Menuju konten utama

Sejarah Supermarket Hero: Agar Bule Tak Perlu Belanja ke Singapura

M.S. Kurnia memulai bisnisnya dari bawah. Ia mendirikan Hero untuk menyediakan kebutuhan orang asing.

Sejarah Supermarket Hero: Agar Bule Tak Perlu Belanja ke Singapura
Hero Supermarket. FOTO/Hero

tirto.id - PT Hero Supermarket Tbk (Hero) resmi mengumumkan menutup 26 gerainya di Indonesia pada awal tahun ini. Corporate Affairs Hero Tony Mampuk menyatakan penutupan gerai tersebut telah diputuskan pada 10 Januari 2019. Menurutnya, itu merupakan strategi efisiensi untuk memaksimalkan produktivitas kerja.

"26 toko telah ditutup dan 532 karyawan yang terdampak dari kebijakan efisiensi tersebut,” kata Tony dalam siaran resmi tertulisnya yang diterima reporter Tirto pada Minggu (13/1/2019).

Tony menjelaskan, sampai kuartal III 2018, nilai penjualan Hero menurun 1 persen. Penurunan itu terjadi karena penjualan dari sektor makanan lebih rendah dibanding tahun sebelumnya. Meskipun demikian, kata Tony, bisnis non-makanan tetap tumbuh.

Penutupan 26 gerai itu diputuskan perusahaannya demi menjamin bisnis bisa berkembang secara berkelanjutan.

“Perusahaan saat ini sedang menghadapi tantangan bisnis khususnya dalam bisnis makanan, oleh karena itu kami mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menjaga keberlangsungan usaha di masa yang akan datang,” ujar Tony.

Penutupan Hero memang patut disayangkan. Bagaimana pun juga Hero adalah salah satu supermarket tertua di Indonesia dan memiliki sejarah panjang. Supermarket ini juga punya tempat tersendiri dalam memori orang-orang Indonesia.

Sejarah Hero bermula dari ketajaman naluri bisnis dan keuletan seorang keturunan Tionghoa bernama Muhammad Saleh Kurnia

Merangkak dari Bawah

Perang harus dilalui Muhammad Saleh Kurnia sedari kecil. Kampungnya di Cibadak, Sukabumi, pernah kena bom Sekutu. Rumahnya hancur. Seperti biasa, perang tak hanya mematikan ekonomi keturunan Tionghoa seperti keluarga Kurnia, keluarga lain juga sengsara. Bersama keluarganya, dia ikut mengungsi ke Jakarta, yang dianggap lebih aman. Di Jakarta, mereka merangkak dari bawah.

Hidup Kurnia seperti banyak bocah lainnya yang bekerja sedari kecil untuk bertahan hidup. Sekolah formal tampaknya sampingan saja. Asal bisa baca-tulis-berhitung dan dapat ijazah, itu sudah bagus di Indonesia.

Namun, banyak orang Indonesia, seperti Kurnia, merasakan belajar sesungguhnya bukan di sekolah, tapi dunia nyata. Dunia nyata bagi Kurnia adalah dunia dagang. Dia pernah merasakan bagaimana sebuah toko kelontong harus dijalankan.

Setelah beranjak besar, laki-laki kelahiran 1 Desember 1935 ini mendirikan sebuah usaha bernama CV Hero bersama abangnya, Wu Guo Chang. Usaha itu didirikan pada 1954.

Kongsi kakak beradik itu berakhir pada 1959. Abangnya cabut dan dia pun meneruskan CV Hero di zaman sulitnya usaha-usaha rakyat berkembang. Kurnia bertarung di masa yang sama dengan Dick Gelael muda memulai usaha. Mereka hidup kala tempat belanja modern, dengan barang yang bagus dan harga jelas, adalah sesuatu yang langka.

Pada 1957, seperti dicatat buku Apa & siapa sejumlah orang Indonesia 1985-1986 (1986), Kurnia memulai tokonya di Jalan Falatehan No. 1, Jakarta.

Mengincar Orang-Orang Asing

Banyak orang asing bekerja di Indonesia setelah 1960-an. Kurnia memperhatikan kebiasaan orang-orang asing itu. "Lihatlah orang-orang asing itu, mereka pergi ke Singapura 3 atau 4 kali hanya untuk berbelanja makanan barat dan minuman. Ini adalah kesempatan, kita bisa mengimpor makanan dan minuman yang mereka butuhkan dan kita bisa menjualnya lagi di Jakarta,” pikir Kurnia, seperti dikutip laman resmi Hero.

Nurhajati, istri Kurnia, dalam buku Perintis Ritel Modern Indonesia: Memoar Pendiri Grup HERO (2003: 94), bercerita bagaimana mereka melihat peluang positif dari orang-orang bule yang doyan ke Singapura itu.

“Kita boleh siapkan sejumlah dagangan dan menjualnya, agar mempermudah mereka untuk menyiapkan makanan sehari-hari. Tidak membuat mereka repot di dapur dan tak perlu sering terbang ke Singapura untuk berbelanja. Bukankah itu akan membuat mereka lebih tenang bekerja di sini?" pikir Kurnia.

Nurhajati kemudian menanggapinya dengan ketidakyakinan, “Sanggupkah kita melakukannya?"

Sebelum melangkah jauh, Kurnia dan Nurhajati pun ke Singapura dulu. Seperti saran sahabat bule mereka yang orang Kanada, Charles Turton. Di Singapura, seperti pasangan bulan madu, mereka berdua melihat-lihat tempat orang-orang bule berbelanja.

Sepulang dari sana, mereka pun meniru berjualan seperti di supermarket Singapura. Kurnia dan istri kemudian memberanikan diri untuk membuka toko swalayan Jalan Falatehan No. 23, Kebayoran baru, Jakarta Selatan, pada 23 Agustus 1971. Pekerja mereka awalnya hanya 16 orang. Nama swalayan itu seperti nama CV yang didirikan pada 1954: Hero.

Kurnia seperti berharap Hero menjadi pahlawan dari orang-orang bule yang biasanya terpaksa rajin belanja ke Singapura. Orang bule di Jakarta tentu akan menghemat banyak ongkos jika belanja di Hero. Dalam hal ini, Kurnia seperti Bob Sadino yang bisnisnya lahir karena kebutuhan para ekspatriat.

Toko mereka berada di tengah perumahan mewah, tapi ternyata itu bukan jaminan mereka langsung jaya. Makanan yang mereka jual ada yang tidak laku. Kurnia pun membangun gudang khusus untuk mengawetkan makanan.

Kurnia juga sadar bahwa dunia bisnis yang melayani orang banyak bukan kantor pemerintahan yang tutup di hari Minggu. Kala itu Sabtu masih terhitung hari kerja. Bisnis yang melayani orang banyak sudah seharusnya buka di hari libur. Apalagi hari libur adalah hari baik untuk berbelanja kebutuhan. Menyikapi toko yang buka di hari Minggu, jadwal kerja pegawai tentu diatur.

Sementara itu, Dick Gelael dan pusat perbelanjaannya—yang juga bernama Gelael—berkembang pula di masa Orde Baru. Seperti Hero, Gelael punya cabang di luar Jakarta. Orang bule atau orang-orang kelas menengah kota besar meminati Hero atau Gelael, jauh sebelum supermarket sejenis menjamur di seluruh Indonesia.

Infografik Hero

Infografik Hero

Raja Supermarket

Di era 1980-an, Hero punya 9 cabang di Jakarta. Itu baru awalnya. Era 1990-an Hero kemudian buka cabang di kota-kota lain, termasuk di Balikpapan—kota yang pada 1990-an terhitung sepi dibanding kota di Sumatra atau Sulawesi.

Potensi Balikpapan di mata Hero tentunya orang-orang bule dan para pegawai perminyakan yang banyak uang dan sudah diajari belanja di supermarket oleh bos bule mereka. Di Balikpapan, Hero berada di pusat kota, Jalan Jenderal Sudirman alias Klandasan, di kawasan Balikpapan Center (BC). Pada 1990-an untuk merujuk kawasan itu orang-orang kerap menyebutnya Hero.

Orang Indonesia di era 1990-an lebih banyak belanja bahan makanan di pasar tradisional. Hero adalah tempat belanja yang cukup bergengsi.

Pada 1989, Hero mulai melantai di bursa efek Jakarta dengan kode HERO. Nama perusahaan yang menaungi Hero sendiri adalah PT Hero Supermarket Tbk.

Sebelum M.S. Kurnia meninggal dunia pada 10 Mei 1992, Ipang Kurnia sudah masuk ke Hero. Dia memulai sebagai asisten M.S. Kurnia. Hero termasuk supermarket yang ikut melakukan komputerisasi dalam perniagaan sehari-harinya.

Pada 1990-an, Hero cukup merajai pangsa supermarket di Indonesia, sebelum pesaing-pesaing lain muncul dan menguat. Hero berjasa dalam memperkenalkan supermarket, setidaknya turut mengajari orang-orang Indonesia belanja di supermarket. Karena Hero, pesaing-pesaing yang belakangan muncul tidak begitu sulit dapat pelanggan untuk datang berbelanja.

Baca juga artikel terkait PASAR MODERN atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Bisnis
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan