Menuju konten utama
30 Oktober 1946

Sejarah Oeang Repoeblik Indonesia dan Modal Kemerdekaan dari Rakyat

Setelah merdeka, pemerintah mengisi kekosongan kas negara dengan meminjam uang kepada rakyat.

Sejarah Oeang Repoeblik Indonesia dan Modal Kemerdekaan dari Rakyat
Ilustrasi Mozaik Oeang Repoeblik Indonesia. tirto.id/Sabit

tirto.id - Setelah Proklamasi Kemerdekaan dibacakan, kondisi ekonomi Indonesia masih carut-marut. Uang Jepang masih beredar di tanah air. Di sisi ekspor-impor, Belanda memblokade jalur perdagangan Indonesia sejak November 1945. Ini membuat perekonomian nasional kalang kabut. Sementara sepanjang 1945-1950, Indonesia terus dihadapkan pada Perang Kemerdekaan dan pembentukan formasi pemerintahan.

Menurut Nugroho Notosusanto dalam Sejarah Nasional Indonesia (2008), kondisi kas negara saat itu kosong. Baru pada 1946 Menteri Keuangan Ir. Surachman berupaya mengisi kekosongan kas negara dengan melakukan pinjaman kepada rakyat sebesar 1 miliar rupiah yang terbagi dua tahap. Untuk mendukung langkah ini, pada Juli 1946 pemerintah mewajibkan seluruh penduduk Jawa dan Madura--sesuai kesepakan Linggarjati kedua wilayah ini masuk dalam kekuasaan RI--diharuskan menyetorkan uangnya kepada Bank Tabungan Pos dan rumah pegadaian. Pinjaman nasional tahap pertama ini berhasil mengumpulkan dana sebesar 500 juta rupiah. Itulah modal awal Indonesia merdeka.

Ketika tahap kedua pinjaman belum sempat dilaksanakan, Pemerintahan Sipil Hindia Belanda (NICA) keburu mengeluarkan mata uang untuk mengganti peredaran uang Jepang. NICA pula yang menguasai bank sentral De Javasche Bank dan menentukan kurs sebesar 3 persen, yaitu setiap 1 yen Jepang dihargai 3 sen uang NICA. Mereka berdalih pengeluaran mata uang itu karena status politik Indonesia masih belum menentu.

Pemerintah RI bereaksi keras terhadap tindakan NICA dengan cara melarang masyarakat menggunakan mata uang NICA sebagai alat bayar di wilayah RI. Pemerintah Indonesia kemudian mengeluarkan Oeang Repoeblik Indonesia (ORI) sebagai pengganti uang Jepang. ORI mulai berlaku pada 30 Oktober 1946, tepat hari ini 74 tahun lalu.

"Sekarang kita bilang mudah mencetak uang, tapi waktu itu bahan kimia pun kita tidak punya: saya harus melakukan perjalanan dari Jakarta ke Yogyakarta, dan mengatur percetakan di Magelang dan Solo, serta di Malang. Kita harus menembus blokade Belanda ke Singapura untuk mendapatkan bahan-bahan, dan kemudian mencetak uang itu secara rahasia,” ungkap Soemitro Djojohadikusumo dalam Pelaku Berkisah (2005).

Berapa nilai kursnya? “Setiap Rp1000 mata uang Jepang ditukar dengan 1 Rupiah ORI,” sebut Nugroho.

Untuk mengatasi persoalan ekonomi yang kian ruwet, pemerintah mendirikan Bank Negara Indonesia pada 1 November 1946. Bank inilah yang diberi tugas mengatur nilai tukar ORI dengan valuta asing.

Di tengah situasi Perang Kemerdekaan, Belanda juga semakin mendominasi perekonomian Indonesia dengan perusahaan-perusahaan yang dikenal sebagai “Big Five” seperti Shell, Unilever, DSM, AKZO/Nobel, dan Philips. Selain itu, blokade Belanda terhadap perdagangan perkebunan dan pertanian juga semakin ketat. Mereka mengadakan patroli-patroli laut untuk mengawasi perdagangan dari Indonesia.

Cari Duit dengan “Penyelundupan”

Dari perkara pelik inilah upaya-upaya menembus blokade itu dilakukan dengan berbagai cara, termasuk melegalkan “penyelundupan”—menurut versi Belanda. Belakangan, otak-otak cerdik orang Indonesia berhasil membawa barang ekspor itu ke luar negeri, melalui jalur-jalur yang luput dari patroli Belanda.

