Menuju konten utama
12 Juli 1976

Sejarah Satelit Palapa: "Mainan" Soeharto & Kebanggaan Orde Baru

Satelit Palapa adalah satelit pertama milik Indonesia dan jadi kebanggaan di Orde Baru.

Ilustrasi Satelit Palapa. tirto.id/Nauval

tirto.id - Sejatinya Walter Peterson adalah seorang petualang. Dia seperti Don Juan yang selalu ditemani perempuan cantik di mana pun dia berada. Termasuk di Jakarta dan Bandung. Keahliannya sebagai insinyur penggarap satelit ruang angkasa ikut membawanya ke Indonesia. Pemuda Jerman yang lama mukim di Amerika itu, seperti diceritakan Klaus G. Johannsen dalam Jalan Ke Bogor; Palapa dan Wanita Papua (2004), adalah salah satu dari tim ekspatriat yang membangun satelit kebanggaan Indonesia bernama Palapa.

“Peluncuran satelit dari Satelit Palapa merupakan suatu peristiwa nasional yang mempunyai arti besar bagi Indonesia. Pejabat tertinggi pemerintahan terlibat dalam proyek yang mempertaruhkan gengsi nasional,” tulis Klaus G. Johannsen dalam Jalan Ke Bogor; Palapa dan Wanita Papua (2004: 161).

Satelit Palapa punya arti penting bagi Indonesia. Ini adalah satelit pertama milik Indonesia dan tentu saja jadi kebanggaan bagi Orde Baru. Mengapa satelit ini bernama Palapa? Tentu saja ini sangat menarik untuk dikaitkan dengan sumpah yang pernah diucapkan Gajah Mada.

“Saya ingat pada sejarah Mahapatih Gajah Mada dulu yang telah bersumpah, tidak akan makan buah Palapa sebelum persatuan dan kesatuan kerajaan Majapahit menjadi kenyataan,” aku Soeharto dalam autobiografinya, Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya (1989: 323).

Di masa Orde Baru yang disebut sebagai era pembangunan nasional, Satelit Palapa sangat penting kehadirannya. Satelit domestik itu bisa meringkas jarak komunikasi antar tempat di Indonesia yang amat luas wilayahnya. Penamaan satelit sebagai Palapa sendiri baru dilakukan pada 16 Agustus 1976. Jauh sebelum itu, pemerintah sudah merancang soal satelit ini.

Sejak 1969, pemerintah Indonesia sudah meresmikan Stasiun Bumi di Jatiluhur melalui tangan Presiden Soeharto. Menurut Bondan Winarno dalam biografi JB Sumarlin: Cabe Rawit Yang Lahir Di Sawah (2012: 180-181), stasiun satelit itu terkait dengan Indosat, sebuah perusahaan yang didirikan pada 1969 oleh American Cable Radio Corporation (ACR), anak dari International Telephone Telegraph Corporation (ITT). Setelah era penanaman modal asing, ITT tertarik dengan Indonesia. Indosat yang lahir di masa terbukanya Indonesia bagi modal asing merupakan singkatan dari Indonesia Satelite.

“Indosat menjadi service provider satu-satunya bagi Perumtel (kemudian menjadi PT Telkom) dalam penyediaan jasa sambungan telepon internasional. Media yang digunakan adalah satelit komunikasi Intelsat,” tulis Bondan Winarno.

Intelsat merupakan singkatan dari International Telecommunications Satellite, sebuah perusahaan layanan satelit yang yang berdiri sejak 1964 dan terdiri dari Amerika Serikat, Australia, Kanada, Jepang, dan kini beranggotakan 149 negara. Indonesia masuk dalam konsorsium itu sejak 1967.

Pada 1970-an Perumtel dipimpin Dirut Willy Moenandir. Sementara itu Direktur Jenderal Pos Telekomunikasi (Dirjen Postel) dipegang Mayor Jenderal Soehardjono. Menurut Arnold Djiwatampu, dalam Strategi Perjuangan Telekomunikasi (2015: 17), Soehardjono, yang mantan Asisten Komunikasi dan Elektronika Departemen Pertahanan Keamanan itu, mengisi jabatan tersebut sejak 1966. Dua orang inilah yang terkait dengan konsep, yang belakangan jadi proyek penting Indonesia, Sistem Komunikasi Satelit Domestik (SKSD).

Akhirnya, seperti ditulis dalam buku Mengenang Sewindu SKSD Palapa (1984: 20), Indonesia pun bekerja sama dengan Hughes Aircraft Company dari AS. Kontrak diteken pada 5 Juli 1974.

Pada Agustus 1974 Soehardjono pun menjelaskan Proyek SKSD kepada para menteri terkait, yakni Menteri Riset dan Teknologi Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo, Menteri Penertiban Aparatur Negara/Wakil Ketua Badan Perancang Pembangunan Nasional Dr. J.B. Soemarlin, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Syarif Thayeb, dan Menteri Penerangan Mashuri. Pemerintah akhirnya mendukung proyek satelit itu.

