Menuju konten utama
Ramadan 2019

Sejarah Puasa dalam Tradisi Masyarakat Arab Pra-Islam

Sebelum masa Nabi Muhammad, masyarakat Arab pra-Islam sudah mengenal tradisi puasa.

Sejarah Puasa dalam Tradisi Masyarakat Arab Pra-Islam
Ritual umat Yahudi. Foto/Shutterstock]

tirto.id - Sejarah melaksanakan puasa sudah dikenal dalam tradisi masyarakat di jazirah Arab sebelum era Nabi Muhammad (571-632 Masehi). Tradisi berpuasa dalam masyarakat Arab pra-Islam setidaknya dapat dibagi menjadi empat macam dan dipraktikkan penganut dari empat agama atau kepercayaan yang berbeda.

Dipaparkan Khoirul Anwar melalui tulisan berjudul “Sejarah Puasa: Adopsi dan Adaptasi Agama-Agama” yang dimuat Islami.co edisi 29 Mei 2017, empat macam puasa tersebut dilakukan umat Yahudi, Kristen, dan kaum Shabi’in serta penganut ajaran Hanif.

Para pemeluk agama ini saat itu berdomisili di kawasan jazirah Arab. Umat Yahudi, misalnya seperti dituliskan Khoirul Anwar, banyak yang menetap di Mekkah, Madinah, Khaibar, dan beberapa wilayah di Yaman. Khaibar adalah suatu oasis yang terletak sekitar 150 kilometer dari Madinah. Pernah terjadi pertempuran antara pasukan Islam dengan kaum Yahudi di kawasan ini pada 629 M.

Sedangkan umat Kristen pada saat itu banyak yang berdomisili di Yaman dan Syam (Suriah). Adapun para penganut ajaran Shabi’in rata-rata tinggal di Yaman. Menurut riset Ade Jamaruddin bertajuk “Kaum Shabi'in dalam Al-Qur'an” dalam Jurnal Ushuluddin (Vol. 19, No. 1, 2013), Shabi'in merupakan kaum yang keluar dari agamanya, kemudian masuk agama lain atau agama yang baru.

Selanjutnya adalah kaum Hanif di Mekkah. Dikutip dari Concept of Monotheism in Islam & Christianity (1982) suntingan Hans Kochler, Hanif adalah istilah Arab yang merujuk kepada agama tauhid pra-Islam, namun bukan Yahudi ataupun Kristen. Secara lebih khusus, istilah ini mengarah kepada bangsa Arab pra-Islam pada masa Jahiliyah yang seringkali dianggap sebagai bentuk kesinambungan ajaran tauhid sejak zaman Nabi Ibrahim.

Ragam Puasa Pra-Islam

Masyarakat Arab Yahudi melaksanakan puasa setiap tanggal 10 Muharram atau yang dikenal sebagai Hari Asyura. Tanggal 10 Muharram diperingati sebagai hari diselamatkannya Musa dan Bani Israil dari Fir’aun. Sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan, Musa kemudian berpuasa pada hari itu.

Puasa Asyura ini ternyata dijadikan inspirasi oleh Nabi Muhammad. Ahmad Rofi`Usmani dalam buku Pesona Ibadah Nabi: Shalat Zakat Puasa Haji (2015) menuliskan, ketika hijrah dari Mekkah –tahun 622 M– Muhammad menemukan orang-orang Yahudi di Madinah berpuasa pada 10 Muharram.

Dengan pertimbangan bahwa kaum muslimin mempunyai ikatan emosional dengan ajaran tauhid Nabi Musa, Rasulullah kemudian memerintahkan kepada umat Islam untuk berpuasa pada hari Asyura tersebut.

Tak lama berselang, turunlah ayat yang mewajibkan puasa Ramadan sebagai salah satu ibadah utama dalam Islam. Setelah puasa jadi perintah wajib dalam Islam, Nabi Muhammad tidak lagi melaksanakan puasa Asyura.

Berikutnya adalah puasa yang dilakukan umat Kristen di Arab. Tradisi puasa ini dilakukan selama 50 hari. Hanya saja, aturannya sedikit berbeda dengan puasa Asyura atau puasa Ramadan, yakni boleh makan atau minum apa saja kecuali daging, telur, dan susu.

Adapun puasa yang dilakoni kaum Shabi’in adalah puasa wajib selama 30 hari berturut-turut dan dipungkasi dengan hari raya. Jika dicermati, tradisi ini mirip dengan puasa Ramadan yang dilakukan umat Islam. Salah satu kesamaan lainnya adalah, pada hari raya tidak diperbolehkan berpuasa.

Lantas, bagaimana dengan puasa yang dijalankan orang-orang Arab pra-Islam yang bukan pemeluk Yahudi maupun Yahudi alias kaum Hanif?

Sejarawan Irak bernama Jawwad ‘Ali dalam karyanya berjudul “al-Mufasshal fi Tarikh al-‘Arab qabla al-Islam” mencoba mengumpulkan secara utuh ibadah-ibadah apa saja, termasuk puasa, yang biasa dilakukan masyarakat Arab sebelum Islam.

Terkait hal ini, Jawwad ‘Ali menemukan dua kosakata yang bertautan dengan tradisi puasa, yakni al-Shaum dan al-Shamit.

"Pertama, al-shaum untuk memaknai tindakan menahan diri dari makan minum atau berhubungan dengan pasangan. Kedua, al-shamit, untuk memaknai tindakan berbicara," sebut Jawwad ‘Ali dikutip dari Muhammad Masrur Irsyadi dalam artikel “Sejarah Puasa Asyura” yang diunggah Islami.co (18 September 2018).

"[...] orang Arab yang hidup di Mekah mengetahui ritus puasa dari para pemeluk al-Hanifiyyah, para pengikut Hanif, seperti kakek Muhammad," simpul Jawwad ‘Ali dalam risetnya.

Baca juga artikel terkait SEJARAH ISLAM atau tulisan lainnya dari AS Rimbawana

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: AS Rimbawana
Editor: Iswara N Raditya