Menuju konten utama

Sejarah Sawah di Zaman Kolonial

Sulit memastikan kapan permulaan sawah hadir di Nusantara.

Sejarah Sawah di Zaman Kolonial
Sawah di Jawa Timur; 1925. FOTO/Wikicommon

tirto.id - Di Nusantara, sawah mula-mula hadir di Jawa lalu menyebar ke pelbagai wilayah lain. Waktu permulaannya sulit dipastikan. Menurut Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya 3: Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris (2018), ada tiga hal yang menyebabkan hal tersebut. Pertama, karena kekurangan monografi lokal. Kedua, ketidaksinambungan sumber-sumber. Dan ketiga, saat dokumen tentang masalah ini telah berlimpah, historiografi agraris Jawa belum ada yang dapat diterima secara pasti.

Beberapa epigrafi muncul dari abad ke-5 sampai abad ke-15 yang mencakup politik agraris para penguasa dan pembesar beserta masalahnya yang terdapat pada tingkat desa.

“Dari abad ke-16 sampai abad ke-18 kita dapat mengikuti dengan cukup baik perkembangan politik, diselingi serentetan perang dalam negeri, akan tetapi kita hanya dapat menduga-duga evolusi perdesaan, padahal ini sangat penting. Keadaan itu baru berubah pada awal abad ke-19, yaitu ketika minat orang Eropa untuk langsung mengeksploitasi negeri itu semakin besar,” imbuhnya.

Lebih lanjut Lombard menulis, meski informasi mengenai politik agraris raja-raja Mataram yang mulai berdiri pada abad ke-16 kurang meyakinkan, tapi sejumlah data menunjukkan bahwa bidang agraris mendapat perhatian yang luas.

Pegawai pemerintah Hindia Belanda yang diutus oleh Gubernur Jenderal Rijcklof van Goens (1678-1681) melaporkan perjalanannya dari Semarang ke Mataram. Ia menyebutkan betapa luasnya daerah persawahan sepanjang perjalanan yang ia lintasi, apalagi sesudah pintu Gerbang Selimbi (atau Slembi yang dekat Gunung Merbabu) yang merupakan pintu masuk ke Mataram.

“Alam garapan manusia itu luar biasa indahnya. Selimbi seakan-akan merupakan gapura ke surga di bumi. Air terdapat di mana-mana dan dipergunakan secara cerdik dan menguntungkan. Orang Jawa telah berhasil membuat saluran air dari batu untuk mengairi pancuran-pancuran untuk permandian,” ungkap utusan Rijcklof van Goens seperti dikutip Lombard.

Hal lain yang menunjukkan kemajuan pertanian di Jawa, imbuh Lombard, adalah semakin berkurangnya kawasan hutan yang semula digunakan raja-raja Mataram untuk berburu.

Keberlimpahan sumber daya alam, termasuk lahan garapan pertanian, saat itu ternyata kurang dibarengi oleh sumber daya manusia. Para penggarap lahan cukup terbatas. Kondisi ini dalam catatan Lombard telah terjadi sangat lama di perdesaan di Jawa. Oleh karena itu kemudian muncul simbol-simbol tentang kesuburan, baik dalam hasil pertanian maupun kesuburan manusia agar diberikan keturunan yang banyak.

“Ketakutan akan kekurangan anak sesungguhnya merupakan ciri arkais perdesaan Jawa yang berlangsung sangat lama, yang diwarisi dari suatu masa lampau yang sangat jauh, ketika kekayaan sejati bukanlah tanah atau uang melainkan tenaga kerja,” tulisnya.

Kondisi pertanian ini mengalami titik balik saat Belanda memberlakukan tanam paksa, baik Preangerstelsel maupun Cultuurstelsel, yang dimulai pada 1720 sampai 1870 saat diberlakukannya Undang-undang Agraria yang memperbolehkan pihak swasta menggarap lahan milik pemerintah Hindia Belanda.

Sumber daya manusia tersedot ke dalam tanam paksa, begitu pula lahan yang banyak beralih fungsi ditanami pepohonan yang masuk ke dalam kategori tanam paksa. Waktu petani tersita untuk memenuhi tanam paksa, dan tanaman pangan mulai terabaikan.

Eksploitasi lahan secara terus-menerus itu membuat tanah kehilangan kesuburannya. Jan Breman dalam Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa: Sistem Priangan dari Tanam Paksa di Jawa 1720-1870 (2014) mencatat, banyak penduduk yang melaporkan situasi tersebut.

“Di dekat tempat tinggal [penduduk] sudah tidak ada lagi tanah yang dapat digunakan untuk memperluas tanaman wajib itu, atau menyebutkan bahwa tanah-tanah itu telah kehilangan kesuburannya karena penggarapan yang terus-menerus,” tulisnya.

Ketika tanam paksa usai dan modal swasta masuk, giliran para juragan perkebunan asal Eropa yang mempengaruhi pola pertanian. Ekspansi lahan perkebunan selain menyedot tenaga kerja yang menjadi kuli-kuli kontrak, juga kerap menimbulkan konflik dengan para petani karena berebut lahan.

Manabu Tanaka dan Hiroyoshi Kano dalam Di Bawah Asap Pabrik Gula: Masyarakat Desa di Pesisir Jawa Sepanjang Abad ke-20 (1996) memberikan contoh konflik ini di daerah Comal, Jawa Tengah. Menurut mereka, perkembangan industri gula sangat berpengaruh terhadap produksi tanaman pangan dan kehidupan petani di daerah tersebut.

