Menuju konten utama
Sejarah Indonesia

Sejarah Polwan: Bermula dari 6 Perempuan di Masa Perang

Polwan angkatan pertama sudah berjuang sejak zaman perang revolusi fisik meskipun jumlahnya sangat sedikit.

Sejarah Polwan: Bermula dari 6 Perempuan di Masa Perang
Polisi Wanita; 1953. FOTO/Wikicommon

tirto.id - "Sekarang anggota Polri lebih-kurang 400 ribu, sementara jumlah anggota polwan lebih-kurang 30 ribu, berarti hampir 10 persen,” kata Kapolri, Jenderal Tito Karnavian, di Jakarta, dalam peringatan Hari Kartini pada 25 April 2018 lalu.

Tito Karnavian menginginkan presentase jumlah anggota polwan bisa lebih meningkat lagi. Bahkan, Kapolri berharap semakin banyak polisi perempuan yang menempati posisi-posisi strategis di kepolisian. Namun, apakah itu bisa terwujud mengingat sejarah panjang perkembangan polwan yang terkadang kurang menggembirakan?

Polwan sejatinya sudah ada sejak zaman perang kemerdekaan dengan berbagai macam dinamika dan persoalannya. Kesatuan polisi wanita di Indonesia pertama kali dihadirkan pada 1 September 1948, tepat hari ini 70 tahun silam. Kala itu, anggota Polwan cuma ada 6 orang saja.

Perjalanan tahun 1948 itu diselingi guncangan yang melanda Indonesia. Belum lama merdeka, Belanda sudah datang lagi, berambisi berkuasa kembali. Serangan demi serangan digencarkan, perundingan demi perundingan dilanggar, Indonesia dalam situasi darurat. Banyak penduduk mengungsi, menjauhi titik-titik pertempuran demi keselamatan diri dan keluarga. Namun, pihak republik juga harus tetap cermat dan siaga lantaran gelombang pengungsi rawan disusupi mata-mata musuh.

Yang menjadi persoalan, tidak semua pengungsi perempuan bersedia diperiksa oleh petugas laki-laki, terlebih secara fisik. Hal ini tentunya cukup menyulitkan, karena bisa saja Belanda mengirimkan wanita pribumi sebagai mata-mata.

Sebagai upaya untuk mengatasinya, dinukil dari buku 20 Tahun Indonesia Merdeka: Volume 3 terbitan Departemen Penerangan (1966), pemerintah RI memberikan mandat kepada Sekolah Polisi Negara (SPN) di Bukittinggi untuk membuka pendidikan kepolisian bagi perempuan (hlm. 801).

Hasilnya, terpilih enam orang gadis remaja lulusan sekolah menengah untuk mengikuti pendidikan kepolisan wanita tersebut. Keenam perempuan itu adalah Mariana Saanin Mufti, Nelly Pauna Situmorang, Rosmalina Pramono, Dahniar Sukotjo, Djasmainar Husein, dan Rosnalia Taher, semuanya berdarah Minangkabau.

Enam Srikandi Perintis

Dikutip dari jurnal Dharmasena terbitan Pusat Penerangan Pertahanan dan Keamanan (1995), keenam calon petugas wanita itu menjalani pelatihan sebagai inspektur polisi bersama dengan 44 peserta pria (hlm. 21). Mereka mulai mengikuti pendidikan di SPN Bukittinggi pada 1 September 1948, yang kemudian ditetapkan sebagai hari kelahiran polwan di Indonesia. Enam polisi wanita perintis ini juga menjadi anggota Angkatan Bersenjata RI perempuan pertama. Rata-rata, mereka nantinya pensiun dengan pangkat kolonel polisi atau komisaris besar polisi.

Yang dicemaskan terjadi juga. Di pengujung tahun 1948, terjadi Agresi Militer Belanda II. Ibukota RI, yang waktu itu berada di Yogyakarta, diduduki. Para petinggi negara, termasuk Sukarno, Mohammad Hatta, dan beberapa orang menteri, ditawan lalu diasingkan ke luar Jawa.

Ketika pusat pemerintahan di Yogyakarta limbung, Bukittinggi justru unjuk gigi. Atas restu Presiden Sukarno, didirikan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di salah satu daerah penting di Sumatera Barat tersebut.

