berlin Timur berdiri tugu kecil yang memajang perbedaaan waktu di seluruh dunia, namun warganya hanya diperbolehkan melancong paling jauh 1,5 mil dari pinggir kota. Pada 1960an, Tembok Berlin berdiri untuk menghalau migrasi rakyat Jerman Timur ke Jerman Barat. Hingga akhir dekade 1989, rakyat Jerman Timur mengenal Berlin sebagai jalur untuk kabur ke negeri tetangga.

Pun di Berlin Barat yang sekalipun dianggap mewakili “Dunia Bebas” ala Blok Barat, warganya dihantui ketakutan lantaran perang bisa pecah suatu-waktu. Berlin Barat, kendati menjadi sentra penting ekonomi Jerman Barat, terletak di sebelah Timur. Tembok besar yang memisahkan warga kota tersebut, serta checkpoint yang tersebar di seluruh penjuru Berlin Barat, adalah warisan perebutan kekuasaan antara pasukan Soviet dan Pasukan Sekutu begitu Perang Dunia II berakhir.

Tingginya tingkat pengawasan terhadap warganegara dapat digambarkan dengan perbandingan berikut. Di Uni Soviet, pada 1989 terdapat 480 ribu agen resmi KGB yang mengawasi 280 juta penduduk. Rasionya, 1 intel mengawasi 5.830 orang. Di Jerman Timur, yang luasnya tidak sampai seperseratus Uni Soviet, Stasi (lembaga intelijen Jerman Timur) mempekerjakan 90 ribu agen resmi dan 170 ribu kolaborator sipil untuk mengawasi 16.586.490 penduduk. Tanpa agen sipil, rasionya adalah 1 intel untuk 166 orang. Jika ditambah agen sipil, rasionya menjadi 1:6,5.

Pada awal 1970an, warga Berlin Barat secara terbatas diizinkan mengunjungi Berlin Barat untuk bertemu keluarga. Umumnya, para pengunjung adalah orang-orang berusia pensiun. Izin bekunjung bebas juga berlaku untuk atlet dan sopir. Sementara itu, orang-orang Jerman Timur dilarang keras mengunjungi Jerman Barat, kecuali dengan melompat tembok pemisah. Risikonya adalah mati ditembak.

Restorasi Hak-Hak Perempuan di Jerman Timur

Di sisi lain, beda nasib dengan perempuan Jerman Barat yang kapitalis, para perempuan Jerman Timur secara umum lebih bahagia. Pemerintahan sosialis negeri itu ternyata jauh lebih berkomitmen memperbaiki nasib kaum perempuan setelah hak-haknya dirampas selama Nazi berkuasa.

Pada tahun 2010, New York Times membuat perbandingan menarik tentang kehidupan perempuan di kedua negara. Di Jerman Barat, perempuan harus mendapat izin dari suami sampai tahun 1977, dan perempuan bisa diceraikan oleh suami hanya karena dianggap “istri tidak baik-baik”. Adapun di Jerman Timur, kesempatan perempuan untuk duduk di posisi-posisi puncak manajemen perusahaan jauh lebih tinggi ketimbang di Barat. Di Jerman Barat, 55 persen perempuan bekerja di luar rumah. Sementara di Jerman Timur, 90 persen perempuan bekerja di berbagai sektor, termasuk dalam bidang-bidang yang selama ini dianggap maskulin, seperti teknisi mesin dan montir. Negara mendukung kesetaraan penuh laki-laki dan perempuan, di tempat kerja maupun di rumah.

src="//mmc.tirto.id/image/2017/04/07/TIRTO-pekerjaperempuanjerman.JPG" width="860" alt="Infografik Pekerja Perempuan Jerman" /

Seperti yang dituturkan Elias, keberadan pusat-pusat perawatan anak dan sistem sekolah yang selenggarakan sehari penuh menyebabkan perempuan bisa bebas bekerja di luar rumah dan mengurangi kerja-kerja domestik mereka. Selain itu, mereka juga mendapat hak cuti hamil selama setahun dan tetap dibayar. Setelah kelahiran anak kedua, mereka pun mendapat jam kerja yang lebih rendah. Namun, rendahnya jam kerja secara umum menyebabkan tingkat stres yang lebih rendah serta waktu luang lebih banyak untuk mengaktualisasikan diri. Dan itu berkontribusi pada tingkat kepuasan di ranjang.

Hal lain yang juga menentukan adalah pendidikan seksual dengan materi kesehatan reproduksi dan kesetaraan gender yang diselenggarakan negara sejak usia sekolah dasar. Sementara masyarakat di Jerman Barat tidak memiliki privilese yang sama. Wacana tentang seksualitas, alih-alih, justru didominasi oleh gereja dan lembaga-lembaga keagamaan serta pornografi.

Dalam Sexuality After Fascism (2005), Dagmar Herzog mencatat bahwa pada 1971, masyarakat Jerman Barat membelanjakan 50 juta Deutsche Mark untuk konten pornografi impor dan 125 juta DM untuk pornografi produksi lokal. Kebutuhan massal akan pornografi ini, tulis Herzog, “menjadi pintu masuk ke norma-norma sosial yang mengalami perubahan,” dan di sisi lain “menandakan betapa frustrasinya warga Jerman Barat secara seksual dan dampak destruktif represi seksual selama bertahun-tahun.”

Sastrawan pembangkang dari Jerman Timur, Christa Wolf, menulis dengan nada melankolis tentang kebebasan berekspresi di tangan Stasi: “Masa-masa bahagia yang semarak dengan pikiran murni dan terbuka adalah milik masa lalu—dan kita semua paham itu.”

Setelah unifikasi dua Jerman pada 1990, kalimat barangkali itu punya makna yang berbeda untuk perempuan Jerman.

Baca juga artikel terkait KOMUNISME atau tulisan lainnya dari Windu Jusuf

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Windu Jusuf
Editor: Zen RS