Untuk menutupi kas negara dan mencari dana revolusi, Bung Hatta memerintahkan untuk mendirikan Central Trading Company (CTC) di Bukittinggi pada 1947. CTC merupakan perusahaan milik pemerintah pertama yang berdiri di Indonesia yang melakukan perdagangan dengan luar negeri. Tujuannya mendapatkan devisa sekaligus sebagai upaya melawan monopoli Big Five. Modal CTC 99 persen milik pemerintah, khususnya BNI 1946.

Perusahaan ini dikelola oleh dua direktur keturunan Aceh, Teuku Abdul Hamid Anwar dan Teuku Mohammad Daud—selain itu ada juga Haji Tahir dari Palembang. "Ia (Hatta) mempercayakan manajemennya (CTC) kepada dua orang yang menurut dia tidak terbebani oleh sikap feodal Jawa," ungkap Soedarpo Sastrosatomo dalam buku Pelaku Berkisah (2005).

Sementara Richard Robinson dalam Indonesia: The Rise of Capital (2009) menyebutkan keterlibatan orang-orang Partai Sosialis Indonesia (PSI) dalam pendirian CTC. “Pada awal 1950an, CTC terkait erat dengan Sultan [Hamengku Buwono IX], Dr Sumitro dan PSI, kekuatan pendorong di balik pendirian perusahaan nasional, CTC,” terangnya.

Sumitro tak menyangkal dirinya terlibat dalam CTC. Menurutnya, Perdana Menteri Syarir memanggilnya pulang ke Indonesia untuk ikut menjadi “tink thank” CTC dan juga merencanakan penggantian mata uang Jepang di Indonesia.

“…saya pulang ke Indonesia dari Negeri Belanda tahun 1946 dan menjadi asisten Sutan Sjahrir. Itulah pertama kalinya saya berjumpa dengan dia,” kata Sumitro.

Infografik Mozaik Oeang Doeloe

Infografik Mozaik Oeang Doeloe. tirto.id/Sabit

Tanpa diberi uang dan visa, dan atas perintah Syahrir pula, Sumitro terbang ke Amerika Serikat pada 1947 untuk melakukan lobi terkait resolusi DK PBB sekaligus mengatur alur distribusi “penyelundupan” ke negeri itu. Upaya Sumitro membuahkan hasil, AS condong membantu Indonesia dalam sengketa politik dengan Belanda di KMB. Sebagai imbalannya Paman Sam mendapatkan suplai vanili dan kapuk dari Indonesia.

Tidak hanya dua komoditas itu yang diselundupkan. Karet, kopi, dan bahkan candu juga jadi barang dagangan.

"Kadang-kadang, dengan suntikan modal, kami menerima kiriman berisi opium mentah dari Jawa dengan pesawat kecil. Kami jual barang itu dan barang-barang lain kepada Cina di Pekanbaru, yang kemudian menyelundupkannya ke Malaya," ujar Muhammad Daud, mantan Direktur CTC dalam Pelaku Berkisah (2005).

Saat itu perdagangan candu legal. Barang ini sudah diperdagangan sejak zaman kolonial, tetapi kemudian terbengkalai di zaman Jepang. Oleh CTC, candu dimanfaatkan lagi untuk diselundupkan ke New York. “Pabriknya ada di daerah FEUI (Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia) sekarang,” jelas Sudarpo.

Menurut penuturan Sudarpo, candu-candu dari pabrik itu diselundupkan melalui Singapura dan Malaya lalu dibawa lagi ke Karachi, Delhi, Kairo, Manila, dan Bangkok, dan keuntungannya disalurkan ke tempat-tempat lain lewat New York.

Hasil penyelundupan candu dimasukkan melalui rekening untuk menghindari penyitaan Belanda. "Saya dinasihatkan untuk memasukkan dana itu ke dalam rekening dengan nama-nama palsu, tetapi dengan wewenang notaris untuk menariknya," kata Sudarpo.

Menurut Nugroho Notosusanto dalam Sejarah Nasional Indonesia (2008), “Hasil-hasil ekspor terutama ke Singapura, mencapai jumlah puluhan ribu ton. Selama 1946 saja, barang-barang yang diterima oleh Singapura dari Sumatera seharga 20 juta dolar Malaya, sedangkan beras dari Jawa hanya 1 juta dolar Malaya.”

Pada awal merdeka kondisi ekonomi Indonesia memang masih karut-marut. Pernyataan kemerdekaan 75 tahun lalu itu kurang saksama memperhitungkan modal untuk merdeka. Tapi, Hatta, Syahrir, Sumitro, Sri Sultan, dan lain-lain seperti kata Chairil Anwar, “Kami sudah coba apa yang kami bisa/Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa…”

==========

Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 17 Agustus 2016. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.

Baca juga artikel terkait OEANG REPUBLIK INDONESIA atau tulisan lainnya dari Agung DH

tirto.id - Ekonomi
Penulis: Agung DH
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti & Irfan Teguh