Menuju konten utama

Sejarah Pajak Sepeda: Peneng yang Kerap Membuat Pening

Ketika kendaraan bermotor mulai membanjiri Indonesia, pemerintah mulai melupakan pajak sepeda.

Sejarah Pajak Sepeda: Peneng yang Kerap Membuat Pening
Ilustrasi sepeda. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Di tengah pandemi Covid-19, tren bersepeda hidup kembali. Jalan raya dipenuhi para pesepeda yang berolahraga atau sekadar membunuh kebosanan setelah beberapa minggu atau bulan melakukan karantina mandiri.

Belakangan, maraknya orang bersepeda memunculkan kegaduhan, salah satunya isu tentang pajak yang akan dikenakan pada sepeda. Lewat juru bicaranya, Kemenhub membantah isu tersebut.

Lalu bagaimana sebetulnya sejarah pajak sepeda di Indonesia?

Tempo dulu, saat sepeda--sebagian menyebutnya kereta angin--masih langka dan menjadi barang mewah, pemerintah Hindia Belanda memungut pajak dari kendaraan tersebut. Jika sepeda tak dilengkapi lampu atau bel, maka si empunya harus membayar denda.

Pada zaman kolonial, ayah Mien Brodjo--aktris Indonesia era 80-an, bekerja sebagai kepala jawatan pajak di sebuah kecamatan yang kala itu disebut sebagai Mantri Pamicis. Sebagaimana dikisahkan Mien dalam biografinya yang bertajuk Setelah Angin Kedua: Biografi Mien Brodjo (2008:7), saat ia masih kecil, halaman rumahnya kerap dipenuhi sepeda jika telah tiba musim membayar pajak sepeda yang disebut peneng. Kata itu berasal dari bahasa Belanda, penning, yang artinya iuran. Di beberapa daerah di Jawa, warga menyebutnya plombir.

“Tandanya kalau pajak sepeda sudah dibayar bisa dilihat pada bodi sepeda bagian depan yang ditempeli peneng supaya mudah terlihat,” ujar Mien.

Ketika Jepang menduduki Indonesia, mereka juga membebani rakyat dengan tetap memberlakukan pajak sepeda untuk menambah ongkos perang yang kian menghebat. Jepang bahkan menarik pajak dari delman, pedati, becak, dan kendaraan lainnya.

Bertahun-tahun setelah Indonesia merdeka, pajak sepeda masih dipungut pemerintah sebagai salah satu warisan sistem kolonial. Tahun 1950-an misalnya, seperti dikisahkan Firman Lubis dalam Jakarta 1950-an: Kenangan Semasa Remaja (2008:126), warga Jakarta rutin membayar peneng yang bertempat di balai kota.

Ia menambahkan, saat waktu membayar pajak tiba, warga terutama anak-anak sekolah mengantre sambil menuntun sepedanya di balai kota.

“Kalau sudah membayar, maka setiap sepeda diberikan peneng yang ditempel di batangan muka sepeda,” kenangnya.

Menurut Alwi Shahab dalam Batavia Kota Banjir (2009:51), peneng adalah semacam pajak STNK untuk motor dan mobil. Jika pengendara sepeda belum membayar peneng atau tunggangannya tak dilengkapi lampu, maka ia akan diseret ke pengadilan rendah. Hal ini serupa dengan sidang tilang zaman kiwari yang digelar bagi para pelanggar peraturan lalu-lintas.

Dalam buku Melihat Indonesia dari Sepeda (2010:112), disebutkan bahwa hingga tahun 1970-an beberapa pemerintah kota di Indonesia masih memungut pajak sepeda. Antara satu kota dengan kota lain besaran pajaknya berbeda-beda. Sebagai contoh, pajak sepeda per tahun di Bandung warsa 1969 sebesar Rp 30, sementara di Yogyakarta Rp 50. Hal ini cukup memberatkan sehingga warga kerap menghindari razia pajak yang di Yogyakarta disebut cagatan.

Perilaku ini persis seperti para pengendara motor kiwari yang kerap mencari jalan tikus untuk menghindari razia polisi.

Infografik Pajak Sepeda

Infografik Pajak Sepeda. tirto.id/Quita

Penarikan pajak sepeda bahkan melibatkan Ketua RT untuk mendata pemilik sepeda dengan cara mendatangi rumah warga satu persatu. Kala itu, pemungutan pajak dianggap sebagai pengakuan sepeda sebagai moda transportasi.

Di pengujung tahun 1970-an, pajak sepeda mulai berkurang. Pemerintah mulai sibuk menarik pajak sepeda motor yang mulai membanjiri Indonesia karena Orde Baru membuka keran selebar-lebarnya pada investor asing.

Tak hanya sepeda motor, mobil pun mulai memadati ruas-ruas jalan dan pajaknya menjadi sumber pemasukan bagi negara. Kedua kendaraan ini kemudian merajai jalanan yang kian sesak, dan polusi udara serat suara tak terhindarkan.

Sepeda dengan cepat berkurang dari jalan raya, terutama di perkotaan. Kereta angin mulai hanya bisa dijumpai pada komunitas-komunitas, sebagian kecil perdesaan di Jawa, dan beberapa kalangan yang memang bersepeda untuk kebutuhan olahraga. Meski demikian, sampai awal tahun 1990-an pajak sepeda masih diberlakukan di beberapa kota.

Kini, saat pandemi meringkus gerak dan jarak sosial selama berbulan-bulan, sepeda kembali marak. Moda ini menjadi pilihan banyak warga untuk menjaga kondisi tubuh atau sekadar menghela kebosanan. Ketika pemilik dan penggunanya melimpah, isu pajak sepeda kembali mencuat.

Baca juga artikel terkait PAJAK SEPEDA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Irfan Teguh