Menuju konten utama

Sejarah Perayaan Waisak di Indonesia Bermula dari Masa Kolonial

Perayaan Waisak mengalami transformasi pada akhir abad ke-19. Bermula di Sri Lanka, lalu menyebar ke Asia Timur dan Tenggara.

Sejarah Perayaan Waisak di Indonesia Bermula dari Masa Kolonial
Bikkhu Dhammiko meyalakan pelita di pelataran replika stupa Borobudur dalam rangkaian puja bhakti detik-detik Waisak 2565 BE/2021 di vihara Wisma Vipassana Kusalacitta, Bekasi, Jawa Barat Rabu (26/5/2021). ANTARA FOTO/Paramayuda/rwa.

tirto.id - Tahun ini, perayaan Waisak dirayakan dua minggu setelah perayaan Idulfitri. Hari suci Waisak secara tradisi jatuh pada bulan kelima Vesakha pada bulan purnama. Bagi umat Buddha, Waisak adalah peringatan atas tiga peristiwa penting dalam kehidupan Sidharta Gotama: kelahiran, momen ketergugahan spiritual pada usia 35 tahun, dan wafatnya sang Buddha.

Sebelum periode kolonialisme Barat, Waisak menjadi ritual keagamaan Buddha yang hanya diselenggarakan secara tertutup di vihara-vihara. Lalu, pengaruh gerak modernitas pada akhir abad ke-19 membuatnya bertransformasi. Keberadaannya sebagai perayaan keagamaan modern lahir dari pergulatan identitas, kontestasi keagamaan, dan nasionalisme pada periode kolonial di Asia Selatan, terutama Sri Lanka.

Pada abad ke-19, Sri Lanka atau Ceylon berada di bawah kolonialisme Inggris. Selain kolonialisme, masyarakat Sri Lanka yang sebagian besar adalah buddhis juga merasa terancam oleh misi Kristen yang masif kala itu. Mereka makin merasa didominasi saat Pemerintah Kolonial Inggris menetapkan Natal sebagai hari libur.

Sebagai bentuk “perlawanan” atas dominasi itu, para penggerak kebangkitan buddhis Sri Lanka lantas mengajukan agar hari raya Waisak juga diakui secara resmi. Langkah ini sekaligus mendorong Waisak menjadi perayaan keagamaan modern.

Pada 1885, Buddhist Defence Committee yang dibentuk oleh Henry Steel Olcott—seorang teosof Barat yang kemudian menjadi Buddhis—bersama dengan tokoh-tokoh revivalis buddhis Sri Lanka mengajukan Waisak agar diakui kesetaraannya dengan Natal dan sekaligus ditetapkan sebagai hari libur.

Gubernur Sri Lanka Sir Arthur Charles Hamilton-Gordon (1883-1890) lalu menyetujui proposal tersebut dan mengakui Waisak sebagai hari libur. Perayaan Waisak pertama yang secara resmi diakui oleh Pemerintah Kolonial Inggris digelar pada 18 April 1885. Sejak itu, kaum penggerak dan revivalis buddhis Sri Lanka menjadikan Waisak sebagai spirit baru untuk mempersatukan kaum buddhis dunia.

Menyebar ke Asia Timur dan Tenggara

Pada awal abad ke-20, wilayah Asia lainnya juga mulai menggelar perayaan Waisak. Menurut pengkaji Buddhisme dan budaya Korea Hwansoo Kim, umat Buddha di Korea telah menggelar perayaan Waisak sejak 1928. Kim dalam studinya yang terbit dalam Journal of Korean Religions (2011) menyebut perayaan Waisak sebagai “Natalnya buddhis”.

Kim juga menegaskan bahwa perayaan Waisak di Korea merupakan konstruksi keagamaan baru yang lahir dari resistensi para buddhis di Asia Timur, terutama Jepang dan Korea, terhadap desakan modernitas, nasionalisme, kristenisasi, dan kolonialisme Barat.

Peneliti Buddhisme di Jepang Judith Snodgrass juga mengatakan hal yang sama dengan Kim terkait konteks di Jepang. Snodgrass dalam naskah ilmiahnya yang terbit di Journal of Religious History (2009) menyebut masyarakat buddhis Jepang pertama kali menggelar perayaan Waisak pada dekade 1920-an. Mereka mengubah upacara tradisional buddhis Hanamatsuri menjadi perayaan Waisak atau Festival Lumbini.

Menurut Snodgrass, perubahan itu adalah bentuk representasi modernitas buddhis di Jepang.

Sementara itu, di wilayah Asia Tenggara seperti Thailand, peralihan ruang dari domain monastik ke publik menjadi penanda terbentuknya modernitas agama Buddha. Di Singapura pada 1924, Waisak secara resmi diakui sebagai tahun barunya para penganut Buddha. Semula, ia diperuntukkan sebagai hari nasional bagi buddhis Sinhala yang mukim di wilayah Singapura.

Perayaan Waisak di Indonesia

Penelitian disertasi saya tentang pembentukan agama Buddha di masa Indonesia modern (1900-1959) menguak bahwa eksistensi perayaan Waisak di Indonesia sangat dipengaruhi oleh koneksi buddhis transnasional pada masa kolonial.

Pada awal abad ke-20, agama Buddha dipelajari dan menjadi referensi spiritual di kepulauan Indonesia. Seiring dengan proses itu, agen-agen buddhis transnasional memperkenalkan pula perayaan Waisak sebagai salah satu bentuk praktik spiritual baru di Jawa.

Theosophical Society adalah salah satu agen penting yang memperkenalkan praktik dan pengetahuan baru tentang Buddhisme di Indonesia kolonial. Majalah Theosofie in Nederlandsch-Indies (April 1929) menyebut Loji Teosofi Giri Lojo di Bandung mengadakan upacara Waisak untuk pertama kalinya pada 1929.

