Menuju konten utama
12 Oktober 1810

Sejarah Oktoberfest dan Mengapa Orang Jerman Tergila-Gila pada Bir

 

"> Bermula dari perayaan pesta pernikahan putra mahkota, Oktoberfest menjadi festival bir terbesar di dunia.
 

Sejarah Oktoberfest dan Mengapa Orang Jerman Tergila-Gila pada Bir
Ilustrasi Oktoberfest. Tirto.id/Deadnauval

tirto.id - Setiap akhir September hingga awal Oktober, ucapan “aku akan pergi ke Wiesn” biasa terdengar dari mulut orang-orang Jerman. Ucapan itu bisa dilontarkan di mana saja; di Berlin, di Frankfurt, di Koeln, atau di kota-kota lainnya. Makna ucapan itu ternyata sama belaka: sang pengucap ingin datang ke Oktoberfest untuk bersenang-senang.

“Wiesn” berarti Theresienwiese, sebuah tempat yang berada di Munchen, Jerman. Lalu, apa itu Oktoberfest?

Oktoberfest ialah festival bir tahunan terbesar di dunia yang digelar di Theresienwiese. Festival ini biasa berlangsung selama 16 hari, dari akhir September hingga awal Oktober, dan rata-rata dikunjungi sekitar enam juta orang dari segala penjuru dunia.

Ciri festival ini: sebagian besar pengunjungnya mengenakan tracht (pakaian tradisional Bavaria), makanan melimpah, wahana hiburan tak kurang, sajian musik folk, bir-bir yang tumpah ruah, dan dibuka oleh Wali Kota Munchen. Dan perkara pesta bir, tanda-tandanya bahkan sudah dapat dilihat sejak awal festival.

Dalam pembukaan Oktoberfest 2019, misalnya, DW menulis:

“Dieter Reiter, Wali Kota Munchen, membuka pesta tradisional ini sesuai tradisinya, dengan mengetuk tabung bir segar dengan palu, dengan dua pukulan dan teriakan ‘O’zapft is’, yang artinya kurang lebih: ‘Ayo diserap’. Lalu dia akan menyerahkan gelas bir pertama kepada Perdana Menteri Negara Bagian Bayern Markus Soder dan pasangannya untuk meneguk gelas pertama sebagai tanda festival telah dibuka.”

Setelah itu, seakan-akan setuju dengan Benjamin Franklin yang pernah mengatakan bahwa “Bir adalah bukti bahwa Tuhan mencintai manusia dan ingin manusia bersenang-senang,” orang-orang yang datang ke Oktoberfest pun akan segera berjubel ke tenda-tenda bir yang tersebar di segala penjuru Theresienwiese.

Lantas, bagaimana festival ini bermula?

Berawal dari Pesta Pernikahan

Oktoberfest pertama kali berlangsung pada 12 Oktober 1810, tepat hari ini 209 tahun silam. Sebelum jadi pesta bir, Oktoberfest pada mulanya merupakan perayaan pesta pernikahanan antara Putra Mahkota Bavaria—kelak jadi Raja Ludwig I—dan Putri Theresa dari Sachsen Hildburghause.

Kala itu, untuk menjalin persatuan di Munchen, Ludwig I sengaja mengundang seluruh penduduk turut serta ke pestanya yang digelar di gerbang kota, yang kelak dikenal sebagai Theresienweise. Pesta pernikahan yang berlangsung selama enam hari itu pun lantas berubah jadi pesta rakyat: makanan tumpah ruah, sejumlah parade digelar, dan pacuan kuda menjadi daya pikat utamanya.

Menurut Jesse Greenspan dari History, pesta itu bisa dibilang sukses besar. Setiap harinya masyarakat Munchen selalu datang berbondong-bondong ke pesta dan pada hari pamungkas ada sekitar 10.000 orang yang menonton acara pacuan kuda. Maka pejabat kota kemudian mempunyai ide yang menarik: mereka ingin pesta rakyat serupa diadakan setiap tahun sekali di tempat yang sama dengan konsep yang berbeda.

Ludwig I setuju dengan gagasan itu. Ia, yang mengagumi sejarah Yunani kuno, lantas ingin mengonsep pesta tersebut layaknya gelaran Olimpiade. Namun setelah Oktoberfest terus berjalan, konsep Ludwig ternyata berubah arah. Penyebabnya: bianglala, komedi putar, serta sirkus tentu saja lebih menyenangkan daripada pacuan kuda, lomba panjat pohon, serta lomba mengejar angsa. Selain itu orang-orang Munchen juga lebih suka minum bir untuk merayakan pesta.

Moses Wolff, dalam bukunya yang berjudul Meet Me in Munich (2013), bahkan menyebut bahwa tradisi minum bir orang-orang Munchen sudah berlangsung sejak lama. Jauh hari sebelum adanya Oktoberfest, penduduk Munchen sudah mempunyai pesta rakyat tahunan yang berhubungan dengan bir.

