Menuju konten utama

Sejarah Telah Berhenti untuk Hamburg SV

Di Hamburg, sejarah dan masa depan kerap berbaur dengan cara tak terduga. Kadang manis, kadang amat pahit dan sukar diterima.

Sejarah Telah Berhenti untuk Hamburg SV
Hamburg SV terdegradasi dari Bundesliga untuk pertama kalinya dalam 55 tahun terakhir. FOTO/REUTERS

tirto.id - Kota Hamburg mengandung paradoks yang menarik: kosmopolit sekaligus kaya akan tradisi. Memiliki banyak pusat hiburan dan rutinitas selayaknya kehidupan modern, tetapi juga diseraki berbagai bangunan lawas yang mengokohkan masa silam. Di tanah Hamburg, sejarah dan masa kini bergandengan tangan.

Dahulu, Hamburg adalah sebongkah tragedi. Kota ini pernah luluh lantak setelah dibombardir Sekutu dalam serangan yang dinamai Operation Gomorrah pada Juli 1943. Sebanyak 40 ribu lebih manusia tewas, 37.000 lainnya luka-luka. 76 tahun sebelumnya, Karl Marx menerbitkan Das Kapital: Kritik der politischen Ökonomie volume pertama juga di kota ini, persisnya di rumah penerbitan Otto Meisner pada 1867.

Terletak di pinggir sungai Elba, Hamburg adalah kota pelabuhan terbesar kedua di Eropa setelah Rotterdam. Kota ini memiliki Landungsbruecken, tempat keluar masuk utama segala transaksi perairan di pelabuhan, sebagai ikon utama. Jika Anda ingin tur pelabuhan, ada banyak kapal motor yang siap mengantar menuju pelbagai tempat seperti Finkenwerder, Oevelgoenne, atau Blankensee.

Di pinggir dermaga, Anda bisa asyik menyantap Fischbrötchen yang jamak dijual para penjaja kuliner kaki lima. Ia serupa sandwich dengan berbagai pilihan isi: filet ikan herring, salmon, tuna, atau kepiting. Untuk pelengkapnya, tambahkan daun selada, tomat, mentimun, serta bawang. Kudapan ini tidak saja digemari oleh warga Hamburg, tetapi juga populer di daerah Jerman utara yang berdekatan dengan Laut Baltik.

Jika berkunjung ke pelabuhan pada Minggu pagi, Anda dapat mengelilingi Fischmarkt, satu-satunya pasar tradisional Hamburg sejak 1703. Selain menjual berbagai hasil laut yang masih segar, ada pula sayur mayur, pakaian, pun suvenir khas Hamburg di sana.

Bosan dari Fischmarkt, berjalanlah menuju Speicherstadt, yang letaknya tak berjauhan. Speicherstadt adalah kompleks gudang terbesar di dunia, terletak di pelabuhan Hamburg. Komplek ini dibangun sekitar tahun 1883 dan digunakan untuk menyimpan berbagai komoditas perdagangan seperti kopi, teh, rempah-rempah, tembakau, dan karpet oriental. Meski sejak 1980-an Speicherstadt telah berubah menjadi perkantoran, kawasan ini masih terbuka untuk dikunjungi. Sejak 2015, Speicherstadt menyandang status sebagai UNESCO World Heritage Site Jerman ke-40.

Setelah letih menelusuri pelabuhan, keluyuranlah ke kota. Anda akan melihat bangunan megah Balai Kota yang dibangun dari batu dengan ciri khas arsitektur neo-renaissance. Tak jauh dari sana, terdapat pula bangunan Gereja protestan bergaya baroque, St. Micheli. Di sepanjang bulevar, berjejer tempat perbelanjaan yang juga dapat sambangi. Dari kedai suvenir untuk kelas backpacker atau toko eksklusif bagi para borjuis tersedia lengkap di sana.

Tapi Hamburg tak cuma soal wisata dan hal-hal menyenangkan lainnya. Ada kebanggaan lain yang dimiliki kota ini: sebuah tim sepakbola bernama Hamburger Sport-Verein e.V atau yang biasa dikenal dengan sebutan Hamburg SV.

Hamburg, Si Dinosaurus

Sejak berdiri mulai 1887, Hamburg termasuk salah satu klub yang dengan cepat berada dalam kasta elit sepakbola Jerman. Pada tahun 1919, mereka sudah menjadi penantang utama Nuremberg, klub penguasa sepak bola Jerman era 1920-an. Hamburg juga berhasil meraih Piala Viktoria pada tahun 1923 dan 1928.

Ada kisah unik ketika kedua tim bertemu di final 1922 di Berlin. Sebermula ketika skor tetap imbang 2-2 hingga 90 menit waktu normal, laga diteruskan untuk menentukan pemenang. Namun, bahkan hingga 3 jam 10 menit lebih waktu perpanjangan digelar, skor masih tetap sama. Wasit pun terpaksa menghentikan laga lantaran hari makin gelap. Perlu diingat bahwa peraturan adu penalti kala itu belum ada.