Infografik Mozaik Satelit Palapa

Infografik Mozaik Satelit Palapa. tirto.id/Nauval

Satelit itu diluncurkan di Cape Canaveral, Florida, Amerika Serikat pada Kamis sore 8 Juli 1976 jam 19.30 waktu setempat. Sudah tentu ada pejabat Indonesia yang hadir di sana. Satelit yang diangkut di roket pendukung Thor Delta itu kemudian mengorbit di atas Samudera Hindia. Gengsi Indonesia di mata negara-negara Asia dan Pasifik tentu naik berkat Satelit Palapa.

Di era 1970-an, tak semua negara punya satelit. Indonesia tentu boleh mendongakkan dagu soal ini. Menurut catatan Ishadi Sutopo dan Sumarsono Soemardjo dalam Dunia Penyiaran: Prospek dan Tantangannya (1999: 8), "Indonesia merupakan negara ketiga di dunia setelah Kanada dan AS yang membangun sistem komunikasi satelit domestik.”

Seperti dicatat dalam buku Jejak Langkah Pak Harto 27 Maret 1973-23 Maret 1978 (2003: 376), pada 12 Juli 1976, tepat hari ini 44 tahun lalu, Presiden Soeharto meninjau stasiun bumi di Cibinong yang dijadikan pusat pengendali Palapa. Soeharto ditemani Menteri Lingkungan Hidup Emil Salim, Direktur Jenderal Pos Telekomunikasi Soehardjono, dan Kepala G-1 Hankam Mayor Jenderal Benny Moerdani. Pada tanggal itulah Indonesia mulai mengontrol penuh satelit miliknya.

Bagi Presiden Soeharto, peluncuran satelit Palapa itu dianggap penting di era pembangunan nasional yang dia gerakkan. Seperti ditulis Abdul Gafur dalam buku Pak Harto: Pandangan dan Harapan (hlm. 293), “karena pembangunan berhasil kita mampu membeli satelit dan roket (untuk generasi pertama, sedangkan generasi kedua dengan pesawat ulang-alik) yang melontarkannya ke angkasa.”

Semula satelit Palapa dikelola oleh Perumtel—yang kini jadi Telkom. Belakangan, berdiri pula PT Satelit Palapa Indonesia (Satelindo) yang ikut mengelola satelit Palapa. Satelit Palapa pertama adalah A1, yang diluncurkan pada 1978, pensiun pada 1983. Selain A1, ada juga A2 yang diluncurkan pada 1977 dan pensiun pada 1988. Hingga kini Satelit Palapa berkali-kali ganti. Selain Telkom dan Satelindo, belakangan Indosat juga ikut mengelola satelit.

Pemerintah Indonesia, seperti dicatat Bondan Winarno (2012: 181), pada 1976 juga membangun proyek kabel bawah laut antara Medan dengan Penang. Indosat yang untung besar sebagai provider Perumtel, akhirnya diajak ikut serta. Tapi rupanya Indosat ogah. Presiden Soeharto kecewa dengan Indosat. Sempat muncul isu Indosat akan dinasionalisasikan. Tapi era 1980-an, waktu oil boom yang bikin Indonesia kaya berkat minyak, Indosat pun diakuisisi. Seorang Toraja bernama Jonathan Parapak kemudian ditugasi memimpin Indosat.

Satelit Palapa nyatanya memang berfungsi seperti yang diharapkan. Lewat Satelit Palapa pula Televisi Republik Indonesia (TVRI) bisa mengudara dan menyapa rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Bahkan tak hanya TVRI, satelit Palapa juga berperan pada lahirnya tiga televisi swasta pertama di Indonesia.

“Berbasis di Jakarta, Bandung dan Surabaya, ketiga saluran televisi sekarang berskala nasional berkat menggunakan satelit Palapa,” tulis David T Hill dalam Pers di Masa Orde Baru (2011: 119).

Selain oleh seluruh rakyat Indonesia, Satelit Palapa juga dinikmati anak Soeharto. Tentu saja karena di antara stasiun televisi swasta yang ada, anak-anak Soeharto punya saham. Bambang Trihatmodjo di Rajawali Citra Televisi (RCTI) dan Siti Hardiyanti di Televisi Pendidikan Indonesia (TPI). Ternyata tak hanya anak, adik tiri pun juga. Sudwikatmono juga terkait dengan Surya Citra Televisi (SCTV).

==========

Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 5 Agustus 2018 dengan judul "Satelit Palapa dan Kebanggaan Orde Baru". Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.

Baca juga artikel terkait SATELIT PALAPA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Nuran Wibisono & Ivan Aulia Ahsan
-->