“Perluasan tanaman tebu menyebabkan terjadinya persaingan penggunaan lahan untuk produksi padi yang menimbulkan pelbagai konflik sosial antara pabrik gula dan petani setempat,” tulisnya.

Tekanan-tekanan orang Eropa, baik lewat tanam paksa maupun liberalisasi penggarapan lahan, membuat petani di Jawa, seperti ditulis Clifford Geertz dalam Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia (1983), semakin terjepit. Mereka mencoba bertahan dengan apa yang ia sebut sebagai “membagi kemiskinan”.

Involusi pertanian akibat tekanan-tekanan tersebut, imbuhnya, menimbulkan satu sistem budaya Jawa yang komunal dan egaliter. Menurutnya, dalam kondisi seperti itu hampir sulit seseorang untuk menjadi patron yang mutlak.

“Selama satu abad penjajahan dan pertumbuhan penduduk yang pesat masyarakat Jawa tidak terpecah, sebagaimana yang terjadi pada begitu banyak bangsa yang ‘terbelakang’ menjadi sekelompok tuan tanah besar dan sekelompok penggarap yang tertindas. Sebaliknya masyarakat ini mempertahankan homogenitas sosial ekonomi yang secara komparatif cukup tinggi dengan cara membagi kue ekonomi menjadi bagian yang semakin banyak dan semakin lama semakin kecil,” terangnya.

Pendapatnya ini menimbulkan sejumlah perdebatan di kalangan sejarawan. Persoalan ketiadaan patron mutlak sebagai gambaran tidak adanya perbedaan kelas yang tajam seperti yang dikemukakan Geertz, banyak dibantah. Sebagian pengkritik mengungkapkan, pola kehidupan pertanian tetap menghasilkan kelas petani komersil. Tak ada yang namanya “membagi kemiskinan”, sebab mayoritas lahan digarap oleh para buruh tani bukan oleh keluarga petani sendiri.

Salah satu kelompok elite di perdesaan menurut Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya 3: Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris (2018) adalah golongan sikep.

“Golongan itu tidak diketahui asalnya, yang jelas adalah bahwa pada akhir abad ke-18 mereka merupakan orang-orang terkemuka di desa-desa. Tidak diketahui apakah mereka keturunan langsung para rama yang disebut di prasasti kuno, tetapi mereka sering mengaku sebagai pewaris dari pendiri desa (cikal bakal),” tulisnya.

Infografik Presiden Pergi Ke sawah

Infografik Presiden Pergi Ke sawah

Lombard menambahkan, pada mulanya para sikep merangkap sebagai petugas pajak atas nama raja atau pangeran. Mereka mendapat kesempatan untuk mengeruk keuntungan tambahan berhak mengambil seperlima dari jumlah seluruhnya. Kekuasaan dan pengaruhnya membuat mereka kerap dipilih sebagai lurah atau kepala desa.

Setelah para petani mendapat tekanan eksploitasi lahan dan tenaga oleh penjajah, golongan pelanjut para sikep muncul kembali. Ciri utama mereka, terang Lombard, adalah mengontrol tanah komunal (tanah bengkok) sebagai imbalan atas tanggung jawab sosial, memiliki tanah lain dengan hak pribadi, menguasai sumber tenaga kerja murah yang dipekerjakan sebagai petani penggarap dan buruh tani, serta mengontrol sumber modal.

Saat para petani melakukan aksi-aksi sepihak sebelum peristiwa G30S meletus, golongan elite ini terancam. Mereka sigap mengubah status tanah miliknya menjadi tanah wakaf.

“Sebuah penelitian mengenai tanah wakaf di Jawa Timur telah menunjukkan bahwa jumlahnya meningkat drastis selama beberapa bulan krisis itu. Pemilik tanah lebih suka menyerahkan hak atas sawah-sawahnya kepada pesantren sebagai wakaf daripada membiarkan buruh taninya membagi-baginya. Pesantren Gontor yang ‘modern’ yang terdapat di sebelah selatan Ponorogo itu telah menerima ratusan hektar,” tulisnya.

Krisis cepat berlalu. Militer menuai kemenangan, dan Orde Baru pun lahir. Namun, guncangan terhadap masyarakat desa tradisional yang agraris belum berhenti. Kemajuan zaman mendorong lahirnya pelbagai teknologi dalam mendukung produksi pangan.

Teknik panen yang semula menggunakan ani-ani yang hanya memungkinkan pemotongan jumlah tangkai yang terbatas, sehingga membutuhkan tenaga kerja massal, diganti oleh alat-alat lain yang lebih mangkus dan sangkil. Akibatnya, terjadi pengurangan sumber daya manusia, dan warga miskin yang tak punya tanah sedikitpun tak lagi kebagian hasil panen dari kerjanya sebagai buruh.

“Sistem tebasan [dalam panen padi], yang sekarang menyebar ke seluruh Jawa, merupakan ancaman yang paling besar terhadap kohesi sosial masyarakat perdesaan,” pungkas Lombard.

Baca juga artikel terkait SAWAH atau tulisan lainnya dari Irfan Teguh

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Irfan Teguh
Editor: Nuran Wibisono