Keenam polisi wanita itu turut ambil bagian dalam perjuangan mempertahankan pemerintahan darurat di Bukittinggi. Salah satu fragmen aksi mereka terungkap dalam buku Brigadir Jenderal Polisi Kaharoeddin Datuk Rangkayo Basa (1998) karya Hasril Chaniago dan Khairul Jasmi.

Disebutkan, Bukittinggi harus dikosongkan pada awal 1949 karena pasukan Belanda semakin mendekat. Kesatuan Brigade Mobil pimpinan Inspektur Polisi Amir Machmud ditugaskan mendirikan basis pertahanan untuk melindungi proses pengosongan itu. Dalam pasukan ini, terdapat tiga orang polisi wanita, yaitu Rosmalina, Jasmaniar, dan Nelly Pauna (hlm. 136).

Setelah situasi mereda dan akhirnya Belanda mengakui kedaulatan Indonesia secara penuh, keenam polisi wanita itu melanjutkan pendidikan ke SPN Sukabumi, Jawa Barat. Mereka lulus pada Mei 1951 sebagai inspektur polisi (Achmad Turan & Awaloeddin Djamin, Bapak Kepolisian Negara Republik Indonesia, 2000: 119).

Enam Srikandi inilah yang menjadi pelopor lahirnya kesatuan polisi wanita di Indonesia. Mereka mengemban tugas yang tidak kalah penting dari polisi pada umumnya, kendati secara jumlah masih jauh di bawah populasi polisi lelaki.

Infografik Sejarah Polwan di indonesia

Polwan Adalah Bunga Kartini

Andil kaum hawa selama masa Revolusi Fisik (1945-1949) tidak bisa diabaikan begitu saja. Menurut Asti Musman & Tri Nugroho dalam buku Wong Wadon: Peran dan Kedudukan Perempuan Jawa dari Zaman Klasik hingga Modern (2017), para wanita juga antusias berjuang dalam bidang kemiliteran bersama kaum lelaki (hlm. 116).

Terbukti, mereka maju ke garis depan bukan sekadar sebagai penyuplai makanan. Banyak di antara pejuang perempuan yang bahkan ikut berperang seperti yang dilakukan prajurit pria. Kelompok inilah yang nantinya menjadi cikal-bakal korps wanita militer di Indonesia, termasuk polwan.

Semasa Orde Lama, Presiden Sukarno seringkali memberikan perhatian khusus terhadap laskar-laskar militer perempuan, polwan di antaranya. Pada upacara pembukaan Kongres Wanita Indonesia di Senayan, Jakarta, tanggal 24 Juli 1964, misalnya, Bung Karno menggelorakan spirit kaum wanita lewat pidatonya.

Dalam pidato itu, dikutip dari buku Wanita Indonesia Selalu Ikut Bergerak dalam Barisan Revolusioner (1964), Presiden Sukarno memuji polisi-polisi wanita dari Sukabumi yang ia ibaratkan seperti bunga, bunga yang oleh Bung Karno disebut Bunga Kartini -tokoh emansipasi wanita paling populer di Indonesia (hlm. 7). Polwan-polwan dari Sukabumi yang dimaksud Bung Karno merujuk kepada enam gadis Minang yang lulus sebagai polisi perempuan pertama di Indonesia setelah menempuh pendidikan lanjut di di SPN Sukabumi.

Di tahun yang sama, seperti dilaporkan Madjalah Angkatan Bersendjata (Masalah 1-10, 1964: 24), Bung Sukarno tampak bahagia dan bangga melihat atraksi Brigade Polisi Wanita dalam upacara peringatan Hari Angkatan Bersenjata. Presiden bahkan turun langsung untuk memberikan ucapan selamat kepada para polwan itu. Selain itu, Presiden Sukarno juga kerap mempercayakan keselamatan istri, anak-anak, dan keluarga terdekatnya kepada personil polwan yang dipilih secara khusus.

Mengejar Kesetaraan di Polri

Setelah era Orde Lama berakhir dan digantikan rezim Orde Baru dengan Soeharto selaku presiden, proses pendidikan untuk calon polisi wanita masih berlanjut kendati yang berminat tidak terlalu banyak. Selain itu, belum ada institusi pendidikan khusus yang menaunginya.

