Menuju konten utama

Sejarah Pembantaian Rawagede: Penyebab, Dampak, dan Penyelesaiannya

Kronologi pembantaian Rawagede 1947, penyebab tentara Belanda membantai warga Rawagede, dan penyelesaian kasusnya. 

Sejarah Pembantaian Rawagede: Penyebab, Dampak, dan Penyelesaiannya
Ahli waris dari korban Pembantaian Rawagede membersihkan makam keluarganya saat peringatan peristiwa itu di Desa Balongsari, Karawang, Jawa Barat, Selasa (11/12/2018). ANTARA FOTO/M Ibnu Chazar/ama.

tirto.id - Pembantaian di Rawagede, Karawang, Jawa Barat yang terjadi pada 9 Desember 1947 merupakan salah satu kasus paling berdarah dalam sejarah Indonesia. Hanya dalam beberapa jam, sebanyak 431 orang dihabisi oleh militer Belanda di Rawagede kala itu.

Setelah sekian lama berkelit, pemerintah Belanda akhirnya kalah dalam sidang di Pengadilan Den Haag terkait gugatan keluarga korban Pembantaian Rawagede.

Hasil sidang September 2011 silam menyatakan pemerintah Belanda mesti bertanggung jawab dan wajib membayar 20 ribu euro (Rp240 juta) pada sejumlah janda korban pembantaian Rawagede.

Kronologi Pembantaian Rawagede dan Penyebabnya

Selepas Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, perjuangan melawan penjajahan belum usai. Kedatangan tentara sekutu yang diboncengi militer Belanda menyebabkan tantangan mempertahankan kemerdekaan tetap ada. Apalagi, Belanda kemudian melancarkan dua agresi militer yang nyaris membikin pemerintahan Republik Indonesia lumpuh.

Pada tahun 1947, militer Belanda berhasil menguasai Jawa Barat. Kendati demikian, para pejuang kemerdekaan di daerah itu belum tunduk. Mereka mundur ke perdesaan. Bahu-membahu bersama rakyat sipil, para pejuang kembali menghantui tentara Belanda.

Dalam kondisi kalah persenjataan, taktik gerilya menjadi andalan. Di antara yang bergerilya ialah kelompok pejuang di bawah kendali kapten tentara Indonesia bernama Lukas Kustaryo.

Kapten Kustaryo dan kawan-kawan bertahan di Rawagede (sekarang Balongsari). Gerilya mereka sempat merepotkan tentara Belanda. Kustaryo juga sulit ditemukan dan lihai menyusun strategi. Karena licin, Kustaryo jadi salah satu buron Belanda. Kepalanya bahkan dihargai 10.000 gulden.

Suatu waktu, ada mata-mata yang membuat tentara Belanda tahu, Kustaryo berada di Rawagede. Mayor militer Belanda Alphonse Jean Henri Wijnen alias Fons lantas menyiapkan strategi. Mereka bermaksud "meratakan" Rawagede agar jadi pelajaran bagi desa-desa lain yang menyembunyikan pejuang republik.

Ketika hujan deras turun di malam 8 Desember 1947, Lurah Rawagede, Saukim mencium gelagat mata-mata Belanda yang mencurigakan. Ia lantas memberitahu Markas Gabungan Pejuang (MGP), yang di dalamnya termasuk Kustaryo, agar segera hengkang dari Rawagede.

Meskipun demikian, sebagian pejuang masih terjebak di rumah masing-masing. Mereka kesulitan melakukan evakuasi karena cuaca buruk pada malam tersebut.

Di sisi lain, baik pejuang kemerdekaan maupun warga Rawagede tidak menyangka bahwa Belanda akan menyerang di tengah cuaca buruk. Memasuki dini hari, sejak pukul 4 pagi, 9 Desember 1947, Rawagede sudah terkepung oleh tentara Belanda dalam posisi siap tempur.

Saksi mata menyatakan, pasukan Belanda sebanyak 300-an orang merangsek ke Desa Rawagede. Dalih mereka adalah untuk meringkus Kustaryo yang ternyata sudah meloloskan diri.

Tidak menemukan sosok yang mereka cari, tentara Belanda menyuruh semua laki-laki, termasuk remaja belasan tahun, keluar serta berjejer di lapangan terbuka. Mereka ditanyai mengenai MGP, tapi penduduk desa sudah sepakat untuk tutup mulut.

"Semua laki-laki diperintahkan keluar dari rumah, disuruh berbaris. Terus kepala mereka ditembak dengan senapan pasukan Belanda. Hanya wanita dan anak-anak saja yang lolos," ujar Wanti, salah satu janda korban pembantaian Rawagede, saat diwawancarai Antara, akhir 2011 lalu.

Selepas pembantaian, para perempuan dan warga desa yang tersisa mencari mayat ayah, suami, atau anggota keluarga mereka yang tewas. Dari pengakuan mereka, diketahui ada 431 orang jadi korban tewas.

Namun, militer Belanda membantah dan hanya mengakui ada 31 mayat. Seorang tentara Belanda yang turut dalam pembantaian itu, Sersan Fokke Dijkstra menyatakan bantahannya yang tercatat di buku Serdadu Belanda di Indonesia 1945-1950.

Fokke mengklaim kesatuannya difitnah telah melakukan pembunuhan 431 penduduk Rawagede. "Dari jumlah itu bisa dikurangi dengan mudah, empat ratus," kata Fokke (hlm. 150).

Penyelesaian Kasus Pembantaian Rawagede

Pada 14 September 2011, Pengadilan Den Haag menyatakan bahwa pemerintah Belanda bersalah dalam pembantaian Rawagede. Setelah 64 tahun kasusnya ditutup-tutupi, akhirnya tuntutan dari Komite Nasional Pembela Martabat Bangsa Indonesia (KNPMBI) bersama keluarga korban dipenuhi oleh Pemerintah Belanda.

Sebagai bentuk penebusan dosa, Duta Besar Belanda untuk Indonesia, Tjeerd de Zwaan mewakili pemerintah negaranya meminta maaf atas kasus Rawagede. Pemerintah Belanda pun menjalankan perintah pengadilan, yakni membayar kompensasi senilai 20 ribu euro (Rp240) juta pada sejumlah janda korban pembantaian Rawagede.

Namun, hanya enam orang yang menerima kompensasi, yaitu Cawi, Wanti Sariman, Taslem, Ener, Bijey, dan Ita. Sementara pelaku utama pembantaian itu, Mayor Alphonse Jean Henri Wijnen tetap hidup terhormat, tanpa menjalani hukuman layaknya penjahat perang.

Baca juga artikel terkait PERANG KEMERDEKAAN atau tulisan lainnya dari Abdul Hadi

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Abdul Hadi
Penulis: Abdul Hadi
Editor: Addi M Idhom