Menuju konten utama
Sejarah Indonesia

Sejarah Pemberontakan Nambi vs Majapahit: Mati karena Fitnah Keji

Sejarah mencatat, Mahapatih pertama Kerajaan Majapahit, Nambi, dituduh merencanakan pemberontakan sehingga harus dihabisi.

Sejarah Pemberontakan Nambi vs Majapahit: Mati karena Fitnah Keji
Lambang Majapahit. FOTO/Wikipedia

tirto.id - Pemberontakan Nambi seharusnya tidak pernah terjadi. Sejarah mencatat, rakryan patih alias perdana menteri atau mahapatih pertama Kerajaan Majapahit ini mati karena fitnah keji. Nambi dituduh merencanakan pemberontakan sehingga harus dihabisi.

Nambi adalah orang kepercayaan Raden Wijaya, sang raja pertama Majapahit. Bersama sosok-sosok sentral lainnya termasuk Arya Wiraraja, Ranggalawe, Kebo Anabrang, dan Lembu Sora, Nambi setia mengiringi perjuangan Raden Wijaya merintis Kerajaan Majapahit yang dideklarasikan pada 1293 Masehi.

Raden Wijaya merupakan menantu Kertanegara, Raja Singasari terakhir yang tewas lantaran pemberontakan Jayakatwang dari Gelang-gelang (Madiun) pada 1293 Masehi. Dibantu Nambi dan kawan-kawan, Raden Wijaya membalaskan dendam sang mertua.

Sunoto dalam Menuju Filsafat Indonesia: Negara-negara di Jawa Sebelum Proklamasi Kemerdekaan (1983) menyebutkan, Kertanegara jatuh oleh Jayakatwang, selanjutnya Jayakatwang dijatuhkan oleh Raden Wijaya.

Setelah itu, Raden Wijaya mendeklarasikan berdirinya Kerajaan Majapahit di tepi Sungai Brantas (di perbatasan Sidoarjo dan Mojokerto) serta menjadi raja pertama dengan gelar Kertarajasa Jayawardhana (1293-1309).

Atas peran pentingnya, Raden Wijaya kemudian menunjuk Nambi untuk menempati jabatan pemerintahan tertinggi sebagai rakryan patih (mahapatih) atau perdana menteri Kerajaan Majapahit yang pertama.

Bukan tanpa alasan Raden Wijaya memilih Nambi sebagai perdana menteri. Di mata Raden Wijaya, Nambi adalah sosok yang komplit: tangkas dalam pertarungan, juga cerdas dalam urusan pemerintahan.

Meskipun demikian, penunjukan Nambi sebagai rakryan patih nantinya memantik persengketaan dengan Ranggalawe yang berujung pada pertumpahan darah internal pertama dalam sejarah Kerajaan Majapahit.

Ada sosok berpengaruh bernama Dyah Halayuda alias Mahapati dalam rangkaian pergolakan yang menerpa Majapahit. Hayaluda adalah sepupur Raden Wijaya.

Halayuda yang berambisi menjadi perdana menteri digambarkan sebagai tokoh yang licik dan suka mengadu-domba sehingga mengakibatkan kericuhan di lingkungan kerajaan, termasuk dalam peristiwa pemberontakan Ranggalawe maupun Nambi.

Fitnah Keji Mahapati

Raden Wijaya wafat tahun 1309. Penerus singgasana Majapahit adalah sang putra mahkota, Jayanagara (1309-1328). Di masa pemerintahan raja ke-2 Majapahit ini, pergolakan yang muncul semakin sering, bahkan dari dalam lingkaran kekuasaan sendiri.

Pengaruh Halayuda menjadi semakin krusial lantaran karakter Jayanagara yang tidak sekuat ayahnya. Nama asli Jayanagara adalah Kalagemet. Kitab Pararaton menafsirkan Kalagemet dengan olok-olok yang berarti “lemah” atau “jahat”.

Tragedi Nambi yang kemudian dituding sebagai pemberontakan terjadi pada 1316 Masehi. Baik Nagarakertagama maupun Pararaton menyinggung perihal peristiwa berdarah ini, bahkan dijabarkan lebih lengkap dalam Kidung Sorandaka.

Rahadi Boedisetio dalam Bandjir Darah di Madjapahit (1966) menyebut bahwa peristiwa yang menimpa Nambi dan para pengikutnya di Lamajang (Lumajang) termasuk gerakan pergolakan terbesar dalam sejarah Kerajaan Majapahit.

Tahun 1316 itu, Nambi meminta izin untuk pergi ke Lamajang karena di sana ayahnya sakit keras.

Mengenai siapa ayah Nambi, terdapat beberapa versi yang berbeda. Pararaton dan Kidung Harsawijaya menyebut ayahanda Nambi adalah Arya Wiraraja yang berarti Nambi adalah saudara Ranggalawe.