Pesta itu adalah pesta perayaan untuk menyambut musim baru pembuatan bir. Berlangsung pada bulan Oktober, dalam pesta tersebut para penduduk Munchen akan menghabiskan stok bir marzen, varian dari bir jenis lager, yang mereka punya. Konon mereka percaya bahwa marzen, yang mempunyai kandungan alkohol tinggi itu, bisa membantu mereka untuk melewati musim pembuatan bir dengan mudah.

Tahu itu, setelah konsep Olimpiadenya gagal, Ludwig I sebenarnya pernah mencoba membatasi bir dalam setiap perayaan Oktoberfest. Pada 1844, misalnya, ia menyiasati dengan cara menaikkan harga bir di Munchen. Namun, rencana kenaikan harga bir itu ternyata langsung mendapatkan tentangan keras dari penduduk Munchen. Penyebabnya, tulis Wolff, “orang-orang Munchen betah hidup tanpa banyak hal, tapi tidak bisa hidup tanpa bir.”

Sejak peristiwa itulah Oktoberfest semakin identik dengan festival bir. Dan dalam gelaran Oktoberfest 1896, secara resmi tenda-tenda bir pun mulai ikut ambil dalam acara.

Bir-Bir Berkualitas

Amy Koerner, penulis Jerman, menilai bahwa sebenarnya ada banyak cara untuk bersenang-senang di Oktoberfest. Para pengunjung bisa pamer setelan busana tradisional, menikmati musik, hingga, sebagaimana diutarakan David Crossland dari The Times, mencari jodoh. Ketika Koerner mengatakan bahwa “para penggemar bir harus datang ke Oktoberfest paling tidak sekali di sepanjang hidupnya”, ia tentu saja punya alasan kuat.

Menurut situs Beergembira, setiap tahunnya Oktoberfest memang menawarkan varian bir sangat terbatas, yang hanya terdiri dari enam bir lokal Bavaria: Augustiner, Hacker-Pschorr, Hofrau, Lowenbrau, Paulaner, dan Spaten. Meski begitu, kualitas bir-bir itu ternyata tidak sembarangan. Selain terkenal di Jerman, bir-bir tersebut juga terkenal di segala penjuru dunia.

Spaten, misalnya, merupakan salah satu bir terbaik Jerman sekaligus bir favorit warga Jerman. Sementara itu Hofrau, yang pernah mendapatkan penghargaan dari Kerajaan Bavaria, adalah bir favorit para turis mancanegara.

Adapun, Augustiner, Paulaner, Hacker-Pschorr, dan Lowenbrau juga punya penggemar tak kalah banyak dari Hofrau dan Spaten. Paulaner disukai para peminum debutan. Augustiner, seperti Spaten, merupakan bir pujaan orang-orang Munchen. Sementara Lowenbrau merupakan bir yang paling sering diekspor ke mancanegara, Hacker-Pschorr adalah bir favorit Moses Wolff. Hacker-Pschorr, kata Wolff, “volumenya lebih banyak dan sedikit manis karena malt. Berasap, ada rasa terbakar yang menyenangkan ketika meminumnya.”

Selain itu, berbeda dengan bir-bir dari tempat lainnya, bir-bir dalam Oktoberfest juga masih dibuat berdasarkan Undang-Undang Kemurnian Bir Bavaria atau Undang-Undang Reinheitsgebot. Undang-undang itu mengatur bahwa bir hanya boleh dibuat menggunakan bahan-bahan penting, seperti jelai, hop, dan air. Karenanya, bir-bir Oktoberfest bisa lepas dari bahan pengawet yang bisa memperburuk rasa. Dan menurut BBC, kemurnian bir inilah yang kemudian menjadi salah satu alasan mengapa bir-bir Oktoberfest jadi bir paling enak di dunia.

Eric Asimov, kritikus bir dari New York Times, pun setuju dengan BBC. “Bir Oktoberfest adalah mahakarya antara keseimbangan dan integrasi, yang lezat tanpa terlihat mewah. Bir itu bekerja sebagaimana mestinya: menyegarkan, dan meski memiliki daya tarik yang menjengkelkan, ia tak sampai mengganggu percakapan,” tulis Asimov.

Maka tak heran apabila bir-bir dalam Oktoberfest selalu menjadi bidikan utama untuk bersenang-senang. Statista mencatat: sejak 1980 hingga 2018, Oktoberfest rata-rata berhasil menghabiskan 6 juta liter bir setiap tahunnya. Yang paling sedikit terjadi dalam gelaran Oktoberfest 1980, yakni sebanyak 3,38 juta liter bir. Sedangkan yang paling banyak terjadi pada Oktoberfest 2014, yakni mencapai 7,7 juta liter bir.

