Menuju konten utama
Konflik Palestina-Israel

Sejarah Perang Enam Hari: Israel vs 3 Negara Arab di Area Palestina

Sejarah Perang Enam Hari tahun 1967 melibatkan Israel di wilayah Palestina melawan tiga negara Arab, yakni Mesir, Suriah, dan Yordania.

Sejarah Perang Enam Hari: Israel vs 3 Negara Arab di Area Palestina
Seorang prajurit Israel berdiri di atas sebuah tank saat yang lain turun dari tank dekat perbatasan Suriah di sisi Israel di Dataran Tinggi Golan yang diduduki oleh Israel, Rabu (9/5/2018). ANTARA FOTO/REUTERS/Amir Cohen

tirto.id - Salah satu peristiwa sejarah paling penting yang terjadi di wilayah Palestina adalah Perang Enam Hari atau Perang Arab-Israel tahun 1967. Pertempuran ini melibatkan Israel melawan tiga negara Arab, yakni Mesir, Suriah, dan Yordania.

Dalam konflik tersebut, Israel menarik perhatian dunia karena memenangkan pertempuran. Kendati Perang Arab-Israel hanya berlangsung selama enam hari, yaitu 5-10 Juni 1967, namun kekalahan Arab atas Israel mengubah wajah geopolitik Timur Tengah selamanya.

Saat itu, sebagian wilayah Palestina sekarang dikuasai Mesir dan Yordania. Tanggal 28 Mei 1964, Palestine Liberation Organization (PLO) atau Organisasi Pembebasan Palestina muncul. Inilah entitas yang mempelopori upaya pengakuan kedaulatan terhadap Palestina sebagai negara berdaulat.

Sebelum pecahnya Perang Enam Hari pada 1967 itu, Jalur Gaza berada di bawah pendudukan Mesir, sedangkan Tepi Barat (West Bank) dan Yerusalem Timur merupakan milik Yordania.

Latar Belakang Perang Enam Hari

Sejak Israel menyatakan kemerdekaannya pada 1948, hubungan negara zionis ini dengan negara-negara tetangganya tidak kunjung membaik.

Tahun 1950, Mesir menutup kawasan Selat Tiran yang sangat perannya sangat vital bagi Israel. Kapal-kapal Israel harus melewati Selat Tiran jika tidak ingin memutari Afrika Selatan untuk mencapai benua Afrika dan Timur Jauh (Asia Tenggara).

Pada 1956, Israel menyerang Semenanjung Sinai dalam upaya membuka Selat Tiran. Israel berhasil memaksa Mesir membuka Selat Tiran dan menjamin keamanan kapal-kapal mereka untuk bisa melewati perairan tersebut.

Sebagai penengah konflik, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menempatkan pasukan darurat di sepanjang tapal batas antara Israel dan Mesir untuk mencegah terjadinya perang antara kedua negara tersebut.

Namun, benih-benih konflik antara Israel dan Mesir tidak juga mereda. Dikutip dari History, Israel juga terlibat ketegangan dengan Suriah. Hal itu disebabkan karena Suriah melindungi pasukan gerilya Palestina yang menyerang perbatasan Israel pada pertengahan 1960-an.

Sebagai balasan, Israel menyerang balik yang berpuncak pada April 1967. Terjadi perang udara dan serangan meriam antara Israel kontra Suriah. Pertempuran kecil ini dimenangkan oleh Israel dan berakhir dengan kehancuran 6 jet Suriah.

Konflik Israel dengan negara-negara Arab semakin panas. Terlebih kala itu masih dalam situasi Perang Dingin antara Uni Soviet melawan Amerika Serikat (AS). Uni Soviet mendukung Mesir, sementara AS ada di belakang Israel.

Pada pertengahan 1967, Mesir menerima informasi dari intelijen Uni Soviet bahwa tentara Israel sudah menuju perbatasan utara Suriah untuk menyiapkan serangan. Rupanya, itu informasi palsu namun Mesir sudah terpantik.

Sebagai bentuk dukungan pada Suriah, Presiden Mesir kala itu, Gamal Abdel Nasser, mengerahkan pasukan menuju Semenanjung Sinai. Setelah tiba di wilayah tersebut, barulah Mesir menyadari bahwa informasi dari intelijen Uni Soviet tersebut keliru.

Kendati demikian, Mesir tetap mempertahankan pasukannya di Semenanjung Sinai dan mengusir pasukan darurat PBB yang menjaga perbatasan antara Mesir dan Israel.

Bagi pemerintah Israel, tindakan Mesir mengusir pasukan PBB itu adalah aksi casus belli, yaitu upaya untuk memprovokasi perang.

Terlebih, Mesir melarang (lagi) lalu-lintas kapal Israel melewati Selat Tiran. Di saat itu juga, Gamal Abdel Nasser menghubungi Raja Yordania untuk meminta bantuan pertahanan.

Perang Fase I: Israel vs Mesir

Ketika situasi di kawasan Semenanjung Sinai kian genting, Presiden AS, Lyndon B. Johnson, meminta dukungan internasional untuk mendesak Mesir agar membuka kembali Selat Tiran yang merupakan jalur penting industri laut bagi Israel.

