Menuju konten utama

Sejarah Proyek MHT Ali Sadikin: Membangun Fisik & Mental Jakarta

Ali Sadikin memperbaiki kondisi kampung di Jakarta lewat Proyek MHT. Tak cuma perbaikan fisik, tapi juga mental.

Sejarah Proyek MHT Ali Sadikin: Membangun Fisik & Mental Jakarta
Suasana permukiman padat penduduk di Jakarta, Kamis (31/1/2019). ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/pras.

tirto.id - Salah satu program kerja Jokowi dalam empat tahun terakhir adalah mempercepat pembangunan infrastruktur perdesaan dan pemberdayaan masyarakat desa. Biaya yang dikeluarkan untuk program ini disebut Dana Desa. Ratusan triliun rupiah dikucurkan untuk membiayai puluhan ribu desa di seluruh Indonesia.

Pelbagai klaim keberhasilan dari pemerintah, korupsi yang menggerogoti aliran dana, partai politik yang berebut pengaruh, serta sejumlah persoalan lainnya berkelindan mengiringi program kerja ini.

Di luar beberapa masalah tersebut, program kerja ini adalah upaya untuk menjadikan desa tidak hanya sebagai residu pembangunan. Dalam skala yang lebih kecil dan keberhasilannya dicatat dalam ingatan banyak orang, upaya seperti ini pernah juga dilakukan Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta yang menjabat dari 1966 sampai 1977.

Ali Sadikin memperbaiki kampung-kampung busuk yang ada di sekujur ibu kota. Program ini dinamakan Proyek Muhammad Husni Thamrin (MHT), lalu dikenal juga sebagai Kampung Improvement Project (KIP).

Di masa kolonial, proyek serupa pernah dilakukan pemerintah Hindia Belanda pada 1930-an. Namanya kampongverbetering.

Thamrin sebagai Inspirasi

“Tetapi saya pun minta izin kepada sidang ini untuk menceritakan apa yang diharapkan oleh ibu saya almarhumah yang sederhana. Beliau mengharapkan saya menjadi orang pandai, agar dapat memikirkan kehidupan bersama di sekeliling saya,” tulis Anhar Gonggong dalam Muhammad Husni Thamrin (1985).

M.H. Thamrin menyampaikan hal itu dalam pidato pada 27 Oktober 1919 saat ia diangkat menjadi anggota Gemeenteraad (Dewan Kota) Batavia.

Tokoh asal Betawi ini banyak memperjuangkan kehidupan yang layak bagi warga Betawi, salah satunya adalah penanggulangan banjir yang kerap melanda Batavia.

Persahabatannya dengan Daan van der Zee, Sekretaris Gementeraad, membuat gagasannya menjadi bahan pembahasan Dewan Kota.

“Ternyata usaha [Thamrin dan] van der Zee tidak sia-sia. Akhirnya gubernur jenderal setuju untuk mengusahakan agar air Sungai Ciliwung tidak lagi mendatangkan suatu bencana. Dia melaksanakan suatu proyek untuk maksud itu,” imbuh Anhar Gonggong.

Selama menjabat sebagai anggota Dewan Kota, M.H. Thamrin juga mengupayakan perbaikan perkampungan orang Betawi yang kondisinya jauh berbeda dengan gedung-gedung yang megah.

“Batavia masih tetap seperti lukisan dengan pigura bagus, dihiasi dengan villa yang luas dengan jalan lebar, sementara kampung-kampung terwakili pada kanvas tak berharga,” ungkapnya.

Ali Sadikin dan Kampung Busuk

Untuk membangun Jakarta sebagai ibu kota negara, Sukarno membutuhkan orang yang tegas dan sedikit keras kepala. Setelah menolak tiga orang jenderal yang disodorkan Johannes Leimena (Wakil Perdana Menteri), pilihan akhirnya jatuh kepada Ali Sadikin, purnawirawan KKO (sekarang Marinir).

Pada hari pertama berkantor, seperti dicatat Wardiman Djojonegoro dalam biografinya yang bertajuk Sepanjang Jalan Kenangan: Bekerja dengan Tiga Tokoh Besar Bangsa (2016), Ali Sadikin bertanya kepada semua pejabat senior yang umumnya masih didikan Belanda.

“Apa tugas gubernur?”

Djoemadjitin Sasmitadipradja S.H., Sekretaris Daerah Pemda DKI, menjawab bahwa tugas gubernur adalah mengurus rakyat dari lahir sampai mati.

Kepada Wardiman Djojonegoro yang saat itu menjadi stafnya (pada 1993-1998 pernah menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan), Ali Sadikin berkata, “Man, sekarang jelas bahwa tugas gubernur itu mengayomi rakyatnya, mengurus dan peduli kepada rakyatnya dari lahir sampai mati. Jadi program kita adalah meningkatkan kehidupan penduduk dari bayi sampai meninggal. Itulah yang akan menjadi pusat perhatian kita.”

Ali Sadikin kemudian blusukan ke kampung-kampung, dan ia mendapati banyak sekali perkampungan yang kondisinya mengenaskan. Ia teringat saat masih menjadi siswa Sekolah Pelayaran Tinggi. Jika hari libur tiba ia sering berkunjung ke rumah pamannya di Bukit Duri, Jatinegara. Kampung tempat pamannya tinggal itu bersih, jalannya bagus dan teratur. Ia pun tergerak untuk memperbaiki kampung-kampung kumuh di Jakarta.

