Menuju konten utama
12 Agustus 1945

Sejarah Sukarno-Hatta Menjemput Janji Kemerdekaan ke Dalat

Sejarah mencatat, tanggal 12 Agustus 1945, Jepang menjanjikan kemerdekaan Indonesia yang disampaikan kepada Sukarno, Mohammad Hatta, dan Radjiman Wediodiningrat di Dalat, Vietnam.

Sejarah Sukarno-Hatta Menjemput Janji Kemerdekaan ke Dalat
MOZAIK HEADER LAHIRNYA REPUBLIK

tirto.id - Sejarah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia didahului oleh rangkaian peristiwa seru bak kisah drama. Salah satunya adalah ketika Sukarno dan Mohammad Hatta, serta Radjiman Wediodiningrat, diterbangkan ke Dalat, Vietnam, untuk “menjemput” kemerdekaan yang dijanjikan oleh Jepang.

Taufik Abdullah, dikutip dari tulisan Selamat Ginting bertajuk “Aroma Kemerdekaan dari Dalat” yang dimuat Republika (12 Agustus 2014), mencatat bahwa ada tiga alasan mengapa Jepang merasa perlu mengajukan proposal mengenai janji kemerdekaan kepada bangsa Indonesia.

Alasan pertama, demi menarik simpati rakyat Indonesia. Jika pasukan Dai Nippon benar-benar kalah dari Sekutu dan bangsa Indonesia merdeka, maka kemerdekaan itu bisa dianggap merupakan hadiah dari Jepang.

Kedua adalah untuk memperkuat politik Asia Timur Raya. Dukungan Indonesia dari sisi politik, sebagai sesama bangsa Asia, tentunya amat berguna bagi Jepang apabila nantinya memang dibutuhkan.

Alasan yang ketiga adalah demi mendapatkan keuntungan dalam percaturan perang. Indonesia memiliki banyak sumber daya, baik alam, bahan-bahan baku, maupun tenaga kerja, yang bisa dimaksimalkan untuk membantu keperluan perang bagi pasukan Dai Nippon.

Tegang Menuju Vietnam

Sukarno, Hatta, dan Radjiman oleh pemerintah militer Dai Nippon dianggap sebagai tiga tokoh penting serta berpengaruh bagi rakyat Indonesia. Ketiganya juga merupakan personil utama Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). PPKI sebenarnya sudah dibentuk sejak 7 Agustus 1945, namun rinciannya akan ditegaskan di Dalat nanti.

Misi menegangkan ke Vietnam dimulai pada 8 Agustus 1945 jelang tengah malam. Penerbangan ke Dalat sengaja dilakukan secara rahasia lantaran gentingnya situasi kala itu. Memang, waktu tempuhnya tidak terlalu lama via jalur angkasa, tapi amat berbahaya. Pesawat Sekutu sewaktu-waktu bisa datang untuk menyerang.

Dari Bandara Kemayoran, pesawat yang membawa tiga bapak bangsa Indonesia dengan kawalan beberapa perwira Jepang itu tidak langsung ke Vietnam. Tanggal 9 Agustus 1945 menyongsong pagi, dikutip dari buku Kembali ke Jatidiri Bangsa (2002) karya Djon Pakan, pesawat mendarat di Singapura untuk singgah sejenak sembari memantau situasi.

Keputusan transit sehari di negeri singa ternyata pilihan tepat. Di hari yang sama, Kota Nagasaki di Jepang dijatuhi bom atom oleh Amerika Serikat, mengulang kejadian serupa yang telah menimpa Hiroshima pada 6 Agustus 1945.

Perjalanan diteruskan pada esok hari tanggal 10 Agustus 1945. Beberapa jam kemudian, tibalah pesawat yang menopang nasib bangsa Indonesia tersebut di Saigon, Vietnam, dengan selamat.

Sehari itu, rombongan kecil dari Indonesia beristirahat di Saigon (sekarang bernama Ho Chi Minh), sebelum melanjutkan penerbangan. Hatta dalam Memoir (1979) menyebut bahwa jarak antara kota terbesar di Vietnam itu menuju ke Dalat sekitar 300 kilometer ke arah utara.

Tanggal 11 Agustus 1945, perjalanan dilanjutkan ke Dalat dan tiba di hari yang sama. Sukarno, Hatta, dan Radjiman beserta rombongan harus menunggu keesokan hari sesuai jadwal pertemuan dengan Marsekal Hisaichi Terauchi.

