Menuju konten utama

Sejarah Singkat Tahun Baru: Mengapa Selalu Dimulai pada 1 Januari?

Mengapa tanggal 1 Januari dirayakan sebagai tahun baru? Untuk mengetahui jawabannya, simak sejarah singkat tahun baru berikut ini.

Sejarah Singkat Tahun Baru: Mengapa Selalu Dimulai pada 1 Januari?
Pedagang menyelesaikan pembuatan terompet di kawasan Glodok, Jakarta, Senin (30/12/2019). ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/wsj.

tirto.id - Tanggal 1 Januari ditetapkan sebagai hari tahun baru bukannya tanpa alasan. Ada sejarah panjang dibalik penetapan tanggal tersebut. Bagi Anda yang penasaran, berikut ini sejarah singkat tahun baru yang perlu Anda ketahui.

Malam Tahun Baru jatuh pada tanggal 31 Desember. Malam tahun baru merupakan hari terakhir menjelang akhir tahun yang akan diawali dari 1 Januari. Di beberapa negara, malam tahun baru dan tahun baru dirayakan pada saat yang sama, yaitu 31 Desember untuk malam tahun baru dan 1 Januari untuk tahun baru.

Dikutip dari Encyclopaedia Britannica, faktanya selama berabad-abad, kalendar yang beredar di beberapa negara tak selalu diawali dari tanggal 1 Januari, beberapa berawal dari 25 Maret atau 25 Desember. Jadi, mengapa 1 Januari ditetapkan sebagai Hari Tahun Baru?

Sejarah Tahun Baru: Mengapa Selalu Dimulai pada 1 Januari?

Pada masa pemerintahan Raja Romawi Numa Pompilius, sekitar 715-673 SM, Numa merevisi kalender republik Romawi sehingga Januari menggantikan Maret sebagai bulan pertama. Keputusan itu dianggap tepat, karena Januari diambil dari nama Jenus, dewa Romawi untuk segala permulaan, dan Maret diambil dari Mars, dewa perang.

Beberapa sumber menyebut, Numa menciptakan bulan Januari. Namun, ada sejumlah bukti yang menyatakan 1 Januari tidak dijadikan sebagai awal tahun Romawi hingga 153 SM.

Pada 46 SM, Julius Caesar membuat lebih banyak perubahan, meskipun kalender Julian menetapkan 1 Januari sebagai tanggal pembukaan tahun. Dengan perluasan Kekaisaran Romawi, penggunaan kalender Julian juga menyebar.

Namun, setelah jatuhnya Roma pada abad ke-5 M, banyak negara Kristen mengubah kalender sehingga lebih mencerminkan agama mereka, dan 25 Maret (Pesta Pemberitaan Kabar Sukacita) dan 25 Desember (Natal) menjadi Hari Tahun Baru.

Belakangan diketahui, kalender Julian memerlukan perubahan tambahan karena salah perhitungan tentang tahun kabisat. Efek kumulatif kesalahan ini selama beberapa abad menyebabkan berbagai peristiwa terjadi pada musim yang salah. Hal ini juga mengakibatkan masalah ketika menentukan tanggal Paskah.

Dengan demikian, Paus Gregorius XIII memperkenalkan kalender yang direvisi pada 1582. Selain menyelesaikan masalah dengan tahun kabisat, kalender Gregorian memulihkan 1 Januari sebagai awal Tahun Baru.

Italia, Perancis, dan Spanyol menjadi negara yang langsung menerima kalender baru. Negara-negara Protestan dan Ortodoks lebih lambat dalam mengadopsi kalender baru ini. Inggris dan koloni Amerika tidak langsung memakai kalender Gregorian sampai 1752. Sebelum itu mereka merayakan Hari Tahun Baru pada 25 Maret.

Seiring waktu negara-negara non-Kristen juga mulai menggunakan kalender Gregorian. Cina (1912) adalah salah satu contoh penting, meskipun mereka juga tetap merayakan Tahun Baru Cina. Bahkan, banyak negara yang mengikuti kalender Gregorian juga memiliki kalender tradisional atau agama.

Beberapa negara tidak pernah mengadopsi kalender Gregorian dan dengan demikian memulai tahun pada tanggal selain 1 Januari. Ethiopia, misalnya, merayakan Tahun Baru (dikenal sebagai Enkutatash) pada bulan September.

