Menuju konten utama

Sejengkal dari Kematian akibat COVID-19

Beberapa penyintas COVID-19 bercerita bagaimana mereka begitu dekat dengan kematian.

Sejengkal dari Kematian akibat COVID-19
Petugas medis membawa pasien ke ruang isolasi saat simulasi penanganan pasien virus corona di RS Hasan Sadikin, Bandung, Jawa Barat, Jumat (6/3/2020). ANTARA FOTO/M Agung Rajasa/aww.

tirto.id - Selama 20 hari Akhmad Fadhil berjuang di ruang Intensive Care Unit (ICU) dengan ventilator menempel di saluran pernapasan. Hidung dan mulut dibekap alat untuk dialiri oksigen dalam jumlah besar. Fadhil bilang rasanya seperti sedang memanjat air terjun yang besar.

Fadhil tak bisa banyak bergerak kecuali terbaring sambil menonton bayangan kematian bergelayut di ruang isolasi. Ia melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana pasien baru datang di pagi hari dan meninggal sore hari itu juga. Ia juga melihat seorang pasien meninggal setelah beberapa hari dirawat saat masih mengenakan ventilator seperti dirinya.

“Pasien di depan dan di samping saya [meninggal]. Itu juga yang membuat saya down dan berpikir kemungkinan saya akan menyusul mereka,” Fadhil bercerita kepada reporter Tirto melalui telepon, Jumat (29/1/2021).

Fadhil dinyatakan positif COVID-19 pada Juli 2020 lalu. Pria 39 tahun ini paham betul profesinya membuatnya berisiko tinggi terpapar COVID-19. Ia adalah sopir taksi daring di Mojokerto, Jawa Timur.

Awalnya ia hanya mengalami demam, batuk, dan sesak napas. Tiga hari kemudian sesak yang dirasakan bertambah parah. Berdasarkan hasil rontgen, paru-paru Fadhil sudah dipenuhi bercak putih tanda pneumonia akut. Akhirnya dokter memberikannya ventilator.

“Sudah menduga dari gejala-gejala awal, makanya saya antisipasi dengan menjauhkan anak-anak,” ujarnya.

Sejak dirawat ia semakin merasakan betapa ganasnya COVID-19 menyerang. Virus itu mengakibatkan indera perasanya menghilang, demikian pula dengan nafsu makan. Satu minggu penuh Fadhil enggan makan dan hasilnya ia kritis.

Dalam kondisi tersebut keluarga senantiasa mendukung melalui pesan Whatsapp dan video call. Dokter pun sigap memberikan obat dan merawat segala kebutuhan Fadhil.

Ia diperkenankan pulang dan berkumpul kembali bersama keluarganya pada Agustus tahun lalu. Walau begitu, virus masih meninggalkan jejak di dalam tubuh. Ia merasakan tanda-tanda dari long COVID-19 seperti kerap sesak napas dan mudah lelah. Ia pun tetap harus kontrol tiap dua bulan sekali untuk merehabilitasi diri agar bisa kembali seperti semula.

=====

Monica Dwi Ningrum belum juga sembuh dari COVID-19 ketika harus pontang-panting mengurus suaminya Dhany Ramdhani yang sedang kritis juga karena terinfeksi COVID-19 pada Desember 2020. Monica adalah seorang ibu rumah tangga berusia 30, sedangkan suaminya guru berusia 38.

Suaminya harus menunggu dua hari di Instalasi Gawat Darurat (IGD) di salah satu rumah sakit di Jakarta dengan bantuan alat pernapasan seadanya. Baru pada hari ketiga suaminya mendapat ruang khusus perawatan COVID-19.

Di hari yang sama kondisi Dhany memburuk dan rontgen menunjukkan 70 persen paru-paru telah terinfeksi virus. Saturasi oksigen hanya berkisar 80 persen dari angka normal 95 persen. Saturasi oksigen yang hanya 80 persen bukan hanya akan membuat gagal napas, tapi juga kegagalan organ lain.

Dokter bilang suaminya harus segera dipindah ke ICU. Tetapi mendapatkan ruang tersebut sulit. Di RS tempat suaminya dirawat, ICU sudah penuh dan antrean masih banyak. “Akhirnya saya mencari sendiri. Pada waktu itu saya enggak tahu harus mencari ke mana,” cerita Monica kepada reporter Tirto Jumat akhir Januari lalu.

Monica terpikir mengunggah status di media sosial. Ia bilang sedang butuh ICU untuk suami. Seseorang merespons, menginformasikan ada ruang ICU kosong di salah satu RS di Jakarta. Kurang dari tiga jam suaminya akhirnya dapat masuk ICU.