Seperti dikisahkan dalam biografinya yang bertajuk Bang Ali: Demi Jakarta 1966-1977 (1992) karya Ramadhan K.H., mula-mula Ali Sadikin menemui Widjojo Nitisastro, pimpinan Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional). Namun, ternyata perbaikan kampung yang diusulkannya bukan menjadi prioritas Bappenas. Menurutnya, Bappenas melihat perbaikan kampung tidak akan mendatangkan uang, secara ekonomi tidak bagus.

Padahal, menurut Ali Sadikin, perbaikan kampung justru akan berefek luas: mendorong kebersihan dan meningkatkan kualitas kesehatan warga, atau setidaknya tidak akan sekumuh seperti kondisi saat itu.

“Di mata saya, perbaikan kampung itu menyangkut juga perbaikan ekonominya. Saya jadi kecut melihat sikap dia (Widjojo Nitisastro) begitu,” ungkapnya.

Meski gagasannya ditolak Bappenas, ia tak patah arang. Ali Sadikin mencari jalan lain untuk mewujudkan cita-citanya. Bahkan setiap kali ia melewati kampung kumuh, ia merasa ditantang untuk segera memperbaikinya.

“Ali Sadikin blasak-blusuk masuk ke kampung-kampung yang masih kumuh. Blusukan sebagai model kepemimpinan dalam pengelolaan kota itu otentik kepribadian Ali Sadikin sehari-hari, bukan dibuat-buat,” tulis Wardiman Djojonegoro.

Film dokumenter tentang Jakarta tahun 1971 berjudul Wet Earth, Warm People karya sineas Australia Michael Rubbo. Pada menit 45:00 hingga 51:50 terlihat Ali Sadikin mengunjungi kampung-kampung di Jakarta. Film ini merupakan koleksi National Film Board of Canada.

Perbaikan kampung dilakukan dengan memprioritaskan kampung-kampung yang paling jelek alias kondisinya sangat memprihatinkan, seperti tidak punya jalan yang layak untuk orang dan kendaraan, kesulitan air bersih, tidak mempunyai MCK yang layak, dan becek karena digenangi rawa dan empang.

Selain itu, pertimbangan lainnya adalah kampung-kampung yang bentuk dan rupanya semrawut, seperti pintu depan rumah yang berhadap-hadapan dengan kakus, dinding-dinding rumah berimpitan, dan berpenduduk padat yang penghuninya rata-rata para pekerja dan buruh kasar.

“Akhirnya saya bergerak. Saya melancarkan perbaikan kampung, yakni di tempat-tempat tinggal orang Jakarta. Sementara itu, Jakarta yang dulu bernama Betawi, sudah bertambah mekar sambil mengidap beberapa penyakit kota besar yang kronis,” imbuhnya.

Perbaikan kampung yang bernama Proyek Muhammad Husni Thamrin sering diidentikkan dengan hanya perbaikan jalan. Hal tersebut tegas dibantah Ali Sadikin. Dalam biografinya ia mengatakan, perbaikan kampung lebih luas dari sekadar perbaikan jalan, sebab meliputi juga saluran pembuangan air, pembuatan jembatan, rehabilitasi rumah, perbaikan saluran penghubung, mendirikan atau memperbaiki MCK, membangun sekolah, puskesmas, dan penyediaan tempat sampah.

Selain memperbaiki kondisi fisik kampung, ia juga melakukan perbaikan mental masyarakat. Ia memberi contoh kampung Menteng Wadas. Semula, di kampung tersebut banyak orang mencuri listrik seenaknya. Namun setelah perbaikan kampung kejadian itu dapat berkurang karena masyarakat mulai sadar dan bangga akan kampungnya.

“Dengan ini (proyek perbaikan kampung) saya pacu penduduk Jakarta untuk sadar bernegara, sadar bermasyarakat,” terang Ali Sadikin.

INFOGRAFIK ALI SADIKIN

INFOGRAFIK ALI SADIKIN

Orang Kampung Bukan Ampas Pembangunan

Perbaikan kampung yang dilakukan Ali Sadikin tentu bukan hanya didorong kenangannya pada kampung pamannya yang bersih dan rapi. Itu hanya setapak nostalgia. Dorongan secara politis adalah karena ia berpikir bahwa jika kampung-kampung tersebut tidak diperhatikan, maka akan menjadi bom waktu yang sangat rentan.

Warga yang tinggal di kampung-kampung di kota besar adalah mereka yang juga mesti menikmati hasil pembangunan. Mereka bukan ampas pembangunan yang harus tersisih dan diabaikan.

Proyek tersebut banyak diapresiasi media dan sejumlah pihak. Dan yang paling gembira adalah warga kampung yang tempat tinggalnya menjadi lebih baik.

Wardiman Djojonegoro mencatat sebuah cerita saat Ali Sadikin meninjau proyek tersebut. Menurutnya, seorang perempuan tua datang menghampiri Ali Sadikin dan berkata, “Bapak gubernur yang peduli pada kita, semoga amal Bang Ali diterima Tuhan.”

Kisah Ali Sadikin memperbaiki kampung-kampung di Jakarta bisa menjadi teladan bagi pembangunan infrastruktur zaman Jokowi. Bahwa membangun infrastruktur tak melulu soal fisik, tapi juga mental rakyat agar perbaikan itu tidak sia-sia. Bukankah Jokowi juga pernah mendengungkan visi ideologis bernama Revolusi Mental?

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Irfan Teguh

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Irfan Teguh
Editor: Ivan Aulia Ahsan