Menuju konten utama
Sejarah Indonesia

Sejarah PETA di Zaman Pendudukan Jepang: Tugas, Tokoh, & Tujuan

PETA adalah kesatuan paramiliter yang dibentuk oleh Jepang dalam sejarah penjajahan Dai Nippon di Indonesia.

Sejarah PETA di Zaman Pendudukan Jepang: Tugas, Tokoh, & Tujuan
Pembela Tanah Air atau PETA adalah kesatuan militer yang dibentuk Jepang di Indonesia. [Foto/wikipedia.org]

tirto.id - PETA, kepanjangan dari Pembela Tanah Air, adalah kesatuan paramiliter sukarela yang dibentuk Jepang pada masa penjajahan Dai Nippon di Indonesia, tepatnya tanggal 3 Oktober 1943. Sejarah PETA tidak terlepas dari kebutuhan militer Jepang dalam Perang Dunia II.

Anggota PETA adalah para pemuda Indonesia dan dibentuk dengan tujuan untuk membela tanah air dari ancaman Sekutu dalam Perang Asia Timur Raya yang merupakan bagian dari Perang Dunia II yang sedang dihadapi Jepang.

Nantinya, para prajurit jebolan PETA menjadi salah satu pilar utama terbentuknya Tentara Keamanan Rakyat (TKR) setelah Indonesia merdeka. TKR adalah cikal-bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Latar Belakang

Keberhasilan memborbardir pangkalan militer Amerika Serikat di Pearl Harbour, Hawaii, pada 8 Desember 1941 menjadikan Jepang berkuasa terhadap wilayah-wilayah di Asia, salah satunya Indonesia yang kala itu diduduki Belanda.

Tanggal 11 Januari 1942, pasukan Jepang mendarat di wilayah Indonesia, tepatnya di Tarakan, Kalimantan bagian utara dekat perbatasan Malaysia. Tak lama lagi, Belanda harus menyerahkan pendudukan Indonesia kepada Jepang.

Secara resmi, pengalihan kekuasaan antara Jepang dan Belanda didasarkan pada Perjanjian Kalijati yang digelar di Subang, Jawa Barat.

Suhartono dalam Sejarah Pergerakan Nasional: 1908-1945 (2001), menyebutkan. perundingan di Kalijati pada 8 Maret 1942 menyepakati bahwa angkatan perang Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang.

Alasan Dibentuknya PETA

Pada masa itu, Jepang masih menghadapi pasukan Sekutu dalam Perang Dunia II. Oleh karena itu, pendudukannya di Indonesia dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan perang.

Salah satunya adalah pemanfaatan pemuda-pemuda Indonesia sebagai pasukan tambahan Jepang dalam Perang Dunia II.

Dikutip dari Kepemimpinan ABRI dalam Perspektif Sejarah (1997) karya Suyatno Kartodirdjo, mobilitas penduduk oleh pemerintah Jepang mempercepat proses penyerapan dan pengetahuan tentang kemiliteran yang dimiliki Jepang.

Pada dasarnya, terdapat perbedaan alasan terkait pembentukan PETA dari kedua pihak. Indonesia sejak dulu Indonesia mendambakan latihan militer sebagai bekal melawan penjajahan dan mengejar cita-cita kemerdekaan.

Sedangkan Jepang membentuk PETA karena membutuhkan tambahan pasukan terlatih dalam bidang militer sebagai tindakan antisipasi untuk menghadapi Sekutu jika menyerang wilayah Indonesia.

Terbentuknya PETA

Ahmad Mansyur Suryanegara dalam Api Sejarah Jilid II (2006) menuliskan bahwa keinginan untuk membentuk PETA dari pihak Indonesia kemudian dikuatkan dengan surat dari Gatot Mangkoepradja kepada Gunseikan, pemimpin tertinggi pemerintahan militer Jepang yang berkedudukan di Jakarta.

Gatot Mangkoepradja termasuk tokoh pendiri Partai Nasional Indonesia (PNI) pada 4 Juli 1927 di Bandung.

Bersama Sukarno serta sejumlah tokoh lainnya, ia ditangkap aparat Hindia Belanda di Yogyakarta, kemudian dijebloskan ke penjara di Bandung, yang berujung dalam momen “Indonesia Menggugat” tahun 1929.

Dalam suratnya, Gatot Mangkoepradja meminta agar Jepang membentuk barisan pemuda Indonesia untuk membela tanah air dari ancaman Sekutu dalam Perang Asia Timur Raya.

“... bangsa Indonesia bukan saja tinggal di belakang dan memperkuat garis belakang, akan tetapi juga turut terjun ke medan perang, ikut melawan dan meruntuhkan kekuasaan Inggris, Amerika, dan sekutunya,” tulisnya dikutip dari Surat Gatot Mangkoepradja Dipersembahkan ke Hadapan Padoeka Jang Moelja Tuan Gunseikan di Djakarta (1943).

Nugroho Notosusanto dalam Tentara PETA pada Jaman Pendudukan Jepang di Indonesia (1979) menyatakan bahwa prakarsa untuk membentuk pasukan tambahan yang terdiri dari orang-orang lokal memang harus datang dari seorang pemimpin Indonesia.

Akhirnya, pada 3 Oktober 1943, pemerintah Jepang mengeluarkan Osamu Sirei No.44 dan mengesahkan PETA sebagai pasukan militer baru di Indonesia.

Tugas dan Tujuan PETA

Dinukil dari tulisan Nezla Anisa berjudul "Apa Itu PETA" (2016) yang dimuat di laman Universitas Malahayati, tujuan terbentuknya PETA dapat ditinjau dari dua sisi.

Dilihat dari pihak Jepang, dibentuknya PETA sebagai usaha Jepang untuk menarik simpati agar rakyat indonesia memberikan bantuan dalam Perang Asia Timur Raya.

Berdasarkan latar belakang terbentuknya, maka tugas PETA adalah untuk membantu pasukan Jepang dalam Perang Asia Timur Raya. Selain itu, Jepang tugas pasukan PETA, sesuai dengan namanya, adalah untuk membela tanah air Indonesia dari ancaman bangsa Barat.

Terbentuknya PETA bagi Indonesia merupakan usaha untuk membangkitkan semangat juang para pemuda-pemuda Indonesia agar para pemuda terlatih dalam bidang kemiliteran.

Adanya PETA sebagai bentuk awal persiapan kekuatan militer apabila sewaktu-waktu Indonesia merdeka. Oleh karena itu, PETA juga diikutsertakan oleh para pemimpin bangsa saat itu untuk mempersiapkan kemerdekaan.

Tokoh-tokoh PETA

Gatot Mangkoepradja, Sukarno, Mohammad Hatta, Ki Ageng Suryomataram, Ki Hajar Dewantara, , K.H. Mas Mansoer, dan tokoh-tokoh lainnya berperan dalam pembentukan serta perkembangan PETA sebelum kemerdekaan RI.

Nantinya, dari PETA muncul tokoh-tokoh yang berperan besar dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia dan menanamkan pondasi dalam pembentukan angkatan perang Indonesia atau yang kemudian menjadi TNI.

Tokoh militer Indonesia yang merupakan lulusan PETA antara lain:

Soedirman, Soeharto, Ahmad Yani, Soeprijadi, Basuki Rahmat, Sarwo Edhie Wibowo, Umar Wirahadikusumah, Soemitro, Poniman, Latief Hendraningrat, Kemal Idris, Supardjo Rustam, GPH Djatikoesoemo, dan lainnya.

Baca juga artikel terkait SEJARAH PETA atau tulisan lainnya dari Alhidayath Parinduri

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Alhidayath Parinduri
Penulis: Alhidayath Parinduri
Editor: Iswara N Raditya