Menuju konten utama
7 Desember 1941

Sejarah Serangan Jepang ke Pearl Harbor dan Lahirnya Kamikaze

Serangan Jepang ke Pearl Harbor bisa dianggap sebagai awal mula aksi kamikaze.

Sejarah Serangan Jepang ke Pearl Harbor dan Lahirnya Kamikaze
Ilustrasi pengeboman Pearl Harbor. tirto.id/Sabit

tirto.id - Pada 7 Desember 1941, tepat hari ini 77 tahun silam, angkatan laut Kekaisaran Jepang melancarkan serangan mendadak ke pangkalan militer Amerika Serikat di Pearl Harbor, Teritori Hawaii. Serangan ini adalah peristiwa kunci dalam sejarah Perang Dunia II.

Otoritas dan warga sipil AS sebenarnya telah menduga perang akan terjadi. Hubungan kedua negara sudah tegang sejak 1920-an. Jepang menjadi perhatian AS akibat ekspansi wilayah ke Cina daratan. AS, yang takut kepentingannya terganggu, menekan balik dengan menghentikan ekspor minyak serta memindahkan pangkalan militer udara dari San Diego ke Hawaii.

Jepang ketar-ketir karena pada awal 1940 punya rencana untuk melakukan aksi pencaplokan teritori ke Asia Tenggara, yang menjadi daerah kekuasaan Inggris, Belanda, dan AS. Untuk mencegah intervensi AS, mereka melakukan serangan lebih dulu, langsung ke jantung pertahanannya di tengah Samudra Pasifik.

Catatan Robin Higham dan Stephen J. Harris dalam Why Air Forces Fail: The Anatomy of Defeat (2006) menyebut serangan terjadi pada pukul 07.48 pagi waktu setempat. Enam kapal perang Jepang mengangkut 353 pesawat tempur jenis petarung maupun pembom dalam dua gelombang.

Total 188 pesawat tempur AS hancur. Delapan kapal perang AS juga rusak, empat lainnya tenggelam ke dasar laut. Pasukan Jepang juga menghancurkan tiga kapal penjelajah, tiga kapal penyerbu, satu kapal latihan pesawat tempur, dan satu kapal pembom. Kerugian yang dialami Jepang lebih ringan, yaitu 29 pesawat dan lima kapal selam kecil hancur atau hilang.

Dari segi korban jiwa, Jepang juga jauh lebih sedikit: 64 prajurit meninggal, sementara satu pelaut bernama Kazuo Sakamaki tertangkap. Di sisi seberang, AS kehilangan 2.403 prajurit, sementara 1.178 lainnya luka-luka.

Pelopor Kamikaze

Berbagai karya literatur telah mengulas peristiwa Pearl Harbor secara mendetail. Prahara ini juga menjadi peristiwa babon yang wajib dicantumkan di buku-buku sejarah. Namun ada satu kesalahpahaman yang menjangkiti sebagian orang hingga sekarang, yang meyakini bahwa pasukan kamikaze terlibat di dalam serangan tersebut.

Faktanya: pasukan berani mati Jepang baru aktif di ujung Perang Dunia II yang berjarak tiga tahun setelah penyerangan Pearl Harbor. Meski demikian ada satu fakta lain yang menarik: salah satu pilot pesawat tempur Jepang di peristiwa tersebut adalah pelopor kamikaze.

Namanya Letnan Fusata Iida. Peter C. Smith dalam Mitsubishi Zero: Japan's Legendary Fighter (2014) menulis Fusata ikut rombongan petarung udara di serangan gelombang kedua, yang mencapai Pulau Oahu, Hawaii, pada 75 menit setelah serangan pertama.

Fusata kala itu berusia 27. Ia memimpin delapan pesawat jenis A6Ms lain yang dibawa kapal perang Soryu. Mereka berhadapan dengan pesawat-pesawat jenis Curtiss P-40 Warhawk AS, yang baru sempat mengudara, dan segera dihabisi Fusata dan kawan-kawan.

Mereka kemudian mengalihkan perhatian ke pangkalan udara Kaneohe. Detail lain yang dicatat Craig Nelson dalam buku Pearl Harbor: From Infamy to Greatness (2016) menyebut Fusata menghujani Kaneohe dengan peluru.

Ada seorang prajurit AS yang melawan balik dengan bersenjatakan senapan otomatis Browning (Browning Automatic Riffle/BAR). Sang prajurit pontang-panting mencari BAR lain saat yang dipegangnya kehabisan peluru karena yakin mampu melumpuhkan target.

“Berikan aku BAR lain! Sumpah, aku tadi bisa mengenai Jepang keparat itu!” teriaknya kepada kawan satu pangkalan, sebagaimana ditulis Craig.

Dengan demikian peluru adalah satu-satunya tameng si prajurit AS. Kenekatannya berbuah kemarahan pilot Jepang lain, yang kemudian bersama-sama menarget si prajurit AS. Si prajurit tak menyerah. Upayanya berbuah hasil saat sejumlah peluru mengenai bagian paling sensitif dalam tubuh pesawat Fusata, yakni tangki bahan bakarnya.

Berdasarkan baunya, Fusata menyadari kondisi tersebut, dan tahu bahwa sebentar lagi ia akan jatuh. Selama berkarier di dunia militer, Fusata pernah mengajar di kelas pilot junior. Suatu saat ia berceramah tentang solusi paling efektif jika mengalami situasi hidup-mati seperti yang sedang ia alami.

“Apa yang kau lakukan jika suatu saat mesin pesawatmu mengalami masalah yang kritis?” tanya Fusata kepada para calon penerbang, sebagaimana dicatat Gordon W. Prange dan kawan-kawan dalam At Dawn We Slept: The Untold Story of Pearl Harbor (1991).

Tanpa jeda lama, minus jawaban dari peserta kuliah, Fusata langsung menjawab untuk dirinya sendiri. “Jika aku sendiri yang mengalaminya, aku akan terbang langsung menuju target, menjadikan pesawat sebagai bom untuk kehancuran musuh, daripada membuat pendaratan darurat.”

Dan itulah yang dilakukan Fusata, setelah memberikan kode tangan sekaligus salam perpisahan kepada rekan pilotnya, Iyoziu Fujita. "Ia menunjuk mulutnya, yang artinya bahan bakar, lalu menunjuk ke bawah sekalian melambai ‘selamat jalan’. Pesawatnya kemudian berputar dan terjun ke bawah."

Targetnya adalah pangkalan militer pangkalan udara Kaneohe. Meski agak melenceng, manuver terakhirnya itu menghasilkan kerugian yang cukup signifikan. Pangkalan udara Kaneohe adalah satu di antara objek-objek vital militer AS di Hawaii yang porak-poranda akibat serangan tak terduga Jepang.

Dampak dari penyerangan Pearl Harbor sesuai dengan prediksi orang-orang. Keesokan harinya, pada tanggal 8 Desember 1941, AS mendeklarasikan perang kepada Jepang.

Pada 11 Desember 1941 giliran Jerman dan Italia yang mendeklarasikan perang kepada AS, yang dijawab AS dengan deklarasi serupa. AS pun resmi memasuki Perang Dunia ke II, bahu-membahu bersama negara Sekutu lain, baik di palagan Pasifik maupun Eropa.

Efektif, tapi Tak Memenangkan Perang

Dua tahun berselang, Jepang terdesak sebab cadangan tentara menipis. Pemerintah mengatasinya dengan perekrutan kadet prajurit baru, yang tentu saja mengandung propaganda bernapaskan semangat nasionalisme fasis.

Retorika rezim rupanya mampu menarik minat para pemuda Jepang yang berbondong-bondong ke bangsal militer terdekat. Rata-rata usianya di bawah 25. Totalnya 15.149 orang, demikian catatan Yuki Tanaka dalam artikel bertajuk "Japan's Kamikaze Pilots and Contemporary Suicide Bombers: War and Terror" (2005).

Sayang, jumlah pasukan melimpah bukan solusi dari situasi tak menguntungkan yang sedang dialami Jepang. Ide liar pun muncul di kepala Wakil Laksamana Takijiro Onishi, yakni membentuk pasukan pilot berani mati bernama kamikaze.

Nama “kamikaze” merujuk pada angin yang menyelamatkan armada Jepang dari invasi pasukan Mongol pimpinan Kubilai Khan pada akhir dekade 1270-an. Angin “ilahiah” itu yang dipercaya mampu mengamankan bala pasukan Jepang, tak cuma sekali, tapi hingga dua kali.

Yuki mencatat testimoni dari beberapa pasukan kamikaze sebelum menjalankan misinya masing-masing. Muncul beragam jenis alasan mengapa mereka bersedia melakoni misi bunuh diri itu.

Infografik Mozaik Pearl Harbor Membara

Ada yang percaya kematian idealnya terjadi dalam usaha mempertahankan negara dan rakyat Jepang. Ada yang menilai mati untuk negara adalah wujud membahagiakan orang tua, terutama ibu. Ada yang karena bersolidaritas terhadap rekan pilot lain. Ada juga yang akibat takut dicap sebagai pengecut.

Meski dikritik banyak pihak di internal militer Jepang sendiri, kamikaze tetap dibentuk. Mengutip National Geographic, Komandan Skuadron Kamikaze Motoharu Okamura berkata, “saya benar-benar percaya bahwa satu-satunya cara ialah serangan dengan menabrakkan pesawat kita. Tak ada cara lain. Berikan saya 300 pesawat dan saya akan mengubah perang.”

Sekitar 2.550 penerbangan serangan bunuh diri oleh pasukan kamikaze dilakukan sepanjang akhir Oktober 1944 hingga pertengahan bulan Agustus 1945. Sebanyak 363 di antaranya menemui sasaran atau nyaris mengenai dan tetap menimbulkan kerusakan pada kapal yang diserang.

Pro-kontra mengenai efektivitas kamikaze jadi perdebatan hangat. Meski heroik dan menyeret banyak korban serta kerusakan besar, kamikaze ternyata tak mampu membalikkan situasi Jepang yang sedang terdesak. Kaisar Hirohito menyerah tanpa syarat ke Sekutu pada 15 Agustus 1945. PD II resmi berakhir.

Baca juga artikel terkait PERANG DUNIA II atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Politik
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Ivan Aulia Ahsan