Menuju konten utama
21 April 1960

Sejarah Pemindahan Ibu Kota Baru Brasil yang Tidak Sesuai Harapan

Pemindahan ibu kota Brasil dari Rio de Janeiro ke Brasilia pada tahun 1960 justru menimbulkan masalah baru yang kian pelik.

Sejarah Pemindahan Ibu Kota Baru Brasil yang Tidak Sesuai Harapan
Header Mozaik Brasilia yang tidak Berhasil. tirto.idFuad

tirto.id - Brasil adalah negara pertama di Amerika Latin yang memindahkan ibu kotanya pada tahun 1960. Hal ini tidak lepas dari figur Presiden Juscelino Kubitschek de Oliveira (menjabat 1956-1961).

Dari awal menjabat, menurut Boris Fausto dan Sergio Fausto dalam A Consice History of Brazil (2014), Kubitschek berambisi menciptakan modernisasi negara yang bercirikan stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi. Itu semua dilakukan di bawah motto resmi yang sangat ambisius: “Fifty Years in Five”, yakni percepatan pembangunan untuk 50 tahun ke depan yang harus dilaksanakan selama lima tahun masa kepresidenannya.

Atas dasar inilah terjadi industrialisasi dan pembangunan infrastruktur besar-besaran, yang kemudian menyerempet ke wacana pembangunan ibu kota negara baru untuk menggantikan Rio de Janeiro.

Ide pemindahan ibu kota sebetulnya bukan hal baru. Enam dekade sebelum Kubitschek menjadi presiden, konstitusi Brasil tahun 1891 telah memberikan legitimasi untuk mengubah ibu kota negara seandainya diperlukan suatu saat nanti. Para elite telah membayangkan ibu kota baru yang memiliki tata ruang modern dengan arsitektur khas Brasil, bukan yang dirancang oleh penjajah.

Namun, selama puluhan tahun tidak ada satupun pemimpin yang menggulirkan wacana dan mengeksekusi relokasi ibu kota. Hanya Kubitschek yang memiliki kemauan politik dan berani menjalankan ide ini. Itupun karena didorong oleh permasalahan ruwet yang melanda Rio de Janeiro.

Rio de Janeiro sudah menjadi ibu kota Brasil sejak wilayah itu masih dikuasai Portugis, tepatnya tahun 1763. Posisi ini terus berlangsung selama ratusan tahun dan telah menjadi magnet kuat bagi masyarakat Brasil. Akibatnya, sebagaimana dipaparkan Preston E. James dan Speridiao Fassol dalam “The Problem of Brazil’s Capital City” (1956), keadaan Rio pun penuh sesak.

Kemacetan menjadi pemandangan sehari-hari. Pembangunan fisik tidak dapat dilakukan lagi karena lahannya sudah minim. Ketimpangan sosial dan ekonomi membesar, tidak hanya di dalam kota, tetapi juga antara Rio dengan daerah lain. Kondisi yang lebih maju dan sejahtera masih terfokus pada daerah di bagian pesisir. Sementara di daerah pedalaman cukup buruk. Maka itu, memindahkan ibu kota dianggap jalan terbaik untuk mengurangi permasalahan di Rio dan Brasil pada umumnya.

Pemerintah Brasil menginginkan lokasi ibu kota baru yang secara geografis berada di tengah-tengah negara, bukan di tenggara sebagaimana pusat aktivitas Brasil pada umumnya. Mereka percaya posisi itu dapat merangsang pertumbuhan ekonomi di daerah-daerah lain dan mengurangi dominasi kota-kota besar seperti Rio de Janeiro dan Sao Paulo. Lalu dipilihlah lokasi di wilayah pedalaman Brasil yang kemudian diberi nama Brasilia.

Brasilia diproyeksikan sebagai kota impian yang membawa perubahan dan modernitas. Para arsitek berupaya merancang kota agar terlihat modern, dan yang terpenting semua kelas dapat hidup berdampingan. Hunian akan dibangun untuk menghindari terciptanya kawasan kumuh. Dan tidak ada lagi pembagian kelas di berbagai sektor kehidupan. Selain itu, Brasilia juga dirancang untuk mewujudkan cita-cita pemberantasan rasisme, kemiskinan, kesenjangan, dan korupsi.