Perayaan Malam Tahun Baru

Di banyak negara, perayaan malam tahun baru dimulai pada 31 Desember dan berlanjut hingga 1 Januari pada dini hari. Dikutip dari History, perayaan yang paling umum dilakukan orang-orang saat Tahun Baru adalah menikmati makanan bersama keluarga atau sahabat sambil berharap keberuntungan pada tahun depan.

Di Spanyol dan beberapa negara berbahasa Spanyol lainnya, orang-orang membubuhi selusin anggur, yang melambangkan harapan mereka untuk bulan-bulan mendatang tepat sebelum tengah malam.

Di banyak negara lain, hidangan tradisional Tahun Baru biasanya akan didominasi kacang-kacangan, yang dianggap menyerupai koin dan menjadi simbol kesuksesan finansial pada masa depan.

Babi, yang menjadi simbol kemajuan dan kemakmuran di beberapa budaya, juga akan muncul sebagai hidangan Malam Tahun Baru di Kuba, Austria, Hongaria, Portugal, dan negara-negara lain.

Kue yang dihidangkan umumnya berbentuk cincin, sebuah pertanda tahun telah tiba sebagai sebuah lingkaran penuh. Kue-kue ini melengkapi pesta di Belanda, Meksiko, Yunani dan di tempat lain.

Di Swedia dan Norwegia, puding beras dengan almond yang tersembunyi di dalamnya disajikan pada Malam Tahun Baru. Siapa pun yang menemukan kacang di dalamnya bisa memohon keberuntungan untuk 12 bulan yang akan datang.

Kebiasaan lain yang umum dilakukan di seluruh dunia saat malam Tahun Baru yaitu menonton kembang api dan menyanyikan lagu-lagu untuk menyambut tahun baru, termasuk “Auld Lang Syne” yang populer di banyak negara berbahasa Inggris.

Praktik membuat resolusi untuk tahun baru diperkirakan pertama kali ditemukan di antara orang Babilonia kuno, yang membuat janji untuk mendapatkan bantuan dari para dewa. Mereka dilaporkan akan bersumpah untuk melunasi utang dan mengembalikan peralatan pertanian yang dipinjam.

Di Amerika Serikat, tradisi Tahun Baru yang paling ikonik adalah menjatuhkan bola raksasa di Times Square, New York City pada tengah malam. Jutaan orang di seluruh dunia menonton acara tersebut, yang telah berlangsung hampir setiap tahun sejak 1907.

Seiring berjalannya waktu, bola itu sendiri berganti dari bola besi dan kayu seberat 700 pon ke bola bermotif cerah berdiameter 12 kaki dan berat hampir 12.000 pound. Berbagai kota di Amerika Serikat telah mengembangkan versi mereka sendiri dari ritual Times Square.

Merayakan Tahun Baru di Tengah Pandemi

Tahun baru kali ini masih dalam situasi pandemi. Oleh karenanya, dalam merayakan tahun baru disarankan untuk melakukan kegiatan tanpa harus ke luar rumah. Sehingga, keluarga tetap aman dan sehat.

Beragam cara bisa dilakukan untuk mengisi waktu libur baik sendiri maupun bersama keluarga di rumah saja. Salah satunya adalah tur atau wisata virtual yang menjadi alternatif jalan-jalan aman untuk melepas rindu melancong yang belum sepenuhnya tuntas.

Inovasi wisata virtual diadaptasi oleh tempat-tempat wisata, museum, juga pemandu wisata yang sepi tawaran kerja karena tidak ada turis yang datang ke tempat mereka.

Selama pandemi, banyak terselenggara wisata virtual baik gratis maupun berbayar untuk orang-orang yang sudah tak sabar ingin jalan-jalan. Berbeda dengan mencari-cari informasi atau video secara mandiri, ada pemandu yang bisa menjelaskan informasi menarik seputar tempat yang dikunjungi.

Tur virtual memang tak bisa menggantikan sensasi jalan-jalan, tapi setidaknya bisa jadi pengobat rasa rindu sembari menunggu situasi kembali aman untuk bepergian, juga mempersiapkan Anda membuat rencana perjalanan kelak.

Baca juga artikel terkait PERAYAAN TAHUN BARU atau tulisan lainnya dari Dipna Videlia Putsanra

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Dipna Videlia Putsanra
Editor: Yantina Debora
Penyelaras: Ibnu Azis