Menuju konten utama
Sejarah Indonesia

Sejarah Pemberontakan DI-TII Ibnu Hadjar: Alasan, Tujuan, & Akhir

Sejarah pemberontakan DI/TII Kalimantan Selatan dimotori Ibnu Hadjar dan bagian dari gerakan Negara Islam Indonesia (NII) pimpinan Kartosoewirjo.

Sejarah Pemberontakan DI-TII Ibnu Hadjar: Alasan, Tujuan, & Akhir
Ilustrasi Ibnu Hadjar. tirto.id/Rangga

tirto.id - Sejarah perlawanan Darul Islam (DI)/Tentara Islam Indonesia (TII) Ibnu Hadjar di Kalimantan Selatan terjadi sejak Oktober 1950 dan merupakan bagian dari gerakan Negara Islam Indonesia (NII) pimpinan Kartosoewirjo pada 1949. Apa alasan. tujuan, dan akhir pemberontakan DI/TII Ibnu Hadjar?

Sebelum melakukan perlawanan atau yang oleh pemerintah Indonesia dianggap pemberontakan, Ibnu Hadjar adalah seorang anggota tentara republik dengan pangkat letnan dua. Ia membelot dengan membentuk Kesatuan Rakyat yang Tertindas dan menyerang pos-pos militer Indonesia di Kalimantan Selatan pada Oktober 1950.

Ibnu Hadjar membawa Kesatuan Rakyat yang Tertindas (KRyT) bergabung bersama DI/TII Jawa Barat pimpinan Sekarmaji Maridjan Kartosoewirjo untuk membentuk NII. Ibnu Hadjar kemudian diangkat sebagai Panglima Angkatan Perang Tentara Islam (APTI) untuk wilayah Kalimantan.

Alasan Perlawanan Ibnu Hadjar

Latar belakang terjadinya gerakan DI/TII di Kalimantan Selatan yang dimotori oleh Ibnu Hadjar tidak terlepas dari pengakuan kedaulatan dari Belanda kepada Indonesia yang terjadi pada 27 Desember 1949.

Pengakuan kedaulatan itu merupakan hasil dari Konferensi Meja Bundar (KMB) yang digelar di Deen Haag, Belanda, sebelumnya. Hasil KMB memutuskan bahwa Indonesia akan menerapkan sistem negara serikat atau yang kemudian disebut dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS).

Selanjutnya, akan dibentuk Uni Indonesia-Belanda di bawah kekuasaan Kerajaan Belanda. Sebagian kalangan menilai keputusan ini bertentangan dengan cita-cita proklamasi kemerdekaan RI yang kemudian menyepakati bahwa Indonesia adalah negara kesatuan.

KMB juga mengatur pembubaran Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) yang dibentuk Belanda pada masa penjajahan atau sebelum Indonesia merdeka. Mantan anggota KNIL akan diseleksi untuk bergabung dengan Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) yang sebelumnya bernama Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Yang menjadi persoalan, KNIL dianggap sebagai musuh republik selama berlangsungnya perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia pada 1945 hingga 1949. Hal ini membuat orang Indonesia yang mantan anggota KNIL kesulitan untuk menjadi anggota APRIS.

Sejak tanggal 17 Agustus 1950, RIS dibubarkan dan Indonesia kembali menjadi negera kesatuan sehingga APRIS berganti nama menjadi Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI). Salah satu elemen penyusun APRI adalah Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI).

APRI menyeleksi ulang anggota-anggotanya, termasuk di Kalimantan Selatan. Banyak anggota ALRI Divisi IV Kalimantan Selatan yang dianggap tidak memenuhi syarat, juga para mantan prajurit KNIL yang dulu pernah bekerja untuk Belanda.

Sebaliknya, dikutip dari tulisan Petrik Matanasi dalam artikel berjudul "Kekecewaan Ibnu Hadjar, Sang Pemberontak", posisi-posisi penting justru diduduki oleh orang-orang dari luar Kalimantan, khususnya dari Jawa.

Dari sinilah kekecewaan Ibnu Hadjar bermula. Ibnu Hadjar akhirnya membentuk pasukan gerilya sendiri bernama Kesatuan Rakyat yang Tertindas. Kees van Dijk dalam Darul Islam: Sebuah Pemberontakan (1995) menyebutkan, Ibnu Hajar menjadi komandan satuan gerilya di Kandang, Hulu Sungai, Kalimantan Selatan.

