Menuju konten utama
Sejarah Indonesia

Sejarah Pertempuran Lengkong: Penyebab, Kronologi, & Tokoh Pahlawan

Pertempuran Lengkong pada 25 Januari 1945 menjadi rangkaian sejarah perang kemerdekaan setelah proklamasi Republik Indonesia.

Sejarah Pertempuran Lengkong: Penyebab, Kronologi, & Tokoh Pahlawan
Monumen Sejarah Pertempuran Lengkong. wikimedia commons/domain publik

tirto.id - Pertempuran Lengkong pada 25 Januari 1945 menjadi rangkaian sejarah perang kemerdekaan setelah proklamasi Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945. Lantas, apa penyebab terjadinya insiden di Lengkong dan siapa saja tokoh yang menjadi pahlawan bangsa dalam peristiwa ini?

Operasi ke Desa Lengkong, Serpong (kini termasuk wilayah Tangerang Selatan), semula bertujuan untuk melucuti senjata para serdadu Jepang yang masih tersisa di Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan oleh para personel Tentara Republik Indonesia (TRI) dengan jalan damai.

Tanggal 25 Januari 1945 itu, Resimen IV dari Akademi Milter Tangerang yang dipimpin Mayor Daan Mogot menuju Lengkong. Turut serta pula dalam operasi itu antara lain Mayor Wibowo, Letnan Soetopo, Letnan Soebianto, Letkol Singgih, Kapten Enjon, dan puluhan taruna dari Akademi Militer Tangerang.

Akan tetapi, apa yang diharapkan damai nyatanya tidak terjadi. Pertempuran justru meletus dan mengakibatkan sebanyak 36 Taruna dan tiga perwira, termasuk Mayor Daan Mogot, gugur sebagai kusuma bangsa dalam Pertempuran Lengkong.

Penyebab Pertempuran Lengkong

Insiden di Lengkong berawal dari beredarnya kabar bahwa Belanda bakal kembali ke Indonesia dengan membonceng pasukan Sekutu usai mengalahkan Jepang dalam Perang Asia Timur Raya atau Perang Dunia Kedua.

Kabar yang berhembus menyebutkan bahwa pasukan Sekutu sudah tiba di Bogor pada 24 Januari 1946. Pasukan Sekutu menuju Lengkong dengan tujuan untuk melucuti senjata para serdadu Jepang.

Resimen IV Tangerang yang mendengar kabar itu tak tinggal diam. Pasokan senjata yang minim membuat mereka berencana untuk mendahului Sekutu ke Lengkong guna melucuti senjata tentara Jepang. Pelucutan senjata ini awalnya direncanakan berlangsung damai.

Sebagaimana dicatat R.H.A Saleh dalam buku Akademi Militer Tangerang dan Peristiwa Lengkong (2006), untuk merencanakan aksi pelucutan senjata tersebut, perundingan antara Resimen IV dan kantor penghubung tentara di Jakarta dilangsungkan.

Dalam perundingan itu, Mayor Wibowo dari Akademi Militer Tangerang mengusulkan agar operasi ke Lengkong nanti menyertakan serdadu Inggris keturunan India yang telah memilih keluar dari kesatuannya dan berpihak kepada Indonesia.

Menurut Mayor Wibowo, hal tersebut dilakukan agar operasi berjalan damai, yakni dengan berpura-pura menyatakan bahwa pelucutan senjata serdadu Jepang telah memperoleh izin dari pihak Sekutu.

Usul itu diterima. Tanggal 25 Januari 1946, operasi ke Lengkong dimulai dengan melibatkan 3 orang perwira, 2 pleton taruna dari Akademi Militer Tangerang yang dipimpin oleh Mayor Daan Mogot, serta 4 orang mantan tentara Inggris keturunan India dengan pakaian seragam lengkap.

Kronologi Pertempuran Lengkong

Dikutip dari Akademi Militer Tangerang dan Peristiwa Lengkong (2006), R.H.A. Saleh mencatat bahwa awalnya, strategi tersebut berjalan lancar. Sebagian besar serdadu Jepang percaya bahwa pihak Indonesia yang diwakilkan oleh Resimen IV Tangerang akan melakukan pelucutan senjata dengan izin dari Sekutu.

Mayor Daan Mogot menemui Kapten Abe yang mewakili para serdadu Jepang. Mereka masuk ke sebuah kamp untuk membicarakan maksud kedatangan Resimen IV Tangerang. Sebagian taruna lalu mengambil senjata milik Jepang dan mengangkutnya ke atas truk.

Namun, Kapten Abe ternyata belum sepenuhnya percaya kepada Mayor Daan Mogot dan meminta waktu untuk menghubungi atasannya di Bandung. Saat Kapten Abe dan Mayor Daan Mogot sedang berunding, tiba-tiba terdengar desing senapan yang entah dari mana berasal.

Suara tembakan itu memicu ketegangan di luar. Para serdadu Jepang yang sebelumnya tenang kini bersiap dalam posisi menyerang dan segera menembaki para taruna Indonesia yang sedang berada di lapangan terbuka.

Mayor Daan Mogot langsung berlari keluar dan berteriak agar serangan dihentikan. Namun, seperti diungkapkan Rahayu Permana melalui tulisan bertajuk "Mayor Daan Mogot (1928-1946) Peran dan Perjuangannya" dalam Jurnal Estoria (2021), peringatan tersebut tidak dihiraukan.

Para serdadu Jepang terus menembaki taruna Indonesia yang belum dalam kondisi siap. Bahkan, Mayor Daan Mogot turut gugur dalam insiden ini. Total, 37 orang dari pihak Indonesia berkorban nyawa. Selain Daan Mogot, perwira yang gugur adalah Letnan Soebianto dan Letnan Soetopo.

Akhir Pertempuran Lengkong

Sebagian tentara Indonesia berhasil melarikan diri, dan sebagian lagi ditawan oleh pihak Jepang. Para taruna yang berhasil lolos juga segera melaporkan peristiwa berdarah di Lengkong tersebut ke Resimen IV Tangerang.

Tanggal 26 Januari, Resimen IV menghubungi kantor penghubung di Jakarta. Keesokan harinya disepakati bahwa Jepang akan membebaskan para tawanan dari pihak Indonesia. Selain itu, para korban yang sudah dikubur seadanya akan kembali dimakamkan secara terhormat.

Semua korban yang gugur dalam Pertempuran Lengkong dikebumikan kembali pada 29 Januari 1946 di kompleks markas Resimen IV (sekarang Taman Makam Pahlawan Taruna di Tangerang Selatan).

Pertempuran Lengkong menjadi satu dari rangkaian peristiwa bersejarah yang terjadi di sepanjang Masa Revolusi Fisik dari tahun 1945 hingga 1949.

Untuk mengenang peristiwa serta para pahlawan yang gugur dalam Pertempuran Lengkong pada 1946 itu, setiap tanggal 25 Januari diperingati sebagai Hari Bakti Taruna Akademi Militer.

Daan Mogot Pahlawan Pertempuran Lengkong

Elias Daniel Mogot alias Daan Mogot merupakan salah satu perwira dari Indonesia yang gugur dalam Pertempuran Lengkong pada 25 Januari 1946.

Dikutip dari Bode Talumewo dalam buku Pahlawan Minahasa Mayor Daan Mogot (2007) yang dikutip Petrik Matanasi untuk tulisan bertajuk "Kematian Daan Mogot dan Sejarah Pertempuran Lengkong" di Tirto.id, Daan Mogot lahir di Manado tanggal 28 Desember 1928.

Sejak usia 14 tahun, Daan Mogot telah bergabung dengan Seinen Dojo atau pelatihan pemuda pada masa pendudukan Jepang di Indonesia. Setahun kemudian, ia menjadi anggota Pembela Tanah Air (PETA), pasukan sukarela bentukan Jepang.

Karier militer Daan Mogot di PETA berjalan mulus yang kemudian membuatnya terpilih menjadi Shodancho atau Komandan Peleton PETA. Ia ditempatkan di Bali pada 1943 hingga 1944.

Daan Mogot bersama dua rekan satu angkatan saat di Seinen Dojo yakni Zulkifli Lubis dan Kemal Idris, serta beberapa perwira PETA lainnya membuka sekolah untuk melatih para calon anggota PETA di Bali.

Selain itu, Daan Mogot juga memiliki hubungan yang akrab dengan Alex Kawilarang, bekas perwira Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger (KNIL) pada masa Hindia Belanda.

Setelah proklamasi kemerdekaan RI, Daan Mogot dan Alex Kawilarang bergabung dengan angkatan perang Indonesia yang baru saja dibentuk.

Daan Mogot banyak berbagai pikiran dengan Alex Kawilarang, termasuk mimpinya untuk bisa melatih para calon prajurit RI kelak di kemudian hari. Keinginan itu akhirnya terealisasi. Tanggal 18 November 1945, didirikan Akademi Militer darurat di Tangerang, dan Daan Mogot turut menjadi pembinanya.

Bersama puluhan taruna yang dilatihnya di akademi itu, Daan Mogot gugur dalam Pertempuran Legkong pada 25 Januari 1946.

Nama Daan Mogot kemudian diabadikan sebagai nama jalan utama yang membentang sepanjang 27,5 kilometer dari Sukarasa di Tangerang sampai Grogol, Jakarta Utara.

Baca juga artikel terkait SEJARAH PERANG KEMERDEKAAN atau tulisan lainnya dari Ahmad Efendi

tirto.id - Pendidikan
Kontributor: Ahmad Efendi
Penulis: Ahmad Efendi
Editor: Iswara N Raditya