Namun perjuangan suami Monica melawan COVID-19 baru benar-benar dimulai sesampainya di ICU. Kondisinya terus memburuk. Dhany mengalami badai sitokin, yaitu situasi di mana protein inflamasi imun diproduksi tak terkendali lantaran adanya infeksi virus. “Betul-betul sudah kritis. Sejak saat akan dipindah sudah tidak sadar dan dipasang alat bantu pernapasan lewat mulut […] Harapan hidup mungkin tinggal 30 persen,” ujarnya.

Pikiran Monica sudah melayang membayangkan harus hidup sendiri membesarkan dua anak yang masih balita.

Tiga hari di ICU, dokter berkata pada Monica untuk mengupayakan penggunaan obat di luar yang dibayari pemerintah. Obat harus ditebus dengan biaya Rp13 juta. Meski tak menjamin kesembuhan, ia pasrah.

Saat itulah rezeki datang tak terduga. Seorang pasien COVID-19 di rumah sakit tersebut meninggal dunia, menyisakan obat yang tidak terkonsumsi. Obat itu kemudian didonasikan pada pasien lain, termasuk suami Monica. “Saya sujud syukur. Obat itu gratis dan hari itu juga langsung disuntikkan.”

Kondisi Dhany tak lantas membaik setelah mendapatkan obat. Baru pada hari ke-15 di ICU Dhany membaik. Monica dapat kabar ventilator akan dilepas. Ia seolah tak percaya bahwa suaminya, yang sebelumnya begitu dekat dengan maut, akhirnya membaik.

Dhany akhrnya diizinkan pulang pada 5 Januari 2021.

Meski sudah melewati masa sulit, Dhany belum sepenuhnya pulih. Napasnya masih berat dan belum dapat berbicara dengan jelas.

=====

Erlina Listyarini seolah mendapatkan kesempatan kedua untuk hidup. Dosen di salah satu perguruan tinggi negeri di Yogyakarta itu dinyatakan positif COVID-19 pada Desember 2020. Ia mengalami batuk, demam, dan sesak napas. Ia dirawat selama sepekan di salah satu rumah sakit swasta di Yogyakarta.

Rumah sakit penuh. Ia mengantre di IGD seharian untuk mendapatkan ruang perawatan.

Sejak pertama masuk rumah sakit, selang oksigen selalu menempel di hidungnya. Di hari keenam dirawat, kondisinya memburuk. Ia memiliki penyakit lain. Tekanan darah tinggi dan usianya sudah cukup lanjut, 60 tahun. Saturasi oksigen sempat di bawah 90 persen. Erlina sudah sulit bergerak dan diajak berkomunikasi.

Dokter bilang Erlina harus segera dipindah ke ICU dan mendapatkan ventilator. Namun saat itu RS tempat ia dirawat tak lagi memiliki sisa ICU.

“Saat itu memang kesulitan [cari ICU] karena RS sudah bilang sudah penuh semua. Akhirnya minta tolong keluarga dan kami minta tolong di media sosial,” kata Rafael Andrean, putra sulung Erlina, kepada reporter Tirto, Jumat 29 Januari 2021.

Rafael dan suami Erlina sendiri juga dinyatakan positif meski tak bergejala berat.

Atas bantuan para kolega, Erlina mendapatkan ruang ICU di salah satu ruma sakit swasta di Yogyakarta. Selama sepekan Erlina berjuang di ICU melawan COVID-19 yang menginfeksi organ dalam tubuhnya.

Kondisinya membaik selama sepekan perawatan. Ia kemudian dipindah di bangsal isolasi. Awal Januari 2021 lalu ia diizinkan pulang, namun tubuhnya belum benar-benar pulih. Beberapa kali ia masih merasakan sesak napas hingga harus menyediakan tabung oksigen di rumah.

=====

Hingga Jumat 5 Februari lalu kasus konfirmasi positif COVID-19 telah tembus angka lebih dari 1,1 juta, dengan kasus aktif sebanyak 176 ribu lebih. Pasien meninggal telah mencapai lebih dari 31 ribu.

Bersamaan dengan itu kabar tentang penuhnya ruang perawat terus berseliweran. Pun dengan lahan makam yang semakin menipis.

Baca juga artikel terkait PASIEN COVID-19 atau tulisan lainnya dari Irwan Syambudi & Mohammad Bernie

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Irwan Syambudi & Mohammad Bernie
Penulis: Irwan Syambudi & Mohammad Bernie
Editor: Rio Apinino