Tujuan Perlawanan DI/TII Ibnu Hadjar

Penelitian Muhammad Iqbal bertajuk "Pemberontakan KRjT di Kalimantan Selatan (1950-1963): Sebuah Kajian Awal" yang terhimpun dalam Jurnal Khazanah (2018) menyebutkan, Kesatuan Rakyat yang Tertindas pimpinan Ibnu Hadjar bergabung dengan DI/TII Jawa Barat di bawah komando Kartosoewirdjo.

Oleh DI/TII Kartosoewirdjo, Ibnu Hadjar kemudian diangkat menjadi Panglima Angkatan Perang Tentara Islam (APTI) yang bertugas di wilayah Kalimantan. Pada Maret 1950, pasukan Ibnu Hadjar mulai menyerang pos tentara Indonesia.

Setelah penyerangan itu, pengikut Ibnu Hadjar bertambah menjadi 250 orang dan memiliki 50 pucuk senjata. Padahal, saat masih berpangkat letnan dua, anggota kesatuan yang dipimpin Ibnu Hadjar tidak lebih dari 50 orang.

APTI pimpinan Ibnu Hadjar yang merupakan bagian dari DI/TII terus melakukan penyerangan terhadap pos-pos militer Indonesia di Kalimantan Selatan. Situasi ini membuat TNI dan pemerintah bersiap untuk bertindak.

Upaya TNI untuk menghentikan Pemberontakan DI/TII Kalimantan Selatan yaitu menggunakan strategi diplomasi dan operasi militer. Diplomasi dilaksanakan pada Oktober 1950 saat Ibnu Hadjar masuk ke Kandangan, Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan.

Dikutip dari buku Sejarah yang disusun oleh M Habib Mustopo dan kawan-kawan (2006), dalam pertemuan tersebut, Ibnu Hadjar dan pasukannya diimbau untuk menyerahkan diri. Namun, upaya itu sepertinya tidak membuahkan hasil lantaran DI/TII Ibnu Hajar masih bertahan hingga beberapa tahun kemudian.

Akhir dan Penumpasan DI/TII Ibnu Hadjar

Angkatan perang Indonesia atau TNI melakukan operasi militer yang pertama pada 23 November 1959 yakni Operasi Delima yang terbagi atas Sektor A dan Sektor B. Operasi Delima dilakukan selama 15 hari. Beberapa anggota DI/TII Kalimantan Selatan tewas dalam peristiwa ini.

Target untuk menuntaskan gerakan DI/TTI di Kalimantan Selatan adalah sebelum tahun 1962. Maka, TNI segera menggelar operasi militer selanjutnya, yaitu Operasi Segi Tiga yang terdiri atas tiga sektor yaitu sektor A, Sektor B, dan Sektor C.

Fase pertama Operasi Segi Tiga dilaksanakan pada 10 Maret 1960. TNI menangkap 9 anggota DI/TII Kalimantan Selatan, menewaskan 12 orang, serta menyita 16 pucuk senjata dan beberapa dokumen penting.

TNI menemukan alasan mengapa kekuatan pasukan Ibnu Hadjar dapat bertahan lama di dalam hutan, yaitu dengan memanfaatkan warga yang keluar masuk hutan dan bertukar barang untuk bertahan hidup.

Maka, dikeluarkanlah larangan bagi penduduk untuk melakukan hubungan dengan orang-orang Ibnu Hadjar sehingga banyak anggota DI/TII Kalimantan Selatan yang terpaksa menyerahkan diri karena kelaparan, termasuk Kastam Djaja yang punya posisi penting dalam gerakan tersebut.

Ibnu Hadjar dan para anggotanya yang tersisa kemudian melakukan serangan gerilya agar bisa melarikan diri ke perbatasan Kalimatan Selatan dan Kalimantan Timur. TNI bereaksi dengan melancarkan operasi militer yang disebut Operasi Riko.

Operasi Riko membuat pasukan Ibnu Hadjar harus mundur kembali ke selatan. Kekuatan DI/TII Kalimantan Selatan pun mengalami perpecahan. Puncaknya, Ibnu Hadjar menyerahkan diri pada Juli 1963 lantaran dijanjikan akan diberikan pengampunan.

Penangkapan Ibnu Hadjar secara resmi baru dilakukan pada September 1963 dan diterbangkan ke Jakarta. Tanggal 11 Maret 1965, Ibnu Hadjar menjalani pengadilan Mahkamah Militer dan dijatuhi hukuman mati.

Baca juga artikel terkait PEMBERONTAKAN DI-TII atau tulisan lainnya dari Syamsul Dwi Maarif

tirto.id - Pendidikan
Kontributor: Syamsul Dwi Maarif
Penulis: Syamsul Dwi Maarif
Editor: Iswara N Raditya