Menuju konten utama

Sejarah Wayang Kulit Betawi & Perbedaan dengan Wayang Kulit Jawa

Sejarah wayang kulit Betawi jadi kesenian khas daerah Jakarta. Berikut perbedaannya dengan wayang kulit Jawa.

Sejarah Wayang Kulit Betawi & Perbedaan dengan Wayang Kulit Jawa
Dalang cilik Ramadhanu Adji Putra memainkan wayang kulit saat Fertival Dalang Cilik , Rabu (9/6/2021). ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah/foc.

tirto.id - Wayang kulit Betawi diklaim muncul kisaran abad ke-17, tepatnya kala kedatangan pasukan Mataram di Batavia.

Lantas, bagaimana sejarah wayang kulit Betawi hadir sebagai kesenian khas daerah Jakarta?

Mengutip catatan situs Dinas Kebudayaan Jakarta, wayang kulit Betawi bermula dari kisah datangnya Sultan Agung Hanyakrakusuma.

Hanyakrakusuma bersama pasukan Mataram bermukim di Jakarta pada 1628. Tujuannya kala itu adalah menggempur daerah Batavia yang sedang berada dalam kekuasaan Belanda.

Di Jakarta, ia pun tinggal di sebuah rumah. Bangunan tersebut dijadikan sebagai tempat istirahat serta pos penjagaan.

Di tempat ini, budaya wayang kulit Mataram diperkenalkan kepada penduduk lokal Batavia. Lalu, bagaimanakah proses akulturasi budaya ini ketika sampai di wilayah yang berbeda?

Sejarah Wayang Kulit Betawi dan Perbedaannya dengan Wayang Kulit Jawa

PAMERAN WAYANG

Pengunjung mengamati koleksi wayang kulit saat pameran Wayang di Galeri Prabangkara, Surabaya, Jawa Timur, Selasa (1/11/2022). ANTARA FOTO/Didik Suhartono/rwa.

Menurut catatan situs Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual, Kementerian Hukum & HAM RI, tentara Mataram mengisahkan lakon tokoh lengkap dengan menggunakan wayang.

Orang-orang Betawi yang tinggal dekat dengan pos istirahat Mataram merasa tertarik. Bahkan, tradisi wayang kulit mengalami akulturasi sehingga muncul budaya baru. Budaya tersebut adalah wayang kulit Betawi.

Sumber lain menyebut wayang kulit Betawi sebagai wayang Tambun. Hal ini disampaikan lantaran ada juga ersi lain yang menjabarkan bahwa wayang kulit Betawi pertama kali muncul di pinggiran Jakarta. Pinggiran tersebut adalah daerah Tambun, Bekasi.

Terlepas dari sebutan lain ini, wayang kulit Betawi dipastikan muncul akibat adanya pengenalan budaya dari masyarakat Jawa. Dengan begitu, maka ada beberapa persamaan yang menempel di antara kedua budaya ini.

“Misalnya, wayangnya sama tapi ukirannya tampak lebih kasar. Lalu juga untuk pegangannya kalau jawa kan dari tulang, nah kita dari kayu,” ungkap Jaya Bonang, pemegang Sanggar Betawi Marga Juwita, dilansir dari situs Seni Budaya Betawi.

Dari penjelasan seorang tokoh seni dari Jakarta di atas, berarti wayang kulit Betawi memang punya perbedaan. Kendati terlihat sama, orang yang paham dengan dunia pewayangan bisa menjabarkan sedikit perbedaannya.

Selain berbeda dalam bagian pemegangnya, perbedaan juga meliputi waktu pementasannya. Wayang yang berasal dari Jawa biasanya dimainkan semalaman suntuk. Berbeda dengan budaya tersebut, wayang Betawi hanya dimaikan beberapa jam saja.

Lalu, ada juga perbedaan di bidang bahasa yang digunakan ketika pagelaran berlangsung. Wayang Betawi yang merupakan hasil akulturasi memvariasikan tiga bahasa di dalam pertunjukan, bahasa Jawa, Sunda, dan Betawi.

“Kalau ceritanya tentang orang-orang terhormat ya kita pakai bahasa Sunda atau Jawa. Tapi, kalau cerita orang biasa kaya Gareng sama Petruk, nah kita pakai dah bahasa Betawi Klotokan. Itu tuh, Betawi yang tulen banget,” ungkap Bonang, dilansir dari situs situs Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual.

Baca juga artikel terkait TRADISI atau tulisan lainnya dari Yuda Prinada

tirto.id - Pendidikan
Kontributor: Yuda Prinada
Penulis: Yuda Prinada
Editor: Yulaika Ramadhani