Menuju konten utama
Sejarah Indonesia

Sejarah Runtuhnya Kesultanan Mataram Islam & Daftar Raja-raja

Sejarah keruntuhan Kesultanan Mataram Islam mulai terjadi pada masa pemerintahan Amangkurat I.

Sejarah Runtuhnya Kesultanan Mataram Islam & Daftar Raja-raja
Masjid Agung Kotagede di Yogyakarta, Peninggalan Sejarah Kesultanan Mataram Islam. wikimedia commons/free share

tirto.id - Kesultanan Mataram Islam merupakan kerajaan yang berpusat di Yogyakarta. Didirikan tahun 1584 Masehi oleh Panembahan Senapati yang menjadi raja pertama, sejarah keruntuhan Kesultanan Mataram Islam mulai terjadi pada masa pemerintahan Amangkurat I (1646-1677).

Soekmono dalam Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3 (1981) menjelaskan, Panembahan Senapati (1590-1595) memimpin Kesultanan Mataram Islam dan menguasai beberapa wilayah di Jawa, yakni Yogyakarta, Jawa Tengah, termasuk daerah sepanjang Bengawan Solo hingga Jawa Timur, dan sebagian Jawa Barat.

Tahun 1601, Panembahan Senapati wafat dan digantikan anaknya yang bernama Raden Mas Jolang bergelar Prabu Hanyakrawati (1601-1613). Penguas selanjutnya adalah Raden Mas Wuryah atau Adipati Martapura, namun hanya menjabat satu hari pada 1613.

Pengganti Adipati Martapura adalah Raden Mas Jatmika atau Sultan Agung (1613-1645). Di masa inilah Kesultanan Mataram Islam mencapai puncak kejayaannya, sekaligus mulai menuai keruntuhan.

Sultan Agung bertakhta Kesultanan Mataram Islam hingga wafatnya pada 1645. Ia amat menentang Belanda atau VOC dan dua kali menyerang Batavia pada 1628 dan 1629 meskipun belum sepenuhnya berhasil.

Gejolak di Era Amangkurat I

Sejak 1646, Raden Mas Sayidin menggantikan posisi ayahnya, Sultan Agung, yang wafat tahun 1646. Raden Mas Sayidin dinobatkan sebagai Sultan Mataram Islam ke-5 dengan gelar Susuhunan Amangkurat I.

Berbeda dengan Sultan Agung yang gigih melawan Belanda, Amangkurat I justru bersikap lebih lunak terhadap kaum penjajah. Tahun 1646, misalnya, Amangkurat I menjalin perjanjian dengan VOC.

Isi perjanjian tersebut antara lain pihak VOC diizinkan membuka pos-pos dagang di wilayah Mataram, sedangkan pihak Mataram diperbolehkan berdagang ke pulau-pulau lain yang dikuasai VOC.

Dalam Mengenal Budaya Nasional: Trah Raja-raja Mataram di Tanah Jawa (2017), Joko Darmawan menerangkan, cara memerintah Amangkurat I tidak disetujui oleh beberapa kalangan, termasuk adiknya yang bernama Raden Mas Alit.

Raden Mas Alit, adik Amangkurat I, tidak setuju dengan caranya memerintah dan meluncurkan aksi perlawanan. Tahun 1647, ibu kota Kesultanan Mataram Islam dipindahkan dari Kotagede ke Plered, masih termasuk wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sekarang.

Pemberontakan Raden Mas Alit berpuncak pada 1678 yang berakhir dengan tewasnya adik Amangkurat I itu dan menelan ribuan korban jiwa.

Trunojoyo Mengancam Takhta Mataram

Berikutnya, giliran salah satu anak Amangkurat I, Raden Mas Rahmat atau Pangeran Adipati Anom, yang bergolak.

Adipati Anom sejatinya berstatus sebagai putra mahkota, namun ada kabar yang menyebutkan bahwa gelar tersebut akan dialihkan kepada anak Amangkurat I lainnya yakni Pangeran Singasari.

