Menuju konten utama

Sejarah Tembakau Rakyat yang Berjasa Membuat Petani Bisa Berhaji

Tembakau bisa memberikan keuntungan besar sehingga membuat petani bisa naik haji.

Sejarah Tembakau Rakyat yang Berjasa Membuat Petani Bisa Berhaji
Petani merawat tanaman tembakau di Cicalengka, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Rabu (30/5/2018). ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi

tirto.id - Dalam karya monumental Nusantara: History of Indonesia (1959), sejarawan Belanda Bernard Hubertus Maria Vlekk menyebut tanaman tembakau pertama kali dikenalkan di Asia lewat orang-orang Spanyol yang singgah di Filipina pada abad ke-16. Lambat laun, tembakau pun tiba di wilayah Nusantara dan mulai ditanam secara sporadis pada permulaan tahun 1600-an.

Tak butuh waktu lama sampai komoditas ini menjadi populer sehingga timbul upaya monopoli oleh Kompeni di tahun 1626. Di saat bersamaan, kebiasaan mengisap lintingan tembakau yang disulut ujungnya sudah menjadi fenomena kebudayaan di kalangan elite lokal. Merokok dianggap dapat menunjukan status sosial.

Menurut catatan duta VOC di Jawa abad 17 yang dikumpulkan Amen Budiman dan Onghokham dalam Rokok Kretek: Lintasan Sejarah dan Artinya Bagi Pembangunan Bangsa dan Negara (1987), Kesultanan Mataram merupakan lingkungan yang cukup bersahabat dengan kretek. Oleh beberapa orang utusan VOC, Sultan Agung dan Sunan Amangkurat I digambarkan sebagai sosok yang gemar menghisap tembakau dengan menggunakan pipa perak (hlm. 84).

Memasuki abad ke-19, tembakau berubah menjadi salah satu komoditas unggulan Pemerintah Kolonial Belanda. Dengan harapan meraup penghasilan besar, tembakau mulai ditanam secara besar-besaran melalui sistem tanam paksa. Tak ayal, perkebunan tembakau pun bermunculan secara bertahap dari wilayah ujung timur Pulau Jawa, mulai dari Besuki, Kedu, Cirebon, sampai ke Batavia.

Mereka yang memonopoli tumbuhan berdaun lebar ini datang dari bermacam-macam kalangan. Selain pemilik perkebunan Belanda, ada pula orang-orang China di sekitaran Batavia. Sementara itu, orang-orang pribumi baru mulai menguasai sektor budidaya dan pengolahan tembakau di penghujung abad 19.

Munculnya Tembakau Rakyat

Berdasarkan penelitian Arif Iksanudin yang dimuat dalam makalah “Perkembangan Perkebunan Tembakau di Karesidenan Kedu Tahun 1836-1900,” sekitar tahun 1830-an, Pemerintah Kolonial sudah mulai memaksa petani di beberapa wilayah di Jawa Tengah dan Jawa Timur agar mau ikut menanam tembakau.

Sekitar tahun 1830-an, pemerintah memberikan sponsor kepada pengusaha Belanda bernama Jonkers untuk mengadakan kontrak dengan petani di sekitar wilayah Megelang dan Temanggung. Jonkers memberikan bibit tembakau secara cuma-cuma dengan harapan para petani mau menjual kembali hasilnya dengan harga murah.

Bukannya untung, kerjasama yang berat sebelah tersebut malah membuat Jonkers melarat. Jonkers terus merugi karena petani setempat ternyata belum memahami tata cara menanam tembakau.

Percekcokan antara pengusaha dengan petani pun kerapkali terjadi akibat target panen yang dirasa terlalu tinggi. Secara sepihak, Jonkers menetapkan target 12.000 pikul setiap kali panen, dengan pembagian f 50 per pikul untuk tembakau kualitas rendah dan f 90 untuk tembakau kualitas tinggi.

Sekitar tahun 1840-an, Pemerintah Kolonial lantas mengganti Jonkers dengan pengusaha Van der Sluis. Peralihan kontrak ini tidak menghasilkan perubahan yang berarti, justru semakin meruncing. Bahkan, ketika petani mengalami gagal panen akibat kemarau dan abu vulkanik Gunung Merapi, Van der Sluis malah memutus kontrak dengan pemerintah.

Risiko usaha penanaman tembakau yang tinggi di sekitar Jawa Tengah kemudian memaksa pemerintah melepaskan tanam paksa untuk tanaman tembakau. Tak mau ikut merugi, Belanda kemudian lepas tangan dan membiarkan para petani menanam dan menjual sendiri hasil panen tembakau kepada pihak swasta.

Di luar dugaan, usaha petani tembakau di Temanggung berhasil berubah menjadi tanaman perdagangan rakyat. Berdasarkan catatan yang dihimpun Iksanudin dari Kolonial Verslag tahun 1854, petani tembakau di Karesidenan Kedu berhasil memanen tidak kurang dari 60.000 pikul tembakau dengan penghasilan f 45 per pikul. Sayangnya, harga jual tembakau terus meluncur seiring tahun.