Laga ulangan digelar pada 6 Agustus 1922 dan skor kembali imbang 1-1. Hingga babak pertama perpanjangan waktu, Nuremberg sudah kehilangan dua pemain: (1) Willi Böss (diusir dari lapangan karena menendang perut lawan), (2) Kugler (cedera). Selain adu penalti, sistem pergantian pemain pun juga belum berlaku saat itu. Alhasil, Kugler pun tak ada yang menggantikan.

Seiring laga, Nuremberg kembali kehilangan beberapa pemain hingga tinggal tujuh orang di lapangan. Hal ini dianggap melanggar peraturan dan pertandingan dihentikan. Sampai di sini, Hamburg semestinya menjadi juara. Akan tetapi, Nuremberg melancarkan protes kepada Federasi Sepakbola Jerman. Sial bagi Hamburg, protes tersebut diterima.

Merasa tak terima, giliran Hamburg yang gantian protes. Lucunya, Federasi Sepakbola Jerman mengabulkan. Aksi saling memprotes itu akhirnya selesai setelah Hamburg diputuskan tetap menjadi juara. Tapi Hamburg yang keburu sewot menolak gelar tersebut. Itu kali kedua sejak 1904 pagelaran Piala Viktoria berakhir tanpa ada juara.

Memasuki era Bundesliga pada 1962, Hamburg mulai meraih kejayaan, terutama sejak akhir 1970-an hingga dekade 1980. Mereka menjadi Deutscher Meister tahun 1979, 1982, dan 1983. Selain itu, Hamburg tercatat mencetak rekor 36 kali tak terkalahkan di Bundesliga pada periode Januari 1982-Januari 1983. Sebuah rekor yang baru bisa dipecahkan Bayern Muenchen pada 2014.

Di ranah Eropa, Hamburg merambah kesuksesan pada 1983 setelah mengandaskan Juventus 1-0 lewat gol Felix Magath. Sebelumnya, mereka berhasil menjuarai Winners Cup pada 1977 dengan menundukkan Anderlecht, 2-0. Beberapa penggawa Hamburg dalam masa kesuksesan itu terdiri dari Georg Volkert, Felix Magath, Horst Hrubesch, juga Kevin Keegan. Adapun arsitek tersukses Hamburg adalah pelatih eksentrik asal Austria, Ernst Happel.

Setelah masa keemasan tersebut, Hamburg secara perlahan bersalin rupa menjadi tim semenjana. Mereka memang selalu berada di kompetisi teratas Bundesliga, tapi dengan keadaan tertatih-tatih. Pada musim 2012-2013 dan 2013-2014, misalnya, mereka bahkan harus melewati fase play-off untuk bisa memperpanjang nafas di Bundesliga.

Pun demikian, Hamburg toh tetap merasa jemawa karena menjadi satu-satunya tim yang tak pernah degradasi sejak format Bundesliga pertama kali dibuat. Frankfurt dan Kaiserslautern pernah terdegradasi pada tahun 1996. Sedangkan Cologne merasakan hal yang sama dua tahun kemudian. Jangan tanya Bayern Munich, tim ini bahkan baru ikut serta dalam Bundesliga pada musim 1965-1966.

Itulah kenapa kemudian Hamburg dijuluki Der Dino, Si Dinosaurus: sebab hanya merekalah tim tua yang belum punah.

Detik-Detik Menuju Kepunahan

Memasuki periode 2010-an, kejemawaan Hamburg makin remuk akibat performa buruk yang tak kunjung membaik. Pada musim 2011/12, misalnya, mereka mengakhiri musim di peringkat ke-15. Situasi yang cukup mirip juga terjadi pada musim 2013/14. Hamburg hanya mampu bertengger di peringkat ke-16, ambang batas degradasi.

Sesuai aturan, mereka harus melewati laga play-off melawan peringkat ketiga Bundesliga 2, Greuter Fuerth. Meski dalam dua pertandingan skor sama kuat 1-1, Hamburg tetap mampu bertahan berkat keunggulan gol tandang.

Pada musim berikutnya Hamburg masih dalam kondisi nyaris sama. Terseok-seok di Bundesliga dan hanya meraih 9 kemenangan sepanjang musim, mereka kembali harus melakoni laga play-off karena berposisi 16 klasemen. Beruntung mereka dapat mengalahkan Karlsruher SC dengan agregat 3-2.

Tetapi, pada musim 2017/2018, nasib baik menjauhi Hamburg. Hingga pekan ke-33, mereka masih menempati peringkat ke-17 dan mengoleksi 28 poin, hanya selisih dua angka dari VfL Wolfsburg di peringkat ke-16. Untuk selamat dari degradasi, Hamburg bukan saja harus menang dari Borussia Moenchengladbach dalam laga pekan terakhir, tetapi juga berharap agar Wolfsburg tumbang dari FC Koeln.

