Menuju konten utama

Sejarah Trem di Jakarta: Dari Helaan Kuda sampai Tenaga Listrik

Trem di Batavia, baik yang ditarik dengan tenaga kuda, uap, maupun listrik, pernah membantu warga kota memenuhi kebutuhan transportasinya.

Sejarah Trem di Jakarta: Dari Helaan Kuda sampai Tenaga Listrik
sarana transportasi berupa Trem yang pernah ada di Batavia (Jakarta) pada tahun 1900-an. FOTO/wikipedia

tirto.id - Warga Jakarta kini punya sarana transportasi publik baru. Minggu (24/3/2019), Presiden Jokowi meresmikan Mass Rapid Transit (MRT) atau Moda Raya Terpadu fase pertama. Kehadiran MRT menambah transportasi massa yang beroperasi di dalam kota Jakarta.

Sejak ratusan tahun silam, transportasi publik di dalam kota Jakarta terus mengalami perubahan yang ditentukan oleh penambahan jumlah penduduk, kemajuan teknologi, dan kebijakan pemerintah.

Sebelum 1869, seperti ditulis Susan Blackburn dalam Jakarta: Sejarah 400 Tahun (2012), warga Batavia dan para pendatang yang baru menginjakkan kaki di pelabuhan umumnya menggunakan sado, delman, bendi, dan palanquin untuk bepergian.

Semua alat transportasi itu kebanyakan menggunakan kuda sebagai tenaga penarik. Kuda yang digunakan adalah kuda Sumbawa yang kecil dan tidak dapat beradaptasi di Batavia yang lembab dan panas.

“Sangat menyedihkan,” tulis para penulis Eropa seperti dikutip Blackburn, mengomentari kuda yang digunakan untuk menarik manusia di Jakarta.

Trem kuda mulai hadir pada 1869. Menurut Zeffry Alkatiri dalam Pasar Gambir, Komik Cina & Es Shanghai: Sisik Melik Jakarta 1970-an (2010) ide ini muncul dari seorang Belanda bernama Martinus Petrus.

Petrus menghendaki sarana transportasi umum yang dapat mengangkut lebih banyak manusia dalam sekali perjalanan. Trem ini ditarik oleh empat ekor kuda yang berjalan di atas rel besi (tramway).

Kehadiran trem kuda di Batavia termasuk paling awal di kawasan Asia. Pada waktu itu trem kuda masih jarang terlihat di kota-kota Eropa. Seperti halnya transportasi umum sebelumnya, banyak juga kuda penarik trem yang mati. Bahkan angkanya semakin tinggi.

Dikutip Alwi Shahab dalam Waktu Belanda Mabuk Lahirlah Batavia (2013), harian Java Bode yang terbit di Batavia melaporkan sebanyak 545 kuda mati sampai 1872, antara lain karena kelelahan. Dalam catatan Susan Blackburn, 545 adalah angka kematian kuda per tahun.

“Padahal ada ketentuan binatang ini hanya diperbolehkan menarik trem tidak lebih dari satu kali tiap trayek,” tulis Alwi Shahab.

Dalam catatan Zeffry Alkatiri, trem kuda bergerak dari kota lama atau kota bawah sampai Weltervreden (kota baru) yang disebut juga sebagai kota atas. Satu kereta dapat mengangkut 38 penumpang.

Alwi Shahab menambahkan, masalah lain yang timbul dari trem kuda adalah kebersihan. Kuda-kuda penarik buang hajat dan kencing sembarangan sehingga sepanjang rel yang dilewati dipenuhi kotoran dan bau tak sedap.

Di luar masalah-masalah tersebut, trem kuda cukup membantu warga kota memenuhi kebutuhan transportasinya. Ongkosnya untuk tiap trayek hanya 10 sen.

Dalam pengoperasiannya, trem kuda masih menggunakan alat-alat yang sederhana. Kusir menggunakan terompet sebagai klakson. Tiap kali penumpang akan turun, penjual karcis membunyikan lonceng. Lalu kusir yang mendengar bunyi lonceng akan memutar alat menyerupai kompas yang berfungsi sebagai rem.

Trem Uap dan Rasisme

Penemuan teknologi baru membuat trem kuda di Jakarta diganti oleh trem uap pada 1881. Trem uap ini dimiliki oleh perusahaan Stroomtram Mij dengan rute sama dengan tramway yang berpisah di Harmoni. Setelah itu rute trem uap menuju Senen, Kramat, sampai Jatinegara.

