Menuju konten utama
Sejarah Indonesia

Sejarah Singkat Kesultanan Cirebon: Kerajaan Islam Sunda Pertama

Kesultanan Cirebon adalah kerajaan bercorak Islam pertama dalam sejarah tanah Sunda atau Jawa Barat.

Sejarah Singkat Kesultanan Cirebon: Kerajaan Islam Sunda Pertama
Kereta Paksi Naga Liman dalam pameran Pusaka di Keraton Kanoman, Cirebon, Jawa Barat, Senin (18/9/2017). ANTARA FOTO/Dedhez Anggara

tirto.id - Kesultanan Cirebon adalah kerajaan bercorak Islam pertama di tanah Sunda atau Jawa Barat. Sejarah kerajaan yang wilayahnya pernah menjadi bagian dari Kerajaan Tarumanegara lalu Pajajaran ini didirikan pada abad ke-15 Masehi, tepatnya tahun 1430.

Awalnya, Cirebon merupakan daerah bernama Kebon Pesisir atau Tegal Alang-Alang. Kerajaan Cirebon dirintis oleh Raden Walangsungsang (Pangeran Cakrabuana), putra Raja Pajajaran dari Kerajaan Sunda Galuh, yakni Prabu Siliwangi dengan permaisurinya, Nyai Subang Larang.

Sulendraningrat dalam Sejarah Cirebon (1978) menyebutkan bahwa pernikahan Prabu Siliwangi dan Nyai Subang Larang yang beragama Islam melahirkan tiga orang anak, yaitu Raden Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana, Nyai Lara Santang, dan Raden Kian Santang atau Pangeran Sengara.

Sejarah Berdirinya Kerajaan Cirebon

Setelah beranjak dewasa, ketiga anak Prabu Siliwangi dari permaisuri Nyai Subang Larang dipersilakan meninggalkan Kerajaan Pajajaran yang menganut ajaran Sunda Wiwitan, Hindu, atau Buddha.

Putra sulung Prabu Siliwangi dari permaisuri, Raden Walangsungsang alias Pangeran Cakrabuana, kehilangan haknya untuk bertakhta di Pajaran karena memilih memeluk agama Islam seperti ibunya.

Raden Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana memilih untuk memperdalam agama Islam ke Tegal Alang-Alang atau Kebon Pesisir, lalu diikuti oleh adiknya, Lara Santang. Dalam perjalanan, Raden Walangsungsang menikah dengan Nyai Endang Geulis.

Sesampainya di Kebon Pesisir, mereka berguru kepada Syekh Nurul Jati. Di daerah pesisir utara Jawa inilah Raden Walangsungsang mendirikan pedukuhan sebagai cikal-bakal Kerajaan Cirebon.

Setelah mendirikan pedukuhan, Raden Walangsungsang dan Lara Santang menunaikan ibadah haji ke tanah suci Mekah. Di perjalanan, Lara Santang menikah dengan Syarif Abdillah bin Nurul Alim.

Dari pernikahan ini, Nyai Lara Santang melahirkan dua orang anak laki-laki bernama Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah.

Sepulang dari tanah suci, dikutip dari Susilaningrat dalam Dalem Agung Pakungwati Kraton Kasepuhan Cirebon (2013), Raden Walangsungsang kembali ke pedukuhan dan mendirikan pemerintahan yang kemudian dikenal dengan nama Kerajaan atau Kesultanan Cirebon pada 1430 Masehi.

Pendirian Kesultanan Cirebon tidak terlepas dari pengaruh Kesultanan Demak di Jawa Tengah yang merupakan kerajaan bercorak Islam pertama di Jawa sekaligus sebagai kerajaan yang memungkasi riwayat Kerajaan Majapahit.

Heru Erwantoro dalam "Sejarah Singkat Kerajaan Cirebon" yang termaktub di jurnal Patanjala (2012) menyebutkan Walangsungsang alias Cakrabuana wafat pada 1479. Tampuk kekuasaan kemudian dilanjutkan oleh Syarif Hidayatullah.

Seperti diketahui, Syarif Hidayatullah adalah keponakan Raden Walangsungsang atau putra pertama dari adiknya, Nyai Lara Santang. Syarif Hidayatullah pada akhirnya dikenal sebagai Sunan Gunung Jati (1479-1568).

Kejayaan Kesultanan Cirebon

Di bawah kepemimpinan Sunan Gunung Djati, Kesultanan Cirebon mencapai kemajuan pesat, baik di bidang agama, politik, maupun perdagangan.

Dalam bidang agama sangat jelas terlihat bahwa Islamisasi berjalan sangat masif. Dakwah agama Islam ke berbagai wilayah terus-menerus dilakukan.

Sedangkan di sektor politik, perluasan daerah menjadi salah satu fokus yang dijalankan. Bersama Demak, misalnya, Cirebon mampu merebut pelabuhan Sunda Kelapa pada 1527 untuk membendung pengaruh Portugis.

Selain itu, tulis Heru Erwantoro dalam "Sejarah Singkat Kerajaan Cirebon" di jurnal Patanjala (2012), Sunan Gunung Jati menerapkan sistem politik yang didasarkan atas asas desentralisasi yang berpola kerajaan pesisir.

Strategi politik desentralisasi itu dilakukan dengan menerapkan program pemerintahan yang bertumpu pada intensitas pengembangan dakwah Islam ke seluruh wilayah bawahannya di tanah Sunda.

Usaha ini didukung oleh perekonomian yang kuat dengan menitikberatkan pada perdagangan dengan berbagai bangsa seperti Campa, Malaka, India, Cina, hingga Arab.

Keruntuhan Kesultanan Cirebon

Sepeninggal Sunan Gunung Jati yang wafat pada 1568, Kesultanan Cirebon mulai diincar bangsa-bangsa asing, terutama Belanda alias VOC. Setelah terlibat polemik selama bertahun-tahun, akhirnya Cirebon menyerah.

Dikutip dari buku Sejarah Daerah Jawa Barat (1982) terbitan Tim Direktorat Jenderal Kebudayaan RI, pada 1681 ditandatangani perjanjian antara para pemegang otoritas Cirebon dengan Belanda.

Perjanjian tersebut membuat VOC berhak memonopoli perdagangan di wilayah Cirebon. Selain itu, wilayah Kesultanan Cirebon menjadi protektorat yang berada wilayah di bawah naungan Belanda.

Antara tahun 1906 hingga 1926, Belanda secara resmi menghapus kekuasaan pemerintahan Kesultanan Cirebon. Cirebon terbebas dari cengkeraman Belanda pada 1942 dan akhirnya menjadi bagian dari Republik Indonesia sejak 1945.

Baca juga artikel terkait KESULTANAN CIREBON atau tulisan lainnya dari Alhidayath Parinduri

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Alhidayath Parinduri
Penulis: Alhidayath Parinduri
Editor: Iswara N Raditya