Menuju konten utama

Sejarah Semaphore, Kode atau Sandi Semafor Pramuka dengan Bendera

Semafor Pramuka gunakan bendera saat kirim dan terima sandi atau kode. Awalnya, semafor justru pakai menara. Kok bisa? Temukan sejarah semaphore di sini.

Sejarah Semaphore, Kode atau Sandi Semafor Pramuka dengan Bendera
Anggota Pramuka memeriahkan acara "Peringatan Hari Pramuka ke-56 Tingkat Jabar" di jalan Asia Afrika Bandung, Jawa Barat, Sabtu (9/9). ANTARA FOTO/Agus Bebeng.

tirto.id - Sejarah semaphore yang kini biasa digunakan dalam semafor Pramuka awalnya memakai menara, bukan bendera. Mengapa bisa begitu?

Semaphore (bahasa Inggris) atau semafor adalah salah satu cara mengirim dan menerima kode atau sandi dengan menggunakan alat sederhana maupun tangan kosong.

Sejarah Semaphore

Dikutip dari arsip Canadian War Museum, teknik semafor tercipta di Perancis oleh Claude Chappe pada 1790 bersama saudara laki-lakinya yang bernama Abraham. Saat itu bertepatan dengan Revolusi Perancis. Chappe bersaudara mencari cara bagaimana menyampaikan pesan rahasia.

Chappe bersaudara memanfaatkan serangkaian menara sebagai media untuk menyampaikan pesan. Di masing-masing menara itu dipasang semacam lengan dari kayu dan ditempatkan satu orang sebagai operator.

Dengan teknik tertentu, pesan diterjemahkan dalam gerakan lengan di menara itu lalu ditangkap oleh penerima di menara lain yang melihat dengan teleskop, kemudian dilanjutkan ke menara yang lain. Begitu seterusnya hingga pesan sampai ke penerima terakhir.

Teknik awal semafor oleh Chappe bersaudara ini merupakan sistem telekomunikasi praktis pertama yang digunakan hingga pertengahan abad ke-19 sebelum digantikan oleh telegraf.

Dalam perkembangannya, peralatan untuk membaca kode semafor bisa menggunakan alat apa saja, bahkan dengan tangan kosong.

Perkembangan Semafor

Dilansir Arts Online, semafor pesan pertama dilakukan pada 2 Maret 1791 dan disampaikan dari jarak 10 mil dalam bahasa Perancis yang berbunyi: “si vous reussissez, vous serez bientot couvert de glorie”, artinya: “jika kamu berhasil, kamu akan segera dilimpahi kemuliaan”.

Pada 1850, Perancis memiliki 556 jaringan semafor yang membentang dengan total jarak 4.800 kilometer. Keberadaan stasiun semafor membuat pesan dapat dikirim dari Paris menuju ke Lille yang berjarak lebih dari 2.000 kilometer dan tersampaikan hanya dalam waktu 2 menit.

Semafor turut memperlancar komunikasi, termasuk untuk keperluan militer di Perancis era Napoleon Bonaparte pada awal abad ke-19, demikian sebut Centre for Innovation in Mathematics Teaching. Sejak itu, semafor semakin populer dan diadopsi oleh negara-negara Eropa lainnya.

Selanjutnya, semafor tidak lagi menggunakan menara dan mulai memakai barang-barang yang lebih ringkas, termasuk bendera. Pemakaian bendera untuk praktek semafor digunakan besar-besaran pada Perang Dunia I yang dimulai tahun 1914.

Meskipun kala itu telepon dan radio sudah dikenal, tetapi penggunaan semafor dinilai lebih aman sebagai alat komunikasi dalam situasi perang. Telepon atau radio bisa saja disadap oleh musuh, namun semafor tidak.

Alasan itulah yang membuat semafor terus digunakan oleh angkatan laut dalam keadaan terdesak atau untuk komunikasi jarak dekat, bahkan hingga sekarang.

Semafor Pramuka

Semafor Pramuka biasa dilakukan dengan memakai bendera. Cara menerapkannya pun juga sangat sederhana.

Caranya, penyampai pesan atau signaler memegang satu bendera semafor di kedua tangan. Lalu, mengulurkan masing-masing lengannya dalam posisi dan sudut tertentu sesuai dengan formasi huruf atau angka yang sudah ditentukan sebelumnya.

Bendera semafor juga bisa digunakan sebagai penanda sinyal yang dipasang di rel kereta api. Semafor diperagakan oleh sebuah tiang dengan lengan yang bisa memutar dan akan menunjukkan sinyal kepada masinis.

Sinyal semafor untuk kereta api ini kemudian dipatenkan hingga saat ini telah menjadi sinyal mekanis yang paling sering digunakan di berbagai negara.

Infografik SC Sejarah Pramuka

Infografik SC Sejarah Pramuka. tirto.id/Mojo

Kode atau Sandi Pramuka Selain Semaphore

Sandi Morse dalam gerakan Kepanduan atau Pramuka dipelajari sebagai salah satu bentuk keterampilan.

Kode tersebut disampaikan dengan menggunakan senter atau peluit. Peluit ditiup dengan durasi pendek untuk mewakili titik dan durasi panjang untuk mewakili garis.

Hermiaty Honggo dalam risetnya bertajuk “Rancangan Perangkat Lunak Pengkodean Sandi Morse dengan Metode BST” memaparkan, untuk menghafalkan kode ini digunakan metode dengan mengelompokkan huruf-huruf berdasarkan wakil dalam Sandi Morse-nya.

Kode yang paling terkenal dalam Sandi Morse adalah SOS, digunakan untuk memanggil bantuan, biasanya oleh pelaut di kapal yang sedang berlayar di laut lepas, jika berada dalam situasi berbahaya dan darurat.

Seorang anggota Pramuka yang memiliki kemampuan menerima dan mengirimkan Sandi Morse dengan baik berpeluang menerima penghargaan berupa Tanda Kecakapan Khusus.

Sandi Morse sendiri ditemukan oleh Samuel Morse, atau bernama lengkap Samuel Finley Breese Morse, pada 1838. Sandi Morse bisa disebut sebagai alfabet khusus dalam pesan di telegraf.

Sejarah Sandi Morse menjadi bagian dari histori Kepanduan atau Scout Movement di seluruh dunia, termasuk gerakan Pramuka di Indonesia. Sandi Morse ditemukan oleh Samuel Morse, atau bernama lengkap Samuel Finley Breese Morse.

Kode dalam Sandi Morse sudah perkenalkan sejak abad ke-19 Masehi. Samuel Morse menemukan Sandi Morse pada tahun 1838. Sebuah alfabet khusus untuk digunakan sebagai pengirim pesan di telegraf.

Samuel Morse lahir di Charlestown, Massachusetts, Amerika Serikat, tanggal 27 April 1791. Selain sebagai ilmuwan atau penemu, Samuel juga dikenal sebagai pelukis yang cukup terkenal kala itu.

Dikutip dari Observer, Sandi Morse dalam prosesnya telah berubah dari keterampilan atau pekerjaan menjadi kegemaran yang menyenangkan. Radio yang menerapkan Sandi Morse juga telah berkembang untuk memasukkan komunikasi suara, komunikasi data, bahkan untuk siaran.

Baca juga artikel terkait SEJARAH PRAMUKA atau tulisan lainnya dari Rachma Dania

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Rachma Dania
Penulis: Rachma Dania
Editor: Iswara N Raditya
Penyelaras: Ibnu Azis & Yulaika Ramadhani