Sementara Kidung Sorandaka mencatat bahwa ayah Nambi bernama Pranaraja. Temuan ini memunculkan dugaan bahwa Wiraraja dan Pranaraja adalah orang yang sama, meskipun belum dapat dipastikan kebenarannya.

Slamet Muljana dalam Menuju Puncak Kemegahan: Sejarah Kerajaan Majapahit (2012) tetap menyimpulkan bahwa Wiraraja dan Pranaraja merupakan dua orang yang berbeda. Wiraraja adalah ayah Ranggalawe, sedangkan Pranaraja ayahanda Nambi.

Hal ini dikuatkan dengan penemuan Prasasti Kudadu berangka tahun 1294 yang mengungkapkan bahwa Wiraraja dan Pranaraja adalah tokoh yang berbeda meskipun keduanya sama-sama punya jabatan penting di Kerajaan Singasari pada era Kertanegara dalam periode yang sama.

Cerita Nambi yang meminta izin ke Lamajang juga terkait dengan teori bahwa ayah Nambi adalah Pranaraja, bukan Arya Wiraraja. Dikisahkan, Pranaraja yang berasal dari Daha (Kediri) bermaksud ke Lamajang untuk menemui kawan lamanya, yakni Arya Wiraraja, ayah Ranggalawe.

Tiba di Lamajang, Pranaraja yang memang sudah lanjut usia jatuh sakit, dan kabar tersebut sampai ke Majapahit. Maka, ditemani oleh beberapa pejabat Majapahit dan pengikutnya, Nambi bergegas ke Lamajang untuk mengetahui kondisi ayah.

Akhir Tragis Riwayat Nambi

Nambi terlambat. Ayahnya ternyata sudah meninggal dunia saat ia sampai di Lamajang. Kabar duka ini pun segera sampai ke Majapahit. Halayuda atas nama kerajaan datang melayat ke Lamajang untuk menyampaikan ucapan belasungkawa dari Raja Jayanagara.

Halayuda menyarankan kepada Nambi untuk memperpanjang masa izinnya agar bisa mengurus kematian sang ayah sembari menenangkan diri sebelum bekerja kembali. Nambi setuju dan berterimakasih sudah diberi kelonggaran.

Balik ke Majapahit, Halayuda mengatakan hal yang berbeda kepada Jayanagara. Nambi disebut menolak kembali ke ibu kota dan dugaan rencana pemberontakan pun dibisikkan oleh Halayuda.

Prabu Jayanagara terhasut dan murka. Dicatat Pararaton, Jayanagara memerintahkan Halayuda memimpin pasukan ke Lamajang untuk menumpas Nambi. Sementara menurut Nagarakertagama, komandan tertinggi operasi militer tersebut adalah Jayanagara sendiri.

Di Lamajang, Nambi sama sekali tidak menyadari apa yang bakal terjadi. Ketika mendapatkan kabar bahwa pasukan Majapahit bakal datang menyerang, Nambi jelas terkejut.

Nambi sempat mendirikan benteng pertahanan di dua titik, yakni di Gending dan Pejarakan. Namun, pasukan Majapahit yang cukup besar mampu menghancurkan kedua benteng tersebut.

Nambi dan para pengikutnya bertahan habis-habisan, namun akhirnya tidak sanggup lagi menahan terjangan pasukan Majapahit.

Menurut Pararaton, Nambi gugur di dalam benteng akibat dikeroyok oleh para panglima perang Majapahit. Begitu pula dengan seluruh pengikut dan keluarganya.

Lantas, siapa pengganti posisi Nambi di Majapahit?

Dikutip dari Konflik Berdarah di Tanah Jawa: Kisah Para Pemberontak (2008) yang ditulis Raka Revolta, lempengan tembaga Sidateka bertarikh tahun saka 1245 atau 1323 Masehi menyatakan bahwa yang menjadi Mahapatih Majapahit adalah Dyah Halayuda.

Runtuhnya Lamajang dikisahkan oleh Pararaton dengan menyebut tahun saka Naganahutwulan, sedangkan Negarakertagama mengatakan tahun Muktigunapaksarupa. Dua versi ini menunjukkan tahun yang sama, yakni 1238 Saka atau 1316 Masehi.

Di tahun 1316 ini pula, Arya Wiraraja sang penguasa Lamajang meninggal dunia.

Tragedi yang menimpa Nambi sekaligus kejatuhan Lamajang ini nantinya memantik pergolakan di sejumlah kota-kota pelabuhan milik Majapahit, termasuk Pasadeng (Sadeng) dan Patukangan (Ketha) yang merupakan wilayah Lamajang Tigang Juru yang dulu dirintis oleh Arya Wiraraja.

Kematian Nambi nantinya terbalas melalui pemberontakan Sadeng dan Ketha yang sempat membuat Majapahit goyang meskipun tetap tampil sebagai pemenangnya.

Baca juga artikel terkait SEJARAH KERAJAAN MAJAPAHIT atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Agung DH