Belum sempat keputusan diambil, Israel sudah menyerang Semenanjung Sinai dengan tajuk Operasi Fokus. Pada 5 Juni 1967, tentara udara Israel yang diperkuat 200 pesawat tempur menggempur Mesir dari sisi utara.

Pihak Mesir tidak menduga akan menerima serangan mendadak dari Israel pada hari itu. Akibatnya, 90 persen kekuatan tempur Mesir hancur, termasuk 18 pangkalan udaranya. Pada saat bersamaan, Israel meluaskan jangkauan serangnya hingga ke Jalur Gaza dan Semenanjung Sinai.

Keadaan ini menjadikan Israel mengungguli Mesir. Di pengujung hari tanggal 5 Juni 1967, Israel menguasai penuh jalur tempur udara di kawasan tersebut.

Merasa tidak mampu bertahan atas serangan Israel, Presiden Gamal Abdel Nasser memerintahkan pasukannya untuk mundur dari Semenanjung Sinai.

Israel terus memburu dan menghancurkan pasukan Mesir yang sedang ditarik mundur. Akibatnya, Semenanjung Sinai pun lepas dan dikuasai Israel.

Perang Fase II: Israel vs Yordania

Gamal Abdel Nasser membujuk Raja Yordania, Hussein I, agar menyerang Israel. Presiden Mesir itu mengatakan kepada Hussein I bahwa pihaknya berhasil mematahkan serangan Israel.

Yordania menerima informasi itu mentah-mentah dan menyiapkan serangan terhadap Israel. Tentara Yordania kemudian menembaki Israel dengan meriam dari Yerusalem.

Israel membalas dengan serbuan yang lebih mematikan sehingga berhasil merebut Yerusalem dan Tepi Barat. Tidak hanya itu, Israel juga meluaskan serangannya dan merebut Kota Tua Yerusalem yang mencakup kompleks Masjid Al-Aqsa pada 7 juni 1967.

Perang Fase III: Israel vs Suriah

Lantaran Suriah turut memberikan dukungan pada Mesir dan Yordania, Israel pun melancarkan serangan darat di perbatasan timur laut Suriah. Pada 9 Juni 1967, tank dan pasukan infanteri Israel menjebol paksa Dataran Tinggi Golan milik Suriah.

Keesokan harinya, tentara Israel berhasil menguasai Dataran Tinggi Golan dan mengalahkan pasukan Suriah.

Akhir & Dampak Perang Enam Hari 1967

Melihat situasi semakin gawat, PBB memediasi gencatan senjata pada 10 Juni 1967. Sehari setelahnya, kesepakatan damai ditandatangani antara Israel dan tiga negara Arab, yakni Mesir, Yordania, dan Suriah.

Sebenarnya, gencatan senjata sudah diserukan PBB sejak 6 atau 7 Juni 1967, namun diplomat Israel kabarnya meminta bantuan AS agar gencatan senjata ditunda. Tujuannya, agar Israel bisa punya waktu lebih untuk “menyelesaikan pekerjaan”.

Kekalahan negara-negara Arab dalam Perang Enam Hari menjadikan Israel berhasil merebut Jalur Gaza dan Semenanjung Sinai dari Mesir, Wilayah Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur dari Yordania, dan Dataran Tinggi Golan dari Suriah.

Akibat perang itu juga, sekitar 300.000 warga Palestina harus mengungsi dari daerah Tepi Barat ke Yordania. Pengungsian ini nantinya berujung pada Pembantaian Sabra dan Shatila yang menewaskan puluhan ribu warga Palestina di Yordania pada 1982.

Selain harus merelakan wilayahnya, kekalahan Arab juga menelan sekitar 20.000 korban dari Mesir, Suriah, dan Yordania. Sementara itu, di pihak Israel hanya gugur sekitar 800 orang saja.

Presiden Mesir, Gamal Abdel Nasser, mengundurkan diri akibat kekalahan itu. Namun, ia kembali naik jadi presiden setelah rakyat Mesir berdemonstrasi besar-besaran menolak pengunduran diri Gamal Abdel Nasser.

Di sisi lain, rakyat Israel merayakan kemenangan dengan gegap-gempita. Hanya dalam durasi 132 jam saja selama Perang Enam Hari itu, wilayah Israel bertambah menjadi tiga kali lipat. Israel juga diakui sebagai salah satu negara dengan kekuatan tempur paling tangguh di Timur Tengah.

Setelah negosiasi panjang, pada 1982, Semenanjung Sinai dikembalikan kepada Mesir. Imbalannya, Mesir harus mengakui penuh secara diplomatik atas berdirinya negara Israel.

Sementara itu, Mesir dan Yordania menyerahkan klaim Jalur Gaza dan Tepi Barat kepada Palestina. Di sisi lain, Dataran Golan hingga kini masih menjadi rebutan antara Israel dan Suriah.

Baca juga artikel terkait KONFLIK ISRAEL PALESTINA atau tulisan lainnya dari Abdul Hadi

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Abdul Hadi
Penulis: Abdul Hadi
Editor: Iswara N Raditya