Pangeran Adipati Anom pun merencanakan pemberontakan terhadap takhta ayahnya. Ia kemudian mengajak Trunojoyo, putra penguasa Madura, untuk melaksanakan misi tersebut pada 1670.

Mien A. Rifai dalam Manusia Madura (2007), menjelaskan, Trunojoyo menyanggupi karena ia ingin Madura merdeka dari penguasaan Kesultanan Mataram Islam di bawah kepemimpinan Amangkurat I.

Pada 1674, Trunojoyo mendeklarasikan kemerdekaan Madura. Ia menjadi raja di Madura bahkan berniat mengambil-alih kekuasaan Mataram.

Pasukan Trunojoyo mendapat bantuan dari orang-orang Bugis/Makassar yang lari ke Jawa setelah Perjanjian Bungaya yang melemahkan Kesultanan Gowa era Sultan Hasanuddin.

Buku Catatan Masa Lalu Banten (1999) karya Halwany Michrob dan Mudjahid Chudari menjelaskan, Kesultanan Banten juga ikut mendukung Trunojoyo.

Dalam Sejarah Peradaban Islam di Indonesia (2006), Mundzirin Yusuf menambahkan, Panembahan Giri dari Surabaya ikut memberi dukungan karena peristiwa pembantaian ulama dilakukan Amangkurat I pada 1649.

Runtuhnya Kesultanan Mataram Islam

Pasukan Trunojoyo menjelma menjadi kekuatan besar yang menakutkan. Satu demi satu, wilayah-wilayah Mataram ditundukkan, termasuk Surabaya, Tuban, Lasem, Rembang, Demak, Semarang, Pekalongan, Tegal, hingga Cirebon. Puncaknya, Trunojoyo pun bersiap menyerang pusat kekuasaan Mataram di Yogyakarta.

Situasi ini justru membuat Pangeran Adipati Anom cemas karena khawatir ambisi Trunojoyo tidak bisa dibendung. Maka, pada Oktober 1676, Pangeran Adipati Anom berbalik mendukung ayahnya, Amangkurat I.

Trunojoyo terlalu kuat. Amangkurat I melarikan diri ketika Trunojoyo menyerang Plered. Dalam Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta (1997), Sutrisno Kutoyo mengungkapkan, dalam pelarian, Amangkurat I sakit dan meninggal dunia di sekitar Tegal, Jawa Tengah.

Tahun 1677, Trunojoyo menguasai pusat pemerintahan Mataram, bahkan menikahi salah satu putri Amangkurat I yang saat itu ditawan.

Pangeran Adipati Anom terpaksa menjalin kerja sama dengan VOC untuk menumpas Trunojoyo sekaligus merebut kembali takhta Mataram Islam. Kompeni bersedia membantu tapi dengan syarat.

Berkat bantuan VOC, Trunojoyo berhasil dilumpuhkan pada 1679. Penguasa Madura itu lalu dijatuhi hukuman mati.

Sesuai kesepakatan, takhta Kesultanan Mataram Islam diberikan kepada Pangeran Adipati Anom dengan gelar Susuhan Amangkurat II, namun VOC menjadi lebih leluasa mencampuri urusan internal kerajaan.

Amangkurat II tidak melanjutkan Kesultanan Mataram Islam. Ia mendirikan kerajaan baru bernama Kasunanan Kartasura dengan pusatnya di dekat Solo, Jawa Tengah, pada 1680.

Daftar Raja Mataram Islam

  1. Danang Sutawijaya atau Panembahan Senapati (1587-1601)
  2. Raden Mas Jolang atau Prabu Hanyakrawati (1601-1613)
  3. Raden Mas Wuryah atau Adipati Martapura (1613)
  4. Raden Mas Jatmika atau Sultan Agung (1613-1645)
  5. Raden Mas Sayidin atau Amangkurat I (1646-1677)

Baca juga artikel terkait KESULTANAN MATARAM ISLAM atau tulisan lainnya dari Yuda Prinada

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Yuda Prinada
Penulis: Yuda Prinada
Editor: Iswara N Raditya