Menuju konten utama

Sejarah Pelajaran PMP: Manipulasi Pendidikan Moral ala Orde Baru

Pendidikan Moral Pancasila (PMP) di masa Orde Baru mengalami kegagalan yang mengakar. Praktik manipulasi pendidikan moral hanya menguntungkan penguasa.

Sejarah Pelajaran PMP: Manipulasi Pendidikan Moral ala Orde Baru
Buku Pelajaran Sekolah 1990-an. FOTO/Buku/Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

tirto.id - Pendidikan berkaitan erat dengan politik. Kebijakan ini menjadi hal yang fundamental bagi setiap sistem pemerintahan di sebuah negara modern. Melalui pendidikan, negara mengharapkan rakyatnya dapat memeluk ideologi yang sejalan dengan pemerintah sehingga tercipta iklim politik yang harmonis.

Pakar pendidikan Henry Alexis Rudolf Tilaar dalam 50 Tahun Pembangunan Pendidikan Nasional 1945-1995 (1995: hlm. 92) menyebut pendidikan sebagai alat politik adalah wajar. Layaknya sebuah alat, keberhasilan pendidikan tidak hanya diukur dari hal-hal yang sifatnya metodologis, tetapi juga tentang siapa dan tujuan penggunaannya. Tilaar memberi catatan bahwa kegagalan target pendidikan lebih kerap ditimbulkan oleh hal-hal yang bersifat ideologis.

Sejak masa pemerintahan Sukarno, pendidikan di Indonesia mulai memiliki kecenderungan politis. Pada tahun 1950, untuk pertama kalinya pemerintah membuat sebuah sistem pendidikan menyeluruh atau yang dikenal dengan pendidikan nasional. Di tangan Sukarno, pendidikan nasional kemudian dijadikan alat untuk mendorong manifesto politik yang berlandaskan sosialisme, yang dimulai sejak tahun 1959.

Medio 1960-an, Demokrasi Terpimpin ala Sukarno perlahan mulai tergilas oleh pawai parlemen jalanan yang digerakkan oleh mahasiswa dan kelompok angkatan bersenjata. Mereka menilai ideologi yang berkembang telah mencemari Pancasila dan UUD 1945 sehingga perlu diadakan restrukturisasi.

“Orde Baru merupakan orde yang ingin mengoreksi dan mengadakan introspeksi secara mendasar dan menyeluruh atas praktek pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 yang telah disalaharahkan oleh Orde Lama,” tulis Tilaar.

Tak lama setelah Orde Baru berkuasa, misi pendidikan dengan cara memurnikan kembali Pancasila dan UUD 1945 perlahan mulai dijalankan. Rezim Soeharto dengan tekun mulai melarang buku-buku Ilmu Kewarganegaraan (Civics) yang dijadikan sarana penyebaran ideologi Sukarno.

Memasuki tahun 1970-an, pelajaran Civics resmi dihapus. Penggantinya bernama Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang dianggap lebih ideal menghasilkan warga negara bermoral Pancasila yang dapat memenuhi target pembangunan nasional Orde Baru.

Praktik Indoktrinasi dalam PMP

Dalam kondisi politik yang berangsur stabil sesudah Pemilihan Umum 1971, Orde Baru mengeluarkan pola umum pembangunan jangka panjang melalui Ketetapan MPR No. IV tahun 1973 (tentang GBHN). Sesuai dengan ketetapan tersebut, pemerintah menetapkan bahwa setiap warga negara wajib menyimak materi pendidikan moral yang bernama Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4).

Di sekolah, PMP diatur dalam Kurikulum 1975. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia memastikan setiap sekolah mendapatkan materi PMP sebagai pengganti pelajaran Civics. Sebagaimana P4, PMP memiliki dasar konstitusional karena berlandaskan pada TAP MPR 1973 yang kemudian disempurnakan pada tahun 1978 dan 1983.

“Untuk mencapai cita-cita [pembangunan jangka panjang], maka kurikulum di semua tingkat pendidikan mulai dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta harus berisikan Pendidikan Moral Pancasila,” demikian garis besar PMP dalam TAP MPR 1983 yang dicatat dalam Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi Muhammadiyah (2009: hlm. 9).

Secara umum, PMP berisi materi pembelajaran tentang Pancasila dan UUD 1945, serta sedikit tentang sejarah bangsa Indonesia. Materi PMP didesain sedemikian rupa dengan tujuan menanamkan doktrin ideologi Pancasila secara sistematis. Menurut Doni Koesoema dalam Pendidikan Karakter (2007: hlm 50), langkah ini sangat tepat karena berhasil menyatukan watak bangsa Indonesia di bawah pemerintahan tunggal.

“Tanpa pemahaman yang dinamis dan terbuka tentang Pancasila, bangsa kita cenderung kembali pada ikatan-ikatan primordial yang memecah belah,” tulisnya.

Namun, implementasi pelajaran PMP juga menuai kritik. Darmaningtyas dalam Pendidikan yang Memiskinkan (2004: hlm. 10) menyebut bahwa pergantian pelajaran Civics ke PMP memiliki implikasi politik yang cukup besar. Pelajaran Civics pada praktiknya dianggap tidak berkontribusi kepada penguasa sehingga patut diganti.