Makmur Berkat Tembakau

Menurut Sartono Kartodirdjo dalam Sejarah Perkebunan di Indonesia: Kajian Sosial-Ekonomi (1991), kuantitas produksi tanaman tembakau di Indonesia menunjukan perkembangan yang berarti di penghujung abad ke-19. Antara 1871 hingga 1913, jumlah perkebunan tembakau di Jawa dan Sumatera meningkat pesat dan berhasil menempatkan tembakau sebagai komoditas yang menonjol di bawah gula dan kopi (hlm. 91).

Laporan yang berhasil dihimpun Vlekke juga menunjukan adanya peningkatan signifikan di bidang ekspor tembakau. Pada 1890, nilai ekspor tembakau dari Hindia Belanda meloncat hampir 10 kali lipat dari f 3,6 juta menjadi f 32,3 juta.

Berdasarkan penelitian Sri Margana, dkk, dalam Kretek Indonesia: Dari Nasionalisme hingga Warisan Budaya (2014), hal tersebut dapat terjadi berkat sifat tembakau yang sesuai dengan kondisi lahan petani bumiputra. Berbeda dengan tebu dan indigo, penanaman tembakau dapat dilakukan di lahan-lahan kritis dan curam sehingga petani lebih mudah menyesuaikan masa tanam (hlm 46).

Selain itu, tembakau juga dapat ditanam berdampingan dengan padi sehingga para petani tetap dapat menikmati hasil panen yang beragam setiap tahunnya. Lambat laun, tembakau kemudian digolongkan sebagai tanaman alternatif dan kerap ditanam berdampingan dengan tanaman pangan untuk kebutuhan sehari-hari.

Pada prakteknya, penanaman tembakau tidak membebani petani bumiputra, sebaliknya malah memberikan kemakmuran. Banyak di antara petani penggarap perkebunan rakyat yang kemudian naik menjadi mandor. Berawal dari penghasilan yang berangsur meningkat, mereka mampu mengakumulasi modal dan membentuk usaha-usaha baru di bidang pertanian dan perdagangan.

Infografik Petani Tembakau Pergi Haji

Infografik Petani Tembakau Pergi Haji. tirto.id/Quita

Berhaji dari Hasil Tembakau

Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya 2 (Jaringan Asia) (1996) menyebutkan bahwa keberadaan petani yang naik haji semakin meningkat jumlahnya di penghujung abad 19 hingga awal abad 20. Mereka tahu betul bagaimana caranya memanfaatkan budidaya perkebunan tembakau dan karet, di samping memonopoli pinjaman uang di wilayahnya (hlm. 171).

Selaras dengan pendapat Lombard, Sri Margana, dkk, juga memaparkan keberadaan perantau muslim dari Madura yang semakin banyak menempati posisi kuli dan mandor di perkebunan tembakau rakyat. Sektor perkebunan tembakau di Jawa tahun 1890-an menjadi lebih bergeliat juga berkat jaringan perdagangan yang dibuat para perantau Madura.

Bambang Purwanto melalui tulisan “Ekonomi” yang dihimpun dalam Ensiklopedia Tematis Dunia Islam (2002) yang disunting Taufik Abdullah, berargumen bahwa keberadaan tembakau rakyat di beberapa wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur pada akhir abad ke-19 memiliki korelasi dengan peningkatan minat dan jumlah jemaah haji dari kalangan petani (hlm. 306).

Para petani, khususnya mereka yang telah memiliki lahan sendiri, disebutkan dapat pergi berhaji bekat keuntungan besar dari hasil menjual padi dan tembakau. Di saat yang bersamaan, tingginya pajak haji yang ditetapkan Pemerintah Kolonial berperan meningkatkan sirkulasi modal dalam perkebunan tembakau rakyat.

Argumen Purwanto tersebut selaras dengan penuturan Shaleh Putuhena dalam Historiografi Haji Indonesia (2007). Menurut Putuhena, tradisi dan prosedur pajak haji di Hindia Belanda sejatinya yang berperan menciptakan etos umat Islam yang gemar berhemat dan bekerja keras untuk meningkatkan kemampuan ekonomi (hlm. 336).

Putuhena mencatat, pada tahun 1895, ongkos naik kapal dari Nusantara ke Jeddah (pulang-pergi) adalah f 283. Apabila harga tembakau di tahun 1890 adalah f 15,30 / pikul, maka setidaknya petani harus menjual sekitar 18,5 pikul tembakau agar bisa membeli satu tiket kapal. Biaya ini belum termasuk pengeluaran karantina di Kamaran dan Abu Saad, serta biaya makan dan ongkos transportasi selama di Haramain.

Sebelum marak tradisi berhaji di kalangan petani tembakau rakyat, peraturan tentang pajak haji sudah pernah ditetapkan Pemerintah Kolonial melalui Ordonansi tahun 1825. Berdasarkan catatan Dien Majid dalam Berhaji di Masa Kolonial (2008), untuk mencegah agar jemaah haji tidak menghabiskan uangnya dan jatuh miskin, para calon haji diwajibkan memiliki uang sekitar f 1000. Selain untuk keperluan membeli tiket kapal, sebagian dari uang tersebut akan disimpan menjadi deposito di tiap Karesidenan dan dapat diambil sekembalinya dari perjalanan haji (hlm. 88).

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Indira Ardanareswari

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Indira Ardanareswari
Editor: Nuran Wibisono