Pada September 1956, pembangunan Brasilia disetujui kongres. Karena harus selesai dalam waktu lima tahun, pengerjaan pun dilakukan tergesa-gesa. Dari sini dimulailah babak baru dalam dinamika politik dan ekonomi Brasil yang membawa permasalahan pelik.

Pinjaman Asing dan Nasib Orang Miskin

Dalam membangun ibu kota baru, pemerintah Brasil mengandalkan pinjaman asing dan penghematan anggaran di berbagai sektor. Hal ini karena anggaran negara mengalami defisit akibat kemerosotan ekonomi sejak tahun 1950-an. Kondisi ini menjadi masalah pertama yang muncul.

Menurut Jared Kelly dalam “The City Sprouted: The Rise of Brasilia” (2020) keputusan pembangunan Brasilia memperparah krisis ekonomi Brazil. Inflasi terus meningkat setiap tahunnya yang disertai membengkaknya biaya hidup masyarakat secara keseluruhan. Pertumbuhan dan pembangunan ekonomi kota-kota besar di Brazil juga mandek. Penyebabnya, aliran pendanaan dari pemerintah berkurang karena sebagian besar anggaran difokuskan untuk membangun ibu kota baru.

Tak hanya itu, berakhirnya pembangunan yang sekaligus menandai beroperasinya Brasilia sebagai ibu kota pada 21 April 1960, tepat hari ini 62 tahun lalu, justru membuat berbagai masalah semakin bermunculan pada beberapa tahun setelahnya. Pembangunan ibu kota baru rupanya tidak otomatis mewujudkan pembangunan yang lebih adil dan menyelesaikan masalah. Akibatnya banyak pihak yang mempertanyakan kembali keberhasilan Brasilia sebagai kota impian yang melambangkan cita-cita modernitas negara.

Infografik Mozaik Brasilia yang tidak Berhasil

Infografik Mozaik Brasilia yang tidak Berhasil. tirto.id/Fuad

Masih melansir riset Jared Kelly, karena salah memahami akar permasalahan, pemerintah Brasil gagal mewujudkan kondisi egaliter di tengah masyarakat Brasilia. Permukiman yang disediakan negara mayoritas dimiliki oleh kelompok kelas menengah ke atas. Sementara masyarakat menengah ke bawah tetap tidak memiliki kuasa atas hunian yang layak.

Mereka, orang-orang miskin itu, terpaksa bolak-balik dari kota-kota satelit. Atau mereka tinggal di pinggiran kota hingga lagi-lagi menghasilkan permukiman kumuh yang disebut favela. Keberadaan favela kelak menimbulkan kemiskinan ekstrem yang mengelilingi Brasilia. Pemerintah tidak memberikan solusi yang baik dan hanya memindahkan wilayah permukiman kumuh dari Rio ke Brasilia.

Menurut sosiolog Sulfikar Amin di Media Indonesia, kehadiran desain modern di Brasilia justru menghilangkan ruang-ruang sosial yang merupakan akar budaya rakyat Brasil sebagai bangsa majemuk.

“Brasilia lalu menjadi kota mati bagi kebudayaan, nilai, dan tradisi masyarakat yang semestinya menjadi denyut kehidupan ibu kota. Dia berdiri tidak lebih sebagai kumpulan gedung-gedung pemerintahan yang miskin imajinasi dan fakir kehidupan publik,” tulisnya.

Sulfikar menambahkan, kehadiran Brasilia tidak membuat pertumbuhan ekonomi Brazil mengalami pemerataan secara signifikan. Ia yang mengutip riset ekonom muda Davi Bhering Gusmao menulis bahwa pertumbuhan ekonomi Brazil masih dikuasai oleh negara bagian pesisir di tenggara, seperti Rio de Janeiro, Amazonas, dan Sao Paulo. Sedangkan di negara bagian utara atau selatan kondisinya masih terpinggirkan.

Kasus Brasilia, seperti dicatat Jared Kelly, harus menjadi pembelajaran penting bagi negara lain yang ingin membangun ibu kota baru.

Baca juga artikel terkait IBU KOTA BARU atau tulisan lainnya dari Muhammad Fakhriansyah

tirto.id - Politik
Kontributor: Muhammad Fakhriansyah
Penulis: Muhammad Fakhriansyah
Editor: Irfan Teguh Pribadi