Situasi sosial zaman kolonial turut mewarnai kehadiran trem uap. Alwi Shahab merekamnya dalam Waktu Belanda Mabuk Lahirlah Batavia (2013). Menurutnya, sekali waktu seorang pendatang dari Belanda tiba di Batavia pada awal abad ke-20. Ia teringat negerinya saat bunyi lonceng trem uap terdengar dari kejauhan.

“Di atas lokomotif berdiri masinis pribumi dengan petugas yang menyalakan api. Dua kondekturnya adalah orang Betawi muda yang berseragam tapi tanpa alas kaki. Sementara kepala kondektur adalah seorang Eropa pensiunan tentara,” tulisnya seperti dikutip Shahab.

Kebijakan rasisme pemerintah Hinda Belanda terlihat juga dalam pembagian kelas trem uap. Kelas satu untuk orang Belanda dan Eropa lainnya, kelas dua bagi orang orang Arab dan Tionghoa, dan pribumi hanya diperbolehkan di kelas tiga.

Harga tiket tiap kelas tentu berbeda. Saking ketatnya, orang-orang Arab dan Tionghoa tidak diperbolehkan untuk duduk di kelas tiga, juga di kelas satu.

“Orang-orang yang di Belanda hanya seorang pemerah susu, hanya karena mereka tidak memiliki kulit sawo matang yang indah seperti orang-orang pribumi, di Hindia mereka menganggap dirinya luar biasa,” tulis Shahab.

Perasaan superior orang-orang Belanda ini sempat juga ditulis Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya Jilid 2: Jaringan Asia (2018). Menurutnya, ketika Belanda pertama kali menginjakkan kaki di pelabuhan di Hindia Belanda, tiba-tiba mereka merasa kedudukannya lebih tinggi daripada orang-orang pribumi.

Infografik Sejarah Trem di Jakarta

undefined

Akhir Trem Listrik

Memasuki pengujung 1897, trem listrik mulai hadir di Batavia dan mengalahkan pamor trem uap. Trem yang dikelola oleh perusahaan Electriche Tram Mij ini memilki rute yang cukup berbeda dan lebih banyak dibandingkan trem-trem sebelumnya.

Trem listrik beroperasi dalam lima jalur, di antaranya Menteng-Kramat-Jakarta Kota; Senen-Gunung Sahari; dan Menteng-Merdeka Timur-Harmoni.

Kehadiran trem listrik sangat membantu warga kota. Selain harganya tiketnya murah (sepicis atau sepuluh sen), hampir seluruh wilayah kota saat itu juga dilaluinya. Satu lagi, jadwalnya pun sangat padat, masyarakat tak perlu menunggu lama.

Sebuah komisi khusus dari Indisch Genootschap seperti dikutip Rudolf Mrazek dalam Engineers of Happy Land: Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di sebuah Koloni (2006), menyatakan kepuasannya terhadap keberadaan transportasi umum berbasis rel besi, yakni kereta api dan trem.

“Yang paling bermanfaat dari temuan-temuan sekarang ini, kemenangan paling mengagumkan oleh manusia atas waktu dan jarak, insentif paling kuat untuk bekerja keras, pertukaran nilai-nilai, dan peradaban,” tulisnya.

Mrazek menambahkan, sampai 1909 jalur-jalur trem di Batavia sudah sepanjang 14 kilometer. Dari sekian perjalanan, hanya ada satu kecelakaan fatal.

Belasan tahun setelah proklamasi kemerdekaan, tepatnya pada 1957, perusahaan Batavia Verkeer Matschapij (BVM) yang menjadi pemilik trem uap dan trem listrik serta mengelola bus, diambilalih oleh Pemerintah Indonesia dan berganti nama menjadi Perusahaan Pengangkutan Djakarta (PPD).

Menurut Zeffry Alkatiri dalam Pasar Gambir, Komik Cina & Es Shanghai: Sisik Melik Jakarta 1970-an (2010), selanjutnya trem listrik diganti oleh bus karena dianggap tak lagi menguntungkan.

Sebuah versi lain mengenai penggantian itu konon datang dari Presiden Sukarno yang tidak suka melihat trem berseliweran di depan istana, sebab merusak pemandangan dan dianggap ketinggalan zaman.

Warsa 1960-an saat semua perjalanan trem dihentikan, rel-rel besi bekas trem itu ditutupi aspal karena jika dibongkar biayanya akan lebih tinggi. Sejak itu, berakhirlah riwayat trem di Jakarta yang pernah mewarnai kehidupan warganya.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Irfan Teguh

tirto.id - Humaniora
Penulis: Irfan Teguh
Editor: Windu Jusuf