Infografik Mozaik Oktoberfest

Infografik Mozaik Oktoberfest. tirto.id/Nauval

Memperkuat Kebersamaan

Yang menarik, jika dilihat berdasarkan bagaimana Oktoberfest berawal dan berkembang, tradisi dan kualitas bir tentu saja mempunyai peran penting di dalamnya. Namun jika dilihat lebih jauh lagi, kesuksesan Oktoberfest sebenarnya juga tak luput dari satu hal pokok lainnya: arti penting bir bagi orang-orang Jerman.

Di sepanjang 2018, Statista mencatat bahwa Jerman merupakan produsen bir terbesar di Eropa. Mampu menghasilkan sekitar 8,2 miliar liter bir, Jerman unggul jauh dari Britania Raya dan Polandia yang berada di peringkat kedua dan ketiga. Sementara Britania Raya hanya mampu menghasilkan seiktar 4,5 miliar liter bir, Polandia menghasil sekitar 4 miliar liter bir.

Dari sana, tak sedikit orang yang kemudian berasumsi bahwa Jerman adalah negara dengan tingkat konsumsi bir paling banter di dunia. Padahal, pada kenyataannya, orang-orang Ceko, Namibia, serta Austria ternyata lebih banyak mengonsumsi bir dibanding orang-orang Jerman. Mengapa demikan?

Dalam salah satu tulisannya di Time, Courtney Mifsud pernah menjelaskan bahwa manusia sebenarnya sudah menjadikan bir sebagai alat untuk perayaan selama ribuan tahun lamanya. Hal itu tak lepas dari penemuan para arkeolog saat melacak asal-usul peradaban manusia. Arkeolog itu, tulis Courtney, menemukan bukti bahwa bir merupakan alat yang paling kuat untuk menjaga komunitas manusia. Dan sampai sekarang, Jerman ternyata masih menghidupi esensi tersebut: mereka tidak menenggak bir secara asal-asalan, melainkan untuk memperkuat kebersamaan.

Yang menarik, kebiasaan orang-orang Jerman dalam menenggak bir untuk memperkuat komunitas tersebut ternyata tidak hanya dapat dilihat dalam Oktoberfest, tapi juga dapat dilihat saat mereka menonton pertandingan sepakbola.

Pada 29 September 2019, sekitar pukul setengah dua belas siang hingga tiga sore waktu Hamburg, reporter Tirto Widia Primastika berada di Stadion Milerntor, markas St Pauli, untuk menonton pertandingan antara St Pauli melawan SV Sandhausen. Saat itu ia setidaknya melihat bir laris manis terjual melebihi apapun.

Sebelum masuk ke tribun utara Milerntor, misalnya, Tika melihat para penggemar St Pauli antre di kios-kios minuman yang terdapat di dalam stadion. Kios-kios itu menawarkan berbagai jenis minuman, seperti air putih, jus, cola, dan lain-lain. Tapi, kata Tika, “Para penggemar St Pauli akan pergi dari kios itu sambil membawa tiga sampai empat gelas bir berukuran 500 ml di kedua tangan mereka.”

Dan saat bir-bir itu habis di tengah-tengah pertandingan, para penggemar St Pauli akan menghilang secepat ninja, pergi ke kios, lalu kembali ke atas tribun dengan membawa dua sampai tiga gelas bir yang sudah terisi penuh.

Setelah pertandingan, pemandangannya tak jauh berbeda. Ada tiga orang, lima orang, dan, seingat Tika, beberapa orang lagi yang bersilewaran di luar Milerntor sambil berjualan bir. Mereka menggendong jeriken penuh bir di punggung, tersenyum, dan berteriak, “Bier! Bier! Bier! (Bir! Bir! Bir!).” Beberapa saat kemudian, bir mereka langsung ludes terjual di tangan para penggemar St Pauli.

Setelah melihat pemandangan tersebut serta merasakan atmosfer pertandingan, Tika pun berpendapat bahwa bir mampu menjaga kekompakan para penggemar St Pauli. Bir adalah bahan bakar utama penggemar St Pauli untuk bernyanyi bersama, menyoraki tim lawan, dan mengumpat ke wasit di sepanjang pertandingan.

Bahkan, “mereka tak jarang melakukan cheers satu sama lain. Padahal beberapa di antara mereka sebetulnya tak saling kenal,” kata Tika.

Kemudian, soal konsumsi bir sesudah pertandingan, Tika menambahkan, “Harga bir di sini lebih murah dari air putih. Mungkin mereka membeli bir karena haus.”

Baca juga artikel terkait FESTIVAL atau tulisan lainnya dari Renalto Setiawan

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Renalto Setiawan
Editor: Ivan Aulia Ahsan