Menuju konten utama

Sejarah Obat Generik: Melawan Monopoli & Eksklusivitas Merek Dagang

Penamaan baru pada obat-obatan menimbulkan monopoli merek dagang dan munculnya banyak nama untuk obat dengan racikan kimiawi serupa.

Sejarah Obat Generik: Melawan Monopoli & Eksklusivitas Merek Dagang
Ilustrasi Obat. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Suatu hari pada tahun 2013, saya menemani seorang kawan ke apotek di kawasan Beji, Depok. Saban malam ia duduk menatap layar komputer berjam-jam hingga kumandang azan Subuh terdengar. Setelah itu, ia mengeluh demam serta ngilu di sekitar leher hingga punggung.

Awalnya, saya mengira ia hendak membeli obat khusus dengan resep dokter. Namun ternyata ia hanya meminta paracetamol pada apoteker yang berjaga. Paracetamol yang ia beli dikemas tanpa merek. Menurutnya, paracetamol tanpa merek lebih bagus daripada yang bermerek. Benarkah?

Sekitar 1,5 abad lalu, obat-obatan merupakan perkara yang membuat dokter kebingungan. Sebagaimana dipaparkan Jeremy Greene dalam Generic: The Unbranding of Modern Medicine (2014), hal ini terjadi karena sistem penamaan obat yang rumit sehingga sukar diingat.

Pada pertengahan abad ke-19, obat umumnya dinamai sesuai dengan racikan kimiawi yang dikandungnya, misalnya "5α (alpha), 6α-7,8-didehydro-4,5-epoxy-17-methylmorphinan-3,6-diol diacetate" untuk obat pereda batuk dan demam, alih-alih menggunakan nama yang lebih mudah diingat.

Gara-gara penamaan yang rumit, tak jarang dokter keliru menuliskan resep untuk pasien. Apalagi pasien yang hendak membeli obat tanpa resep dokter, jelas sangat berbahaya.

Sadar bahwa sistem penamaan obat terlalu rumit, sejak awal abad ke-20 perusahaan farmasi berbenah. Hal ini dimulai oleh perusahaan farmasi asal Swiss dan Jerman, Farbenfabriken Bayer. Mereka mengganti nama obat pereda batuk dan demam yang semula "5α (alpha), 6α-7,8-didehydro-4,5-epoxy-17-methylmorphinan-3,6-diol diacetate" menjadi Heroin, dan "acetylsalicylic acid" menjadi Aspirin. Perusahaan farmasi asal Amerika Serikat bernama Parke Davis & Co juga melakukan hal yang sama. Mereka mengganti nama obat buatannya dari "(R)-4-(1-hydroxy-2-(methylamino)ethyl)benzene-1,2-diol" menjadi Adrenalin.

Perubahan penamaan obat ini sangat membantu masyarakat, terlebih bagi dokter yang hendak memberikan resep bagi pasiennya. Namun, penamaan baru ini menimbulkan masalah baru: monopoli.

Monopoli timbul karena nama obat dilindungi oleh hukum terkait merek dagang, dan karenanya segala hak penggunaan/pemanfaatan melekat secara eksklusif pada pihak yang memberikan nama tersebut. Aspirin, misalnya, hanya dapat digunakan oleh Bayer, bukan perusahaan farmasi lain. Dan karena Bayer merupakan perusahaan farmasi besar, mereka dapat melakukan serangkaian kampanye untuk memopulerkan Aspirin di tengah masyarakat.

Ketika Aspirin akhirnya menjadi sinonim bagi obat pereda sakit kepala, sukar bagi obat serupa dari perusahaan lain untuk bersaing. Bahkan, kembali merujuk buku yang ditulis Jeremy Greene, Aspirin sukses menjadi "penguasa pasar yang tak bisa ditandingi terkait obat untuk menyembuhkan sakit kepala." Ia memonopoli obat sakit kepala di seluruh dunia.

Selain monopoli, eksklusivitas penamaan obat yang hanya dapat digunakan oleh pemberi nama mengakibatkan munculnya banyak nama untuk obat dengan racikan kimiawi serupa. Obat yang semula bernama "N-acetyl-p-aminophenol 4-acetamidohenol" misalnya, oleh The Sterling-Winthrop Company dinamai Panadol. Sementara McNeil Laboratories menamai racikan ini sebagai Children's Tylenol Elixir. Hal ini membuat masyarakat kebingungan.

Akhirnya, Federal Trade Commision (FTC), lembaga di bawah Kementerian Perdagangan Amerika Serikat, melakukan reformasi di dunia farmasi pada tahun 1917. Mereka membagi nama obat menjadi dua, yakni genericide alias nama generik/umum/universal untuk obat yang tak memiliki hak eksklusif, dan nama merek dagang yang eksklusif digunakan.