Pada prosesnya, Hamburg memang meraih kemenangan 2-1 atas Moenchengladbach. Hanya saja, Wolfsburg juga sukses mengalahkan Koeln 4-1 dan masih akan menjalani laga play-off menghadapi tim peringkat tiga Bundesliga 2 untuk menghindari degradasi.

Keberuntungan Hamburg sirna sepenuhnya: mereka (akhirnya) harus rela turun kasta.

Infografik Hamburg Degradasi

Berhentinya Detak Jam di Volksparkstadion

Jika berkunjung ke Volksparkstadion, markas Hamburg yang kini bernama Imtech Arena, Anda bisa melihat sebuah jam digital raksasa yang terletak di sisi barat tribun. Jam tersebut telah terpasang sejak awal keikutsertaan Hamburg di Bundesliga pada 24 Agustus 1963.

Berbeda dari jam kebanyakan, fungsi jam itu bukan petunjuk waktu pertandingan, melainkan menunjukkan (baca: memamerkan) durasi keikutsertaan Hamburg di divisi tertinggi. Jam itu baru berhenti berdetak jika Hamburg turun kasta.

Setiap fans Hamburg berhak menganggap jam raksasa tersebut simbol kebanggaan sebagai tim tua yang belum pernah turun dari Bundesliga. Namun, tak sedikit dari orang lain menafsirkan sebaliknya: jam itu tak ubahnya semacam kejemawaan yang menjengkelkan.

Dalam wawancara dengan New York Times, Alexander Iwan, yang mengaku sudah menjadi suporter Hamburg sejak masih kanak, menyiratkan kejemawaan tersebut melalui perbandingan dengan Bayern Munich. “Mereka memenangi dua trofi dalam setahun. Tapi kami punya ini,” ujar Iwan seraya menunjuk jam digital tersebut.

Iwan masih berusia tujuh tahun ketika Hamburg memenangi Piala Jerman pada 1987. Hingga saat ini, dalam tiap pertandingan kandang Hamburg, ia berada di tribun bersama barisan suporter garis keras untuk memberikan dukungan. Sekitar 12 tahun lalu, ketika kampusnya melakukan kunjungan studi, Iwan-lah yang bertindak sebagai juru sejarah klub.

Terlepas dari bagaimana kondisi klub saat ini, Iwan melanjutkan, jam tersebut selalu akan menjadi simbol sejarah. "Ini menunjukkan segalanya - semua sejarah, semua masalah - sekaligus," katanya.

Pandangan berbeda ditunjukkan Toben Baumgarten, salah seorang suporter Hamburg yang juga mendukung klub ini sejak masih kecil. Menurutnya, jam digital itu justru lebih mirip sebagai kutukan. “Saya tak tahu apakah saat ini jam itu serupa berkah atau kutukan. Hal ini membuat tim merasa tertekan. Mereka harus menjaga agar jam tersebut terus berdetak,” ujar Baumgarten yang kini telah berusia 24 tahun, yang juga dikutip dari New York Times.

Baumgarten tak salah-salah amat. Beban sejarah tersebut memang dirasakan pemain. Bobby Wood, striker asal Amerika yang didatangkan Hamburg dari Union Berlin, mengatakan tidak butuh waktu lama bagi pemain untuk memahami sejarah klub sekaligus mewarisi tekanan emosionalnya: bahkan di bus tim pun replika jam digital Volksparkstadion juga dipajang.

“Anda tidak ingin berada dalam tim yang terdegradasi setelah bertahun-tahun berhasil mempertahankannya,” kata Wood. “Hanya karena kami tidak pernah terdegradasi, bukan berarti hal itu tak akan pernah terjadi. Anda tidak boleh berpikir seperti itu.”

Kini, setelah 54 tahun 261 hari bertahan di Bundesliga, Hamburg harus merasakan menjadi tim semenjana dalam arti sebenarnya: berada di kompetisi kelas dua. Jam di Volksparkstadion pun berhenti berdetak dan Si Dinosaurus telah punah. Tak ada lagi kutukan, tak ada lagi beban emosional. Tinggal rasa malu tak tertahankan, juga kebanggaan yang rontok tanpa bisa dikembalikan lagi.

Melihat apa yang terjadi dengan tim sepakbola kebanggaan mereka, Hamburg menunjukkan sekali lagi betapa sejarah dan masa depan kerap berbaur di kota ini dengan cara yang tak terduga.

Baca juga artikel terkait BUNDESLIGA atau tulisan lainnya dari Eddward S Kennedy

tirto.id - Olahraga
Penulis: Eddward S Kennedy
Editor: Eddward S Kennedy