Menuju konten utama

Sejarah Singkat Candi Kalasan di Yogyakarta yang Bercorak Buddha

Berikut ini sejarah singkat Candi Kalasan, bangunan suci bercorak Buddha yang dibangun pada masa pemerintahan Raja Panangkaran.

Sejarah Singkat Candi Kalasan di Yogyakarta yang Bercorak Buddha
Pekerja Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Yogyakarta membersihkan lumut pada batuan Candi Kalasan di Sleman, DI Yogyakarta, Kamis (23/3/2017). ANTARA FOTO/Hendra Nuridiyansyah.

tirto.id - Candi Kalasan merupakan situs bersejarah tinggalan Mataram Kuno. Letak Candi Kalasan berada di Dusun Kalibening, Desa Tirtomartani, Kecamatan Kalasan, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta.

Pada masa sekarang, bangunan Candi Kalasan berada di tengah-tengah permukiman warga. Meski demikian, sebagian besar fisik candi masih tetap terjaga.

Waktu pembangunan Candi Kalasan diperkirakan pada abad 8 M (sekitar tahun 778 M). Periode itu masuk dalam masa pemerintahan Rakai Panangkaran.

Bangunan utama Candi Kalasan tegak di atas alas serupa bujur sangkar berukuran 45 x 45 meter. Jika ditarik dari batas atap yang tersisa, tinggi candi sekitar 24 meter. Dari atas hingga dasar, ada 3 bagian bangunan terdiri atas kaki, tubuh, dan atap candi.

Di kompleks Candi Kalasan, ditemukan sekitar 52 Stupa. Sebagaimana dijelaskan dalam publikasi situs BPCB DIY, reruntuhan stupa-stupa kecil di sekeliling candi itu tidak bisa disusun lagi menjadi utuh karena banyak batu aslinya telah lenyap.

Puluhan stupa di Candi Kalasan diduga berfungsi untuk tempat penyimpanan abu jenazah pendeta Buddha pada masa Mataram Kuno. Di bawah maupun di antara stupa-stupa tersebut ditemukan 81 peti batu yang memuat periuk penyimpan abu, cermin kecil, dan beberapa potong logam.

Salah satu keistimewaan Candi Kalasan terlihat dari teknik pembuatannya. Arsitek candi ini sudah menggunakan semen kuno untuk menempelkan relief ke dinding.

Pemakaian semen kuno itu juga membuat lapisan lepa di dinding Candi Kalasan merekat kuat. Di kalangan arkeolog, semen ini disebut bajralepa/vajralepa yang berarti diamond cement. Ia sejenis plester semen kedap air yang mencegah pertumbuhan mikroorganisme sekaligus membikin candi bisa tampak kuning keemasan.

Sejarah Singkat Candi Kalasan Yogyakarta

Pembangunan Candi Kalasan berlangsung pada era Sri Maharaja Tejapurnama Panangkaran masih memimpin Kerajaan Mataram Kuno (Medang). Pendirian bangunan suci untuk memuja Dewi Tara itu dilakukan atas permohonan para pendeta Buddha.

Namun, informasi tersebut memunculkan pertanyaan. Panangkaran selama ini diyakini merupakan bagian dari Wangsa Sanjaya yang menganut agama Siwa. Lantas, kenapa ia mendirikan bangunan suci untuk pendeta Buddha?

Mengutip publikasi Perpusnas, Rakai Panangkaran merupakan raja kedua Kerajaan Mataram Kuno. Ia tercatat berkuasa selama tahun 746-784 M.

Panangkaran naik takhta dengan gelar Sri Maharaja Rakai Panangkaran Dyaḥ Pancapana. Ada juga sumber yang menyebut namanya, Rakai Panangkaran Dyah Śankhara Śri Sangramadhananjaya.

Informasi tentang latar belakang pendirian Candi Kalasan termuat dalam Prasasti Kalasan. Prasasti yang ditemukan tidak jauh dari Candi Kalasan itu berangka tahun 700 Saka (778 M), dan memuat tulisan dengan huruf pranagari berbahasa Sanskerta. Dari prasasti itu diketahui bahwa nama resmi untuk bangunan yang kini disebut Candi Kalasan adalah Tarabhavanam.

Sementara itu, identitas Tejapurnama Panangkaran terkuak dari Prasasti Mantyasih (907 M) yang dibuat pada masa Raja Dyah Balitung (899-910 M). Dari prasasti itu diketahui, Panangkaran ialah raja kedua Medang, setelah Raja Sanjaya (Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya).

Para peneliti Mataram Kuno memperkirakan Sanjaya berkuasa pada tahun 717-746 M, sementara Panangkaran menjadi raja selama 38 tahun setelahnya (746-784 M). Prasasti Mantyasih memuat keterangan jelas bahwa Panangkaran bagian dari Wangsa Sanjaya yang berkuasa di Medang.

Mengutip karya Hariani Santiko bertajuk "Dua Dinasti di Kerajaan Mataram Kuna: Tinjauan Prasasti Kalasan" dalam Jurnal Sejarah dan Budaya (Vol 7, 2013), sesuai dengan analisis Boechari terhadap Prasasti Śankhara, Panangkaran yang tak lain anak Sanjaya diperkirakan menanggalkan keyakinan agama Siwa. Panangkaran lantas menjadi pengikut Buddha, sehingga tidak mengherankan ia juga membangun Candi Kalasan untuk para pendeta agama tersebut.

Namun, menurut Hariani Santiko dalam ulasannya di atas, perkiraan tentang peralihan keyakinan Panangkaran patut diragukan. Salah satu alasannya adalah keterangan di Prasasti Kalasan yang menunjukkan alasan pendirian bangunan suci bernama Tarabhavanam.

Prasasti Kalasan menyebut nama 2 penguasa yang berkaitan dengan pendirian Candi Kalasan. Dua nama penguasa tersebut adalah Sri Maharaja Dyah Pancapana Panamkarana (Rakai Panangkaran) dan Raja Sailendravamsatilaka (penguasa dari Wangsa Syailendra).

Meski ada beda pendapat mengenai siapa bawahan dan atasan di antara keduanya, Hariani lebih meyakini Panangkaran berada di posisi yang lebih berkuasa. Sebab, Prasasti Kalasan menyebut ia bergelar Sri Maharaja, sementara yang satunya lagi hanya disebut Raja.

Maka, berdasarkan isi Prasasti Kalasan, Hariani menyimpulkan ide pendirian Candi Kalasan berawal dari Raja Sailendravamsatilaka. Penguasa Wangsa Syailendra itu mengutus sejumlah gurunya yang merupakan pendeta Buddha agar meminta izin kepada Panangkaran untuk merestui pembangunan Tarabhavanam (Candi Kalasan).

Lokasi bangunan suci ini berada di wilayah kerajaan Sailendravamsatilaka yang sedang bertumbuh. Ada kemungkinan, sebagai penguasa bawahan, Sailendravamsatilaka baru datang ke Medang atau belum lama mendirikan kerajaan.

Permohonan para guru Buddha tersebut lantas dikabulkan oleh Raja Panangkaran. Adapun tujuan pendiriannya, sesuai titah Panangkaran yang tertulis di Prasasti Kalasan adalah menghormati para guru (gurupūjārtham).

Penjelasan Hariani Santiko megerucut pada simpulan bahwa pendirian Candi Kalasan tidak terjadi karena Maharaja Panangkaran beragama Buddha. Bangunan itu memang berdiri berkat restu dari Panangkaran, tetapi atas permintaan para guru Wangsa Syailendra yang menjadi pengikut Buddha.

Pendapat tersebut diperkuat dengan kenyataan bahwa pada era Kerajaan Medang, para penguasa bawahan maupun rakyat tidak harus memilki agama yang sama dengan sang raja. Hal ini terbukti dari banyaknya sisa-sisa candi Siwa (Saiwa) di sekitar Candi Borobudur.

Baca juga artikel terkait EDUKASI DAN AGAMA atau tulisan lainnya dari Mohamad Ichsanudin Adnan

tirto.id - Pendidikan
Kontributor: Mohamad Ichsanudin Adnan
Penulis: Mohamad Ichsanudin Adnan
Editor: Addi M Idhom