Kaderisasi polwan semakin tersendat setelah Polri melebur dengan TNI menjadi ABRI dan penerimaan taruni (taruna perempuan) dihapuskan. Kondisi ini mengakibatkan Polri tidak memiliki lulusan polwan dari Akademi Kepolisian.

Tahun 1975, Sekolah Anggota Kepolisian RI di Ciputat, Jakarta, yang bernaung di bawah Polda Metro Jaya (kala itu bernama Komdak VII Jaya) membuka kelas khusus untuk mendidik bintara polwan. Tahun 1982, kelas ini diperluas menjadi Pusat Pendidikan Polisi Wanita (Pusdikpolwan).

Dua tahun kemudian, tepatnya pada 30 Oktober 1984, status Pusdikpolwan diganti menjadi Sekolah Polisi Wanita (Sepolwan) yang dinaungi Direktorat Pendidikan Polri (Tjuk Sugiarso, Ensiklopedi Kepolisian Tingkat Dasar, 1986: 82). Berdirinya Sepolwan lambat-laun menarik minat perempuan untuk menjadi polisi, kendati secara presentase masih sangat kecil di sepanjang dekade 1980-an. Hingga era 1990-an, ada peningkatan jumlah personil polwan di tubuh Polri.

Data dari Markas Besar Kepolisian RI (1993), seperti dihimpun Satjipto Rahardjo dalam buku Membangun Polisi Sipil: Perspektif Hukum, Sosial, dan Kemasyarakatan (2007), menyebutkan bahwa terjadi kenaikan akseleratif jumlah polwan, yaitu dari 3 persen pada 1990-1991 menjadi 9 persen pada 1991-1992 (hlm. 108).

Jumlah keseluruhan polwan pada 1992 adalah 5.277 orang dari total 166.658 polisi di Indonesia. Mereka mayoritas berpangkat sersan, selain 18 polwan dengan pangkat kolonal dan 1 orang dengan pangkat brigadir jenderal.

Selang 20 warsa kemudian, presentase jumlah polwan ternyata tidak meningkat, bahkan cenderung menurun seiring semakin bertambah banyaknya personil polisi pria. Hingga akhir 2012, jumlah anggota polwan hanya 13.200 orang dari total 398.000 polisi atau cuma 3,6 persen.

Terkini, tahun 2018, populasi polwan naik signifikan. Seperti yang dikatakan Kapolri Tito Karnavian, jumlah polwan sekitar 30 ribu personil, atau hampir 10 persen dari total jumlah anggota Polri yang berjumlah kurang lebih 400 ribu orang.

Kenaikan ini, salah satunya, barangkali disebabkan oleh kebijakan Polri yang sejak 25 Maret 2015 memperbolehkan anggota polwan mengenakan kerudung, jilbab, atau hijab. Meskipun begitu, presentase yang kata Tito hampir 10 persen itu masih jauh dari harapannya. Kapolri mencanangkan target 30-40 persen untuk anggota polwan dari jumlah total polisi keseluruhan.

Peran polwan di era milenial saat ini memang amat diperlukan, termasuk untuk pendekatan yang lebih humanis lantaran selama ini polisi kerap dicitrakan kurang bersahabat.

“Saya ingin polwan menempati kursi kira-kira 30-40 persen karena mereka memiliki keunggulan lebih sensitif, penanganan terhadap anak, dan untuk layanan publik," harap Kapolri.

Tito bahkan membayangkan semakin banyak polisi wanita yang menempati posisi strategis, termasuk menjabat kapolri suatu saat nanti. “Saya justru ingin kapolda ada yang dari polwan. Bila perlu, pejabat tinggi Mabes Polri, kapolri-wakapolri, ke depan kita harapkan bisa polwan.”

Bisakah harapan Tito Karnavian itu terwujud? Barangkali tidak mustahil, namun tergantung kebijakan pemerintah, ketulusan Polri sebagai institusi, serta keputusan dari sang Kapolri sendiri.

Baca juga artikel terkait SEJARAH POLISI atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya

tirto.id - Humaniora
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Iswara N Raditya