Menuju konten utama

Sejarah Mu'tazilah: Tokoh Aliran, Pemikiran, dan Doktrin Ajarannya

Sejarah Mu'tazilah tidak bisa dilepaskan dari pemikiran tokoh pembangun aliran ini, yakni Washil bin Atha' Al-Makhzumi.

Sejarah Mu'tazilah: Tokoh Aliran, Pemikiran, dan Doktrin Ajarannya
ilustrasi perpustakaan. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Salah satu aliran teologi Islam yang mengagungkan akal di atas segala hal adalah Mu'tazilah. Dalil-dalil nas Al-Quran dan hadis adalah penopang dari kapasitas akal yang sudah dianugerahkan Allah SWT kepada manusia, demikian kesimpulan umum dari doktrin ajaran Mu'tazilah. Penganut aliran Mu'tazilah meyakini bahwa akal bisa mengantarkan pada keimanan dan ketaatan pada Allah SWT.

Aliran Mu'tazilah dipelopori tokoh intelektual muslim bernama Washil bin Atha' Al-Makhzumi pada tahun 700-an masehi di Irak. Dia dianggap sebagai tokoh pemula yang membangun aliran ini.

Mengutip ulasan karya Analiansyah bertajuk "Peran Akal dan Kebebasan Bertindak dalam Filsafat Ketuhanan Mu'tazilah" yang dimuat Jurnal Substantia (Vol. 15, No 1, 2013), Washil bin Atha’ lahir di Madinah pada masa pemerintahan salah satu khalifah Bani Umayyah, Abdul Malik bin Marwan (65-86 H/684-705 M).

Washil bin Atha’ mulai belajar dan mendalami agama Islam di Madinah. Ketika ia tumbuh dewasa, pengaruh Islam di bawah pemerintahan Khalifah al-Walid I (86-96 H/705-715 M) sedang meluas hingga mencapai Andalusia.

Saat dewasa, ia bermukim di Bashrah. Di kota tersebut, Washil berhubungan dan menimba ilmu dari banyak tokoh intelektual muslim, terutama Hasan al-Basri.

Selama hidupnya, Washil bin Atha’ memperoleh julukan al-Gazzal (penenun). Sebab, dia gemar sekali berkeliling dalam pasar tenun dan memberikan sumbangan kepada buruh-buruh melarat di kilang-kilang tenun.

Sejumlah kitab berpengaruh juga lahir dari pemikiran Washil bin Atha’. Misalnya, kitab Tabaqat al-Murji'ah, Tabaqat al-'Ulama wa al-Juhala, Kitab al-Taubah, Kitab Manzilah bain al-Manzilatain, dan Khutbah al-Tauhid wa al-Adl.

Washil bin Atha’ meninggal dunia pada masa pemerintahan Marwan II (127-132 H/744-750 M), juga khalifah dari Bani Umayyah. Sosoknya pun dikenang sebagai intelektual muslim yang zahid (asketis).

Salah satu sahabatnya, ‘Amr bin Ubaid menggambarkan Washil bin Atha’ sebagai seorang muslim zahid yang mendirikan salat di sepanjang malamnya. Washil juga tercatat berangkat haji dengan jalan kaki sebanyak empat kali.

Pemikiran Washil bin Atha'

Pada mulanya, Washil bin Atha' adalah murid ulama terkenal, Hasan Al-Bashri. Namun, Washil bin Atha' kemudian mengembangkan paham teologi tersendiri sehingga menentang pendapat gurunya tersebut.

Alkisah, suatu kali Hasan Al-Bashri menjelaskan pokok-pokok ajaran Khawarij yang memfatwakan bahwa pelaku dosa besar dihukum kafir. Hasan Al-Bashri mengomentari bahwa pelaku dosa besar tidak bisa digolongkan sebagai orang kafir, tetapi masin berstatus mukmin sepanjang ia beriman.

Lantas, Washil bin Atha' berkomentar atas pendapat Hasan Al-Bashri dengan menyatakan bahwa pelaku dosa besar tidak dapat dikategorikan mukmin, tidak bisa juga dianggap kