Menuju konten utama

Sejarah Pertanian di Hindia Belanda

Sebelum mengembangkan pertanian, Belanda sangat bias perkotaan. Mereka menganggap perdagangan sebagai satu-satunya sokoguru ekonomi.

Sejarah Pertanian di Hindia Belanda
Header Mozaik Pertanian belanda. tirto.id/Ecun

tirto.id - Sebelum tahun 1795, Belanda menerapkan otonomi daerah yang sangat kuat. Sejumlah daerah, terutama Holland dan Zeeland, mirip seperti negara.

Dikendalikan melalui Majelis Jenderal atau Staten Generaal yang dibentuk sejak 1464, struktur politik ini membuat Belanda sangat bias perkotaan, khususnya terhadap kota-kota yang dekat dengan lautan sebagai titik sentral ekonomi.

Kala itu, Pemerintah Belanda menganakemaskan para pedagang karena dianggap sebagai aktor penggerak utama ekonomi serta banyaknya yang bertransformasi menjadi politikus.

Bias ini, sebagaimana ditulis Harro Maat dalam buku Science Cultivating Practice (2001), membuat Belanda cukup berbeda dibandingkan negara-negara tetangganya.

Sebagai perbandingan, di negara seperti Jerman, Inggris, dan Prancis, bukan cuma pedagang yang memperoleh status sosial mentereng, tetapi juga Landed Aristocracy atau orang-orang yang menciptakan kejayaan melalui pertanian.

Contohnya, di Inggris ada elite desa seperti Jethro Tull dan Arthur Young. Di Jerman terdapat Albrect D. Thaer. Dan Henri L. Duhamel du Monceau dari Prancis.

Karena tak mengenal Landed Aristocracy, tulis Maat, "Belanda tak pernah peduli terhadap dunia pertaniannya, termasuk soal wilayah perdesaan mereka yang umumnya mengandalkan hidup melalui pertanian."

Jika di pelbagai universitas di Jerman memiliki Cameralwissenschaften sebagai tempat muda mudi menimba ilmu pertanian yang digandengkan dengan tema-tema sosial politik dan ekonomi, misalnya, Belanda tak demikian.

Hingga 1795, Belanda hanya mengandalkan perkembangan dunia pertaniannya pada individu-individu yang memiliki ketertarikan khusus terhadap pertanian, seperti yang dilakukan oleh Petrus Camper, ahli zoologi University of Groningen.

Ide "Sosok Pembaru" yang Menjalar ke Hindia Belanda

Di Hindia Belanda, wilayah yang didatangi Belanda melalui VOC mulai abad ke-17, kondisi serupa terjadi: tak ada perkembangan dalam dunia pertanian.

Dalam "Dutch Engineering Overseas" (Know Techn Pol, 2002) yang ditulis Wim Ravesteijn, disebutkan bahwa tak berkembangnya dunia pertanian Hindia Belanda terjadi karena kala itu Belanda hanya mau berdagang dengan raja-raja kecil di daerah.

Memasuki tahun 1795, pengabaian Belanda terhadap dunia pertaniannya berakhir. Saat itu, dipicu pergolakan sosial yang menggiring terbentuknya Republik Batavia, otonomi daerah yang kuat itu dihapus.

Belanda tak lagi hanya mengistimewakan kota-kota besar dan para pedagang. Untuk pertama kalinya mereka juga melihat perdesaan serta pertanian sebagai sokoguru perekonomian yang wajib dikembangkan.

Tak lama setelah Republik Batavia terbentuk, lembaga negara yang khusus mengurus pertanian, Staten van Landbouw, dibentuk.

Dipimpin oleh seorang akademisi bernama Jan Kops, lembaga tersebut bekerja untuk "mengumpulkan informasi tentang pertanian Belanda dan mendorong inovasi [...] Demi mencapai kedua target tersebut, Kops lantas membentuk Komisi Pertanian (Commissien van Landbouw) di setiap provinsi, yang bekerja secara independen," tulis Maat.

Nahas, sebelum kedua target tersebut tercapai, Republik Batavia bubar karena dikalahkan Prancis dalam perang yang berlangsung di Waterloo.

Staten van Landbouw kemudian dibubarkan karena Prancis tak memiliki minat untuk mengembangkan dunia pertanian Belanda atau memilih menerapkan politik Laissez Faire alias pembiaran atas situasi Belanda.

Meskipun membubarkan Staten van Landbouw serta pembiaran terhadap sendi sosial-politik-ekonomi Belanda, William I melakukan terobosan pada dunia pendidikan.

Kala itu, menganggap dirinya sebagai "sosok pembaru" serta terinspirasi dengan pengasingannya di Prussia, pada 1815 William I mengeluarkan dekrit guna menata ulang sistem pendidikan Belanda.

Dalam dekrit tersebut, Landhuishoudkunde atau kelas agronomi diperkenalkan. Ini membuat Belanda untuk pertama kalinya memiliki mata kuliah khusus tentang pertanian.

Karena berpengalaman memimpin Staten van Landbouw, maka Jan Kops ditunjuk untuk mengepalai Landhuishoudkunde cabang University of Utrecht. Sementara itu, untuk Leiden dan Groningen, masing-masing dipimpin akademisi bernama Christiaan F. Kleijnhoff van Enspijk dan Jacobus A. Uilkens.

Awalnya, Landhuishoudkunde khusus bagi para mahasiswa jurusan pertanian. Namun, percaya bahwa perkembangan dunia pertanian tak akan tercapai tanpa menggandeng kaum petani, kelas ini kemudian menyasar para teolog atau agamawan muda yang tengah menimba ilmu di pelbagai universitas di Belanda.

Musababnya, "mayoritas dari teolog muda ini akan menjadi pendeta di pelbagai penjuru Belanda, dan kala bertugas mereka acapkali berinteraksi dengan para petani," tulis Maat.

Lalu sejak 1830-an, Landhuishoudkunde dibuka untuk umum demi menjangkau lebih banyak petani. Akhirnya, ketiga profesor yang mengepalai Landhuishoudkunde membentuk Hollandsche Maatschappij van Landbouw atau Masyarakat Pertanian Belanda pada 1847. Ini demi membuat segala macam pengetahuan pertanian lebih mudah dijangkau pelbagai kalangan masyarakat.

Perlahan, dunia pertanian Belanda pun mulai berkembang. Terlebih, melalui peraturan baru soal pendidikan yang diperkenalkan pada 1863, pertanian Belanda kian berjaya.

Perkembangan ini akhirnya menjalar ke Hindia Belanda.

Jeda karena Tanam Paksa

Jika di zaman VOC Hindia Belanda hanya dilihat sebagai tempat transaksi perdagangan, maka Pemerintah Belanda kemudian melihat Hindia Belanda sebagai wilayah "kemanusiaan [...] tetapi tetap menjunjung tinggi faktor ekonomi sebagai alasan Belanda hadir di Hindia Belanda," tulis Ravesteijn.

Dalam melihat wilayah "kemanusiaan" inilah pertanian ditetapkan sebagai salah satu elemen yang harus dikembangkan.

Kembali merujuk paparan Maat, berkembangnya pertanian di Hindia Belanda dimulai pada tahun 1815.

Setelah berhasil mengusir Inggris melalui Konvensi London, Belanda mengutus Casper George Carl Reinwardt, ahli farmasi asal Amsterdam sekaligus anggota Cabinet of Natural History Belanda, ke Hindia Belanda untuk membentuk lembaga atau institusi khusus soal ilmu pengetahuan pertanian.

Dua tahun kemudian, setelah menjelajah seluruh penjuru koloni Belanda di Asia Pasifik ini guna mengumpulkan pelbagai spesimen tetumbuhan, Reinwardt berhasil membentuk Kebun Raya Bogor. Lengkap dengan Lands Plantentuin atau seksi kecil dalam kebun yang dibuat khusus untuk menanam tanaman percobaan di bidang pertanian.

Tanaman ini selanjutnya dikembangkan melalui pembentukan Natuurkundige Commissie voor Nederlandsch-Indie, lembaga yang bertugas melakukan taksonomi tetumbuhan yang ada di Hindia Belanda.

Nahas, kerja para ilmuwan Belanda meneliti dan mengambangkan pertanian di Hindia Belanda terhenti pada 1830. Dihantam masalah finansial yang besar akibat berperang melawan Belgia dan banyaknya pemberontakan yang dilakukan penguasa-penguasa lokal di Hindia Belanda, Belanda butuh uang yang banyak.

Demi memenuhi kebutuhan finansial tersebut, mereka akhirnya menerapkan Cultuurstelsel atau Tanam Paksa dengan menitikberatkan pada tanaman-tanaman ekspor yang dikehendaki Barat.

Ini artinya menanggalkan segala tumbuhan yang tak laku atau tak diminati, baik tanaman eksperimen maupun padi sebagai pondasi masyarakat Hindia Belanda, khususnya Jawa, untuk hidup.

Infografik Mozaik Pertanian belanda

Infografik Mozaik Pertanian belanda. tirto.id/Ecun

Karena produksi beras yang menurun, kelaparan pun merajalela. Ini mendorong elite-elite Belanda, terutama H. A. van der Poel, meminta Pemerintah Belanda kembali membangun dunia pertanian yang beradab, khususnya padi, dengan membangun skema Landrente atau Sewa Tanah sebagai cara yang dapat digunakan untuk memperoleh pendapatan.

Akhirnya, pada 1860 Belanda menyerah terhadap kebijakan Cultuurstelsel.

Setelah itu, perkembangan ilmu pengetahuan pertanian Hindia Belanda muncul kembali, khususnya tentang beras. Dimotori J. E. van der Stok, klasifikasi beras di Jawa kali pertama dilakukan.

Dalam studinya, Stok menyebut bahwa beras di Jawa terdiri dari dua jenis, yakni utilissima dan glutinosa. Pada jenis pertama, communis dan minuta merupakan varietas yang banyak ditanaman di Jawa.

Lalu, melalui kerja akademik yang dilakukan Sollewijn Gelpke, diketahui bahwa proses tanam padi di Jawa tak efisien.

Membandingkan dengan petani padi di Italia, Gelpke menyebut petani Jawa "melakukan pemborosan energi yang sangat besar [...] Ini terjadi karena proses tanam dipengaruhi takhayul, yakni pemanfaatan perhitungan kabalistik dalam menentukan masa tanam dan masa panen."

Studi-studi ini mendorong Pemerintah Kolonial bergerak untuk membentuk Proefstation voor Rijst en Tweede Gewassen demi mengembangkan varietas-varietas beras dan membangun infrastruktur irigasi.

Hingga Belanda hengkang dari Indonesia pada tahun 1945, 1,3 juta hektare dari 3,3 juta hektare sawah padi di Indonesia diairi oleh Technisch Bewateringssysteem.

Baca juga artikel terkait PERTANIAN atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Irfan Teguh Pribadi