Menuju konten utama

Sejarah Patung Kuda Arjuna Wijaya: Ide Soeharto, Direnovasi Ahok

Patung Kuda Arjuna Wijaya yang menjadi lokasi aksi kawal Sidang MK menyimpan sejarah sejak masa Orde Baru pimpinan Soeharto.

Sejarah Patung Kuda Arjuna Wijaya: Ide Soeharto, Direnovasi Ahok
Massa aksi berkumpul di sekitar kawasan Patung Kuda Arjuna Wijaya pada Kamis (27/6/2019) jelang Sidang Putusan MK terkait sengketa pilpres. Antara/Asep Firmansyah.

tirto.id - Area Patung Kuda Arjuna Wijaya menjadi lokasi aksi kawal sidang putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (27/6/2019). Monumen yang berlokasi di ruas Jalan Medan Merdeka, Jakarta Pusat, ini punya sejarah menarik: digagas dan dibangun di era Soeharto pada 1987, kemudian direnovasi di masa Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok kala masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta.

Setidaknya ada 10 elemen masyarakat yang melangsungkan aksi kawal sidang MK. Sejak Kamis pagi, massa sudah mulai datang dan berkumpul di sekitar Patung Kuda Arjuna Wijaya. Sebagian besar peserta aksi mengenakan baju berwarna putih sambil membawa papan bertuliskan protes penyelenggaraan pemilu yang mereka nilai curang.

Kepolisian tidak mengizinkan digelarnya aksi di sekitar Gedung MK. Namun, karena massa tetap berdatangan, maka lokasi aksi dialihkan di kawasan Patung Arjuna Wijaya. “Polisi tidak mengeluarkan izin aksi di depan kantor MK makanya kita tutup,” jelas Kapolres Jakarta Pusat, Kombes Harry Kurniawan, kepada Tirto.id.

Ada sejarah dan filosofi menarik di balik pembangunan Patung Arjuna Wijaya yang ditempatkan di jantung ibu kota Jakarta ini. Ide pendiriannya berasal dari Presiden RI ke-2, Soeharto, begitu pula pembangunannya. Pada 2015, di era Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok selaku Gubernur DKI Jakarta saat itu, dilakukan renovasi terhadap monumen ini.

Antara Turki dan Mahabharata

Adalah Presiden Soeharto yang punya gagasan pembangunan Patung Kuda Arjuna Wijaya. Saat itu, tahun 1987, penguasa Orde Baru ini baru pulang dari Turki dalam rangka kunjungan kenegaraan. Selama di Turki, ia cukup terpukau melihat banyak monumen bersejarah yang ditempatkan di jalan-jalan protokol di sana.

Dari situ, Soeharto kemudian terinspirasi untuk menerapkan hal serupa di Jakarta sebagai ibu kota RI. Tercetuslah ide tentang Perang Baratayuda antara Pandawa dan Kurawa yang terkenal dalam mitos Mahabharata.

Maestro pematung dari Bali, Nyoman Nuarta, ditunjuk untuk merealisasikan gagasan tersebut. ”Pak Harto waktu itu bilang, jalan-jalan protokol kita belum punya monumen yang ada cerita filsafatnya,” kenang Nyoman, dikutip dari laporan Kompas (11/1/2015).

“Dia [Soeharto] kemudian nyuruh cari dong cerita yang memuat filsafat Indonesia. Akhirnya kita bikinlah dari kisah Perang Baratayuda," imbuh seniman asal Tabanan ini.

Maka, dipilihlah fragmen yang menceritakan saat Arjuna, salah seorang personil Pandawa, sedang menaiki kereta tempur dalam Perang Baratayuda itu. Batara Kresna yang telah berjanji tidak terlibat langsung dalam peperangan, bersedia mengemudikan kereta kencana yang ditunggangi Arjuna.

Adegan yang diabadikan dalam monumen itu adalah ketika Arjuna dan Kresna mengendarai kereta kencana dengan ditarik 8 ekor kuda untuk menghadapi Adipati Karna dari kubu Kurawa. Dalam cerita Mahabharata, Karna sebenarnya saudara tiri Pandawa, namun berpihak kepada Kurawa yang dipimpin oleh Duryudana karena merasa berutang budi.

Diresmikan Lagi di Era Ahok

Pemilihan adegan ketika Arjuna dan Kresna menaiki kereta kencana di Perang Baratayuda sebagai wujud monumen sejarah yang dikehendaki Presiden Soeharto tentunya bukan tanpa alasan. Ada filosofi yang terkandung di dalamnya.

Sikap Arjuna yang harus melawan Karna itulah makna di balik pemilihan wujud monumen tersebut. Nyoman menjelaskan filosofinya, bahwa hukum wajib ditegakkan tanpa pandang bulu. Arjuna tetap harus berperang meskipun yang dihadapi adalah saudaranya sendiri.

“Arjuna pada awalnya ragu karena yang dilawan adalah saudaranya sendiri. Tapi dia harus menentukan sikap, demi kebaikan orang yang lebih banyak, dia harus mengalahkan Adipati Karna yang berdiri di pihak Kurawa," papar Nyoman, dilansir Kompas (12 Januari 2015).

Selain itu, ada pula filosofi lain yang tersemat dalam wujud 8 ekor kuda penarik kereta perang Arjuna. Kuda-kuda tersebut merupakan 8 simbol kepemimpinan alam semesta atau “Asta Brata”, yaitu Kisma (bumi), Surya (matahari), Agni (api), Kartika (bintang), Baruna (samudera), Samirana (angin), Tirta (hujan/air), dan Candra (bulan).

Proses pembuatan Patung Arjuna Wijaya, menurut Nyoman, dikerjakan di Bandung sejak 1987 dan melibatkan 40 orang pematung. Biaya yang dihabiskan hampir mencapai Rp300 juta, terbilang besar untuk ukuran masa itu.

Setelah nyaris tak tersentuh selama puluhan tahun, Monumen Patung Arjuna Wijaya direnovasi pada 2015 atau ketika Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Nyoman Nuarta juga dilibatkan dalam proses renovasi ini.

Setelah direnovasi, ada sejumlah perbaikan terhadap monumen ini, seperti penambahan bayangan gerak patung kuda-kudanya, perbaikan air mancur dan taman, serta diberi tempat khusus di bagian depan patung yang bisa digunakan oleh pengunjung untuk berfoto ria.

“Penataan air mancur, lampu dan taman di area patung Arjuna Wijaya ini juga bertujuan menambah kemegahan dan keindahan‎ Jakarta,” ujar Ahok kala itu, dikutip dari Poskotanews (11 Januari 2015).

Kini, seiring digelarnya rangkaian Sidang MK terkait gugatan sengketa usai Pilpres 2019, area di sekitar monumen Patung Arjuna Wijaya menjadi lokasi bagi para pengunjuk rasa yang menggelar aksi.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Abdul Aziz