Aspirin yang terlanjur dicap masyarakat sebagai obat sakit kepala, diambil oleh FTC untuk dijadikan nama generik dari "acetylsalicylic acid", serta memaksa Bayer menautkan nama "Bayer Aspirin" pada produk mereka. Sementara itu, karena Panadol dan Children's Tylenol Elixir belum sepopuler Aspirin, dua perusahaan ini diperbolehkan menggunakan nama tersebut dan FTC memilih Paracetamol sebagai nama generik dari "N-acetyl-p-aminophenol 4-acetamidohenol".

Dari reformasi yang dilakukan FTC, serta didasari betapa menggiurkannya bisnis obat-obatan, muncul perusahaan-perusahaan farmasi yang membuat versi murah dari obat-obatan bermerek. Dengan meniru racikan kimiawinya, obat-obatan ini dijual dengan nama generik semata alias dapat mendompleng klaim-klaim berkhasiat obat bermerek yang ditirunya.

Didukung oleh Presiden Ronald Reagen melalui Price Competition and Patent Term Restoration Act of 1984--undang-undang yang menghendaki pengendalian harga dan kompetisi di dunia obat-obatan--banjir besar-besaran obat generik terjadi sejak pertengahan dekade 1980-an. Fenomena ini melahirkan masalah baru berupa "paradox of similarity" alias paradok yang timbul atas satu pertanyaan mendasar: "Apakah obat generik sama berkhasiatnya dengan obat bermerek?"

Ini melahirkan dua jawaban yang membingungkan. Pertama, jika obat generik sama khasiatnya, tidak ada alasan untuk membeli obat bermerek karena harganya lebih mahal. Kedua, jika obat generik tidak memiliki khasiat, obat bermerek pun seharusnya tidak memiliki khasiat karena obat generik dan obat bermerek dibuat dengan racikan kimiawi serupa.

Infografik Obat Generik

Infografik Obat Generik. tirto.id/Fuad

Atas dasar paradox of similarity ini, Carter Eckert, bos perusahaan farmasi bernama Boots, meminta Betty Dong--profesor farmasi klinis asal University of California at San Francisco (UCSF)--untuk melakukan penelitian besar-besaran tentang perbedaan-perbedaan obat generik versus obat bermerek. Betty Dong sebelumnya pernah melakukan penelitian kecil-kecil terkait perbedaan dan persamaan obat tiroid.

Selain untuk mengungkap paradox of similarity, permintaan Eckert juga disebabkan oleh kemunculan obat versi generik yang membuat posisi tawar Synthroid (produksi Boots)--obat untuk menyembuhkan tiroid yang diluncurkan pada 1958--melemah di pasaran. Musababnya, obat generik diizinkan dijual di pasaran oleh Federal Drugs Administration (FDA atau BPOM-nya AS) bukan karena hasil uji klinis, tetapi hanya atas pembuktian bahwa obat generik memiliki kemiripan kimiawi dengan obat bermerek. Padahal, Boots mengklaim, Synthroid dibuat dengan racikan khusus, levothyroxine, yang mustahil ditiru obat bermerek lain apalagi obat generik.

Boots berupaya mencari sebanyak mungkin perbedaan kimiawi-biologis serta kemujaraban obat bermerek versus obat generik untuk menggiring opini masyarakat. Namun hasil penelitian Betty Dong ternyata tak menemukan satupun perbedaan antara obat bermerek dan obat generik. Ia menyimpulkan bahwa obat bermerek dan obat generik sama saja mustajabnya.

Meski demikian, seperti dituturkan Katherine Eban dalam Bottle of Lies: The Inside Story of the Generic Drug Boom (2019), di dunia kimia "sama saja" tidak dapat diartikan secara saklek atau mutlak sebagai "serupa." Musababnya, mengikuti hukum alam, atom dan terlebih molekul yang sama, dapat melahirkan material (physical properties) berbeda, tergantung dari suhu, cahaya, serta tekanan yang diberikan. Seperti air (satu atom hidrogen dan dua atom oksigen) misalnya, yang dapat terurai atomnya apabila dipanaskan.

Terlebih, sebagaimana dituturkan Geovanni Tafuri dalam studinya berjudul "National and International Difference in the Prices of Branded and Unbranded Medicine" (Journal of Generic Medicine Vol. 1 2004) dan Konjit Abebe dalam "In-vitro Evaluations of Quality Control Parameters of paracetamol tablets Marketed in Gondar City, Northwest Ethiopia" (Journal of Drug, Healthcare, and Patient Safety Vol. 12 2020), meskipun obat generik dan obat bermerek disebut memiliki khasiat yang sama, tetapi terdapat substansi aktif dan kualitas berbeda antara keduanya.

Baca juga artikel terkait OBAT GENERIK atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Irfan Teguh