Lalu, selama dekade 1930-an, pemberitaan tentang upacara Waisak tak pernah absen mengisi lembar surat kabar. Acaranya sendiri dihadiri oleh orang-orang lintas bangsa, antara lain orang Eropa, bumiputra, dan Tionghoa.

Selain diadakan di loji teosofi, Waisak juga diadakan di candi-candi Buddha. Dua di antaranya adalah Candi Mendut dan Candi Borobudur. Penggagas pelaksanaan upacara Waisak di candi itu adalah seorang teosof bernama L. Mangelaar Meertens.

Perayaan Waisak di Candi Mendut pertama kali diadakan pada 1929, sementara perayaan di Borobudur diadakan setahun setelahnya. Meertens menggagas perayaan Waisak di kedua candi itu dengan maksud untuk menghidupkan kembali nilai-nilai spiritualnya seperti di masa lalu.

Oei Thiam An dalam reportasenya yang terbit di majalah Sam Kauw Gwat Po (Juni 1938) menyebut perayaan Waisak 1938 di Borobudur dihadiri sekitar 150 orang. Mereka datang dari berbagai daerah, seperti Yogyakarta, Magelang, Temanggung, dan Grabag.

Oei Thiam An juga menggambarkan suasana upacara Waisak saat itu berjalan dengan khidmat dan tenang. Udara di sekitar pusat candi dipenuhi wangi dupa dan bunga dari sebuah altar kecil. Para peserta ritual membaca kitab Buddha bersama dan mengakhiri acara itu dengan ceramah yang disampaikan oleh Mangoen Soekarso, seorang guru Taman Siswa.

Ritual Waisak di Borobudur kemudian terpaksa berhenti digelar pada 1940, ketika Jerman menginvasi Belanda. Buntut invasi itu membuat Pemerintah Kolonial Hindia Belanda tidak memberikan izin mengadakan Waisak di candi. Perayaan Waisak di Borobudur kembali diadakan beberapa tahun setelah Revolusi Kemerdekaan Indonesia berakhir.

Infografik Sejarah Perayaan Waisak

Infografik Sejarah Perayaan Waisak. tirto.id/Fuad

Waisak di Kelenteng

Selain loji dan candi, perayaan Waisak pada awal abad ke-20 juga lazim digelar di kelenteng.

Sebelum adanya konsep wihara sebagai tempat ibadah umat Buddha di Indonesia—yang mulai ada sekira dekade 1950-an—kelenteng-kelenteng Buddha menjadi tempat sentral untuk kegiatan komunitas buddhis. Salah satu yang berperan penting adalah Kelenteng Kwan Im Tong di Prinselaan Batavia.

Kwee Tek Hoay dalam sebuah tulisan yang dimuat majalah Moestika Dharma (Mei 1936) menyebut organisasi Batavia Buddhist Association pada 1934 bekerja sama dengan Sam Kauw Hwee (organisasi Tiga Agama) dan Java Buddhist Association untuk mengadakan Waisak di Kelenteng Kwan Im Tong.

Kwee Tek Hoay juga menulis upacara Waisak juga rutin diadakan setiap tahun di beberapa kelenteng buddhis lainnya. Bahkan, majalah Sam Kauw Gwat Po mengabarkan perayaan Waisak juga dihelat di kelenteng-kelenteng buddhis di Manado, Sulawesi, dan di Banjarmasin, Kalimantan.

Perayaan Waisak yang diadakan pada 1936 sangat krusial dalam sejarah agama Buddha di Indonesia modern. Pasalnya, dalam acara Waisak di Kelenteng Kwan Im Tong kala itu, Pimpinan Java Buddhist Association Ernest E. Power memperkenalkan satu set kitab Pali kanon. Dalam tradisi Buddhisme Theravada, kitab Pali digunakan sebagai affirmasi penganut agama Buddha.

Ernest E. Power memimpin pembacaan kitab Pali kanon Trisarana (Tiga Perlindungan: Buddha, Dhamma, dan Sangha) dan Pancasila buddhis (lima disiplin moral, antara lain: tidak membunuh, tidak mencuri, tidak berbuat asusila, tidak berbohong dan tidak mengkonsumsi makanan dan minuman yang memabukkan) yang diikuti oleh sekitar 200 orang.

Teks Pali itu kemudian dibacakan terjemahannya dalam bahasa Jawa, Mandarin, Belanda dan Malayu—disesuaikan dengan ragam latar belakang orang-orang yang hadir pada acara tersebut.

Lebih lanjut, peristiwa ini adalah momen munculnya komunitas buddhis yang secara resmi menyatakan diri untuk mengikuti ajaran Buddha di Indonesia modern. Praktik yang sama juga dilakukan oleh orang-orang Barat yang menjadi new convert buddhis di Sri Lanka pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.

Sebagaimana perayaan Waisak di candi, perayaan di kelenteng pada masa kolonial terpaksa berhenti karena perang. Perayaan Waisak terakhir di kelenteng pada masa kolonial tercatat diadakan pada 1941.

==========

Yulianti adalah Alumnus S3 Sejarah Universitas Leiden (2020). Disertasinya berjudul The Making of Buddhism in Modern Indonesia: South and Southeast Asian Networks and Agencies, 1900-1959. Dia menekuni studi sejarah agama Buddha transnasional di Indonesia, khususnya pada periode kolonial hingga kontemporer.

Baca juga artikel terkait WAISAK atau tulisan lainnya dari Yulianti

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Yulianti
Editor: Fadrik Aziz Firdausi