Sebaliknya, mata pelajaran PMP justru dinilai dapat membendung sikap kritis siswa sekolah. Melalui cara ini, para siswa didoktrin sejak dini kepada ideologi yang sesuai kehendak rezim. Sepanjang pelaksanaannya, kurikulum Orde Baru yang sentralistik menghasilkan model pengajaran PMP yang hanya berputar pada sistem hapalan butir-butir Pancasila tanpa disertai pemahaman yang dalam.

Lebih jauh Darmaningtyas menyatakan bahwa “Mata pelajaran PMP tekanannya hanya menjadi orang yang taat dan patuh pada ideologi negara saja, tapi tidak pernah diperkenalkan dengan hak-haknya. Maka wajar bila kemudian produk pendidikan yang lahir dari mata pelajaran PMP ini adalah orang-orang yang taat, takut, dan sekaligus pengecut, tidak kritis, serta tidak memiliki prinsip sendiri.”

Pelajaran yang Tumpang Tindih

Perubahan Kurikulum 1975 menjadi Kurikulum 1984 secara tidak langsung juga menimbulkan masalah bagi pelaksanaan kegiatan pengajaran PMP. Kekacauan ini timbul karena upaya Nugroho Notosusanto, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (1983-1985), yang bersikeras memasukkan pelajaran Pendidikan Sejarah dan Perjuangan Bangsa (PSPB) ke dalam Kurikulum 1984.

Materi baru ala Nugroho ini menimbulkan kontroversi karena dinilai tumpang tindih dengan pelajaran Sejarah Nasional dan PMP. Setelah Nugroho wafat pada tahun 1985, kekacauan dalam mata pelajaran PMP baru diakui oleh Fuad Hassan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang baru.

“Terus terang saya katakan, saat ini terjadi tumpang tindih antara P4, PSPB, PMP, dan Sejarah Nasional. Tumpang tindih tersebut akan mengakibatkan hilangnya waktu yang bisa dipakai untuk keperluan lain, atau mendesak mata pelajaran lain,” kata Fuad seperti dikutip Kompas (11/9/1985).

Beban yang ditanggung para murid sebagai dampak politik pendidikan kian bertambah. Mereka tak hanya wajib mempelajari PMP, tapi juga harus mengikuti penataran P4 yang ditetapkan sebagai kegiatan wajib oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan sejak tahun 1982.

Dalam Penjelasan Ringkas tentang Pendidikan Moral Pancasila (1982), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menjelaskan bahwa “Hakikat PMP tiada lain adalah pelaksanaan P4 melalui jalur pendidikan formal. Di samping pelaksanaan PMP di sekolah-sekolah, di dalam masyarakat umum giat diadakan usaha pemasyarakatan P4 lewat berbagai penataran.”

Infografik Pendidikan Moral Pancasila di Zaman Orba

Infografik Pendidikan Moral Pancasila di Zaman Orba. tirto.id/Sabit

Upaya Menangkal Radikalisme?

PMP kembali menjadi pembicaraan hangat di kalangan pendidik sejak tahun lalu. Pada November 2018 seperti dilansir CNN Indonesia, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mewacanakan untuk kembali menghidupkan pelajaran PMP di sekolah.

Supriano selaku Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan menegaskan, rencana tersebut disusun sebagai respons terhadap kemunculan paham radikalisme dan paham-paham lain yang bertentangan dengan Pancasila.

Pada Oktober 2019, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy menegaskan tentang akan diterapkannya kembali pelajaran PMP. Menurutnya, rencana ini akan direalisasikan pada tahun 2020 dengan mengadopsi konsep pembelajaran yang baru.

Tidak sedikit yang mendebat keputusan pemerintah yang memisahkan materi Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) dengan Pendidikan Pancasila. Pasalnya, Pendidikan Pancasila sangat rawan dijadikan “alat untuk melanggengkan kekuasaan melalui cara-cara indoktrinasi nilai-nilai Pancasila dan manipulasi terhadap makna demokrasi yang sebenarnya.”

Pernyataan yang dikemukakan oleh Ahmad Ubaedillah, pakar Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam Pendidikan Kewarganegaraan Pancasila, Demokrasi dan Pencegahan Korupsi (2006: hlm. 7) itu secara khusus menjadikan Orde Baru sebagai contoh kasus. Lebih jauh, Ubaedillah mengkritisi jalannya pendidikan Pancasila di bawah rezim Soeharto yang tidak lebih dari sekadar instrumen pelanggengan kekuasaan.

“Sikap bertolak belakang pemerintah Orde Baru terlihat pada tidak sejalannya antara tujuan Pendidikan Kewiraan dan Pancasila dengan perilaku elite Orde Baru dalam mengelola negara yang penuh dengan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme,” tulisnya.

Baca juga artikel terkait PENDIDIKAN MORAL atau tulisan lainnya dari Indira Ardanareswari

tirto.id - Pendidikan
Penulis: Indira Ardanareswari
Editor: Irfan Teguh