Menuju konten utama

Sejarah Pembangunan PLTU Suralaya: Diresmikan Soeharto, Tuntas 2011

Sejarah pembangunan PLTU Suralaya unit pertama diresmikan oleh Soeharto pada 1985, namun baru tuntas seluruhnya tahun 2011.

Sejarah Pembangunan PLTU Suralaya: Diresmikan Soeharto, Tuntas 2011
Sejumlah pekerja beraktivitas di proyek pembangunan PLTU Suralaya Unit X di Suralaya, Cilegon, Banten, Senin (5/8/2019). ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman/ama.

tirto.id - Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) I Banten atau Suralaya disebut-sebut sebagai “penyebab” terjadinya mati listrik (blackout) massal di Jabodetabek pada Minggu (4/8/2019) kemarin. Sejarah mencatat, PLTU yang termasuk terbesar di Indonesia diresmikan Presiden Soeharto tahun 1985 kendati pembangunannya baru tuntas sepenuhnya pada 2011.

I Made Suprateka mewakili Perusahaan Listrik Negara (PLN) sempat menyebut bahwa pemadaman listrik yang dialami sejumlah wilayah di Jawa pada 4 Agustus 2019 kemarin disebabkan karena adanya gangguan pada gas turbin 1 sampai 6 di PLTU Suralaya, Cilegon, Banten.

Akan tetapi, pernyataan tersebut kemudian diralat. Direktur Utama PLN Sripeni Inten Cahyani mengatakan bahwa gangguan transmisi Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET) Ungaran dan Pemalang sebagai penyebab pemadaman listrik kemarin.

Penjelasan teknis yang dipaparkan Sripeni disebut-sebut membuat Presiden Joko Widodo (Jokowi) marah. Presiden Jokowi menyambangi Kantor Pusat PLN di Jakarta Selatan, pada Senin (5/8/2019) pagi, untuk meminta keterangan dari pihak terkait mengenai penyebab padamnya listrik massal.

Terlepas versi mana yang benar terkait biang kerok terjadinya mati listrik total kemarin, namun PLTU Suralaya memang sudah kerap menjadi sorotan selama ini, termasuk sebagai pemicu pemadaman listrik dalam beberapa tahun terakhir.

Riwayat PLTU Suralaya

PLTU 1 Banten atau PLTU Suralaya merupakan salah satu pembangkit utama guna memasok listrik untuk wilayah Jawa bagian barat, selain PLTU Muara Karang di Jakarta Utara dan PLTGU (Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap) Cilegon.

Sukandarrumidi dalam buku Batubara dan Pemanfaatannya (2018) memaparkan, PLTU Suralaya berkapasitas 3.500 Megawatt (MW) yang berfungsi sebagai penyedia 25 persen dari kebutuhan listrik Jawa dan Bali. Untuk membangkitkan energi listrik demi kebutuhan itu, diperlukan batu bara kurang lebih 32.000 ton per hari.

Lokasi PLTU Suralaya berada di Kecamatan Pulo Merak, Kota Cilegon, kurang lebih 7 kilometer dari Pelabuhan Merak, serta berjarak sekitar 12 kilometer dari PLTGU Cilegon. PLTU Suralaya menempati lahan seluas lebih dari 240 hektare yang berupa lembah dikelilingi bukit dan hutan.

Pembangunan PLTU Suralaya yang kini memiliki 7 unit digarap dalam empat tahap. Pertama dimulai tahun 1984, kemudian tahap kedua pada 1989, tahap ketiga tahun 1997, dan tahap keempat mulai beroperasi pada 2011.

Buku bertajuk Proyek-proyek Pembangunan Nasional (1992) terbitan Departemen Penerangan RI menyebutkan bahwa pengoperasian perdana PLTU Suralaya pada 1985 diresmikan oleh Presiden Indonesia kala itu, Soeharto.

Majalah Tempo edisi 17 Agustus 1985 juga mewartakan hal serupa. Diberitakan, Presiden Soeharto meresmikan unit pertama PLTU Suralaya pada 11 Agustus 1985. Unit pertama ini bahkan sudah mengalirkan listriknya sejak Agustus tahun sebelumnya.

Terbesar di Asia Tenggara?

Sebelum diputuskan di Suralaya, sejatinya ada tiga lokasi lain yang juga menjadi kandidat dibangunnya PLTU dengan bahan bakar utama batu bara itu, yakni Cigading di Anyer, Gorenjang di Balaraja, dan Tanjung Pasir di Tangerang, demikian terungkap dalam arsip Majalah Gatra.

Hasil studi kelayakan saat itu menyatakan bahwa Suralaya adalah lokasi yang dinilai paling tepat berdasarkan beberapa pertimbangan, antara lain: tersedianya tanah dataran yang cukup luas dan dipandang tidak produktif untuk pertanian, tersedianya pantai dan laut untuk pelabuhan dan air pendingin serta memperlancar pengangkutan peralatan berat dan bahan bakar.

Berikutnya adalah akses jalan masuk lokasi tidak terlalu jauh, juga jumlah penduduk di sekitar lokasi (saat itu) masih relatif sedikit sehingga tidak perlu pembebasan lahan guna pemasangan saluran transmisi, serta tersedianya tanah yang memungkinkan untuk didirikan bangunan besar dan bertingkat.

Masih ada lagi, yakni tersedianya tempat untuk penimbunan limbah abu dari sisa pembakaran batubara, tersedianya tenaga kerja untuk memperlancar pelaksanaan pembangunan, pengaruh ke lingkungan yang baik karena terletak di antara perbukitan dan laut, serta memperhitungkan kebutuhan tenaga listrik di Jawa sehingga diperlukan pembangkit yang besar.

Proses pembangunan PLTU ini melibatkan konsultan asing. Untuk unit 1 sampai 4, PLN berkonsultasi dengan Montreal Engeneering Company dari Kanada, sedangkan tiga unit lainnya dibicarakan kepada Black & Veatch International dari Amerika Serikat. Selain itu, kontraktor lokal dan asing juga dilibatkan dalam pembangunan PLTU Suralaya.

Dalam arsip Majalah Gatra disebutkan pula bahwa PLTU Suralaya dibangun oleh PLN dan konsorsium dari China National Technical Import dan Export Corporation (CNTIC), China National Machinery Import dan Export Corporation, Zhejiang Electric Power Design Institute, serta perusahaan lokal, PT Rekayasa Industri.

Adapun investasi untuk membangun proyek ini sebesar Rp4,08 triliun. Selain menjadi pemasok listrik terbesar di Indonesia, PLTU Suralaya juga diklaim sebagai yang terbesar di kawasan Asia Tenggara.

Baca juga artikel terkait MATI LISTRIK atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya

tirto.id - Humaniora
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Abdul Aziz