Menuju konten utama

Sejarah Palagan Ambarawa: Latar Belakang & Tokoh Pertempuran

Kekalahan Jepang di perang dunia kedua menjadikan sekutu tertarik menguasai Indonesia kembali.

Sejarah Palagan Ambarawa: Latar Belakang & Tokoh Pertempuran
Tentara Keamanan Rakyat (TKR) bertempur melawan tentara sekutu dalam sosiodrama pertempuran Palagan Ambarawa, pada peringatan HUT Ke-72 RI di Lapangan Pancasila Semarang, Jawa Tengah, Kamis (17/8). ANTARA FOTO/R. Rekotomo

tirto.id - Sejarah pertempuran atau Palagan Ambarawa pernah terjadi antara Indonesia yang sudah merdeka dengan sekutu. Embel sekutu yang saat itu meyakini Indonesia akan merehabilitasi tawanan perang mantan penjajah, ternyata malah memunculkan kobaran api peperangan di Ambarawa, Semarang, Jawa Tengah.

Pada 17 Agustus 1945, Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Namun, sekutu masih berniat menguasai sumber rezekinya setelah Jepang berhasil lenggang dari Indonesia yang masih belia dalam segala pengurusan negara.

Ambarawa terkenal sebagai kota militer Hindia Belanda. Dalam “Pertempuran Ambarawa, Kemenangan yang Memakan Banyak Korban” oleh Petrik Matanasi, di zaman penjajahan Jepang, kota tersebut juga sempat menjadi kamp tawanan khusus perempuan dan anak-anak Belanda.

Latar Belakang Palagan Ambarawa

Kekalahan Jepang di perang dunia kedua menjadikan sekutu tertarik menguasai Indonesia kembali. Saat itu, pasukan sekutu yang disebut RAPWI (Rehabilitation of Allied Prisoners of War and Internees) datang ke Ambarawa dengan alasan ingin merehabilitasi tawanan perang.

Akan tetapi, mereka ternyata datang dengan beberapa pasukan militer NICA (Netherlands-Indies Civiele Administration) dan argumen penyembuhan tawanan yang dikatakan sebelumnya hanya sebatas tipu muslihat.

Berdasarkan pendapat Imran dan kawan-kawan dalam Perang dan Revolusi, Indonesia dalam Arus Sejarah, Jilid 6 (2012), rakyat dan para intelektual muda Indonesia merasa dikhianati oleh sekutu dan Belanda hingga menimbulkan beberapa pertempuran di beberapa wilayah. Bukan hanya di Ambarawa, namun juga di beberapa daerah Jawa dan Sumatera.

Mengutip website Kemendikbud, terungkap bahwa rakyat saat itu tengah menjaga kedaulatan kemerdekaan yang baru diproklamasikan. Selain itu, rakyat dengan semangat revolusi ingin pergi dari istilah penjajahan tidak sudi memberi sedikitpun harta kepada Sekutu.

Tokoh Pertempuran

R.H.A. Saleh dalam buku Mari Bung Rebut Kembali (2000:77) mengungkapkan, pada 19 Oktober 1945, Brigadier Bethell, Komandan Satuan Artileri Divisi 23 Militer Inggris, pergi ke Semarang. Ia, pasukannya dan RAPWI ke sana untuk menjalankan tugas membebaskan tawanan perang yang berada di Semarang, Ambarawa, dan Magelang.

Tanggal 26 Oktober 1945, Brigadier Bethell menapakkan kaki di Magelang. Di sana masih terdapat tawanan bekas pendudukan Jepang, termasuk orang-orang Indonesia di dalamnya. Adu tangkas antara Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dengan pasukan Brigadier Bethell pun terjadi (Poesponegoro, Marwati Djoenoed, dan Nugroho, Sejarah Nasional Indonesia VI, 1990:116).

Pada 21 November 1945, pasukan sekutu berhasil dibuat ketar-ketir oleh TKR Divisi 5 Kedu pimpinan Kolonel Sudirman hingga akhirnya melarikan diri ke Ambarawa.

Perang pasca-kemerdekaan belum usai, pada 26 November peristiwa berdarah kembali terjadi di pertahanan terakhir sekutu, yakni Ambarawa. Pada saat itu, Komandan Resimen Purwokerto, Letnan Kolonel Isdiman, menjadi salah satu korban dari pihak Indonesia.

Pasukan TKR yang tadinya dipimpin Isdiman, diurusi sedemikian rupa oleh Sudirman selaku kepalanya. Catatan Amrin Imran dalam Panglima Besar Sudirman (2001:30), Sudirman ketika itu punya siasat serangan serentak agar sekutu tidak berkutik.

Sekutu berhasil dikepung dan hanya satu celah pelarian yang tersisa, yakni ke Desa Banyubiru, Semarang. M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern (2009:455-456) menambahkan, pada masa akhir November, pertempuran antara kedua belah pihak ini berhasil memundurkan sekutu ke pesisir Semarang.

Kendati bertahan di sana, pasukan sekutu akhirnya lenggang pada 5 Desember 1945 karena gempuran militer Indonesia. Lalu, pada 12 Desember 1945 terjadi lagi penyerangan terhadap sisa pasukan sekutu yang masih ada di Benteng Willem yang lokasinya di dalam kota.

Perang ini disebut Kemendikbud sebagai pengepungan yang terjadi selama empat hari empat malam. Pertempuran Ambarawa usai pada 15 Desember 1945 karena pasukan sekutu merasa tersudutkan hingga akhirnya kabur (Poesponegoro, Marwati Djoenoed, dan Nugroho, 1990:118).

Tanggal kemunduran Sekutu ini akhirnya diperingati setiap tahunnya menjadi Hari Juang Kartika atau Hari Infanteri sebagai simbol kekuatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Baca juga artikel terkait PALAGAN AMBARAWA atau tulisan lainnya dari Yuda Prinada

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Yuda Prinada
Penulis: Yuda Prinada
Editor: Alexander Haryanto