Infografik Mozaik Indonesia Merdeka Bukan Hadiah Jepang

Infografik Mozaik Indonesia Merdeka Bukan Hadiah Jepang. tirto.id/Nadia

Janji Marsekal Terauchi

Perjumpaan dengan pemimpin militer tertinggi Jepang untuk kawasan Asia Tenggara itu pun terjadi pada 12 Agustus 1945. Marsekal Terauchi, yang juga anak sulung Perdana Menteri Jepang Terauchi Masatake, membeberkan alasan mengapa memanggil Sukarno, Hatta, dan Radjiman ke Dalat.

Kepada Bung Karno dan kawan-kawan, Terauchi mengakui bahwa pihaknya memang sedang di ujung tanduk. Leburnya Hiroshima dan Nagasaki, serta rentetan kekalahan di sejumlah front Perang Asia Timur Raya menjadi pertanda kuat bahwa Jepang tak lama lagi bakal takluk.

Maka, kata Terauchi, Indonesia harus segera bersiap-siap merdeka, dan itu menjadi tugas Sukarno, Hatta, Radjiman, serta para anggota PPKI untuk mempersiapkannya. “Kapanpun bangsa Indonesia siap, kemerdekaan boleh dinyatakan,” janji Terauchi.

Kendati begitu, seperti diungkap A.J. Sumarmo dalam Pendudukan Jepang dan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia (1991), pemerintah Jepang menyarankan agar kemerdekaan Indonesia dinyatakan setidaknya tanggal 24 Agustus 1945.

Menurut Terauchi, perlu waktu untuk melakukan berbagai persiapan sebelum proklamasi kemerdekaan diwujudkan.

Sukarno sempat bertanya, “Apakah sudah boleh bekerja sekitar 25 Agustus 1945?”

"Silakan saja, terserah tuan-tuan," jawab Marsekal Terauchi.

Bung Karno dan kawan-kawan tampaknya setuju dengan tawaran kemerdekaan dari Jepang tersebut. Hatta bahkan sempat mengungkapkan perasaannya atas janji Terauchi itu.

“Sesudah berjuang sekian lama untuk mencapai Indonesia merdeka, ternyata terwujud hari ini bertepatan dengan hari ulang tahun saya, 12 Agustus,” tulis Hatta dalam Memoir (1979).

Rencana Kemerdekaan

Dalam pertemuan itu, seperti dikutip dari buku Konflik di Balik Proklamasi: BPUPKI, PPKI, dan Kemerdekaan yang ditulis St Sularto dan Dorothea Rini Yunarti, Terauchi juga menyampaikan rincian 21 anggota PPKI yang telah disusun oleh pemerintah Dai Nippon.

Terauchi menunjuk Sukarno dan Hatta masing-masing selaku ketua, wakil ketua, dan penasihat. Sedangkan Radjiman sebagai anggota bersama 18 orang lainnya termasuk, Kiai Haji Wahid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, Otto Iskandardinata, Teuku Mohammad Hasan, Sam Ratulangi, I Gusti Ketut Puja, Johannes Latuharhary, Yap Tjwan Bing, dan sejumlah nama lagi.

Jajaran anggota PPKI ini tidak hanya berasal dari Jawa saja, melainkan juga dari pulau-pulau lain. Rinciannya: 12 orang dari Jawa, 3 orang Sumatera, 2 orang dari Sulawesi, masing-masing 1 orang dari Kalimantan, Nusa Tenggara (Sunda Kecil), dan Maluku, serta 1 orang wakil golongan keturunan Tionghoa.

Kesan Terauchi memang meyakinkan dan tampaknya benar-benar akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia jika waktunya tiba. Ia bahkan menyampaikan selamat atas kemerdekaan yang tidak lama lagi bakal terwujud.

Setelah jamuan makan dan acara minum teh bersama, pertemuan itu pun diakhiri. Sukarno, Hatta, dan Radjiman bersiap pulang. Mereka tidak sabar ingin segera mengabarkan hasil kesepakatan dengan Terauchi yang berisi janji kemerdekaan untuk bangsa Indonesia.

Di tanah air nanti, justru muncul rangkaian polemik sebelum Indonesia benar-benar merdeka pada 17 Agustus 1945. Kemerdekaan ini bukanlah hadiah dari Jepang seperti yang dijanjikan Terauchi serta sempat diterima dengan senang hati oleh Bung Karno dan kawan-kawan.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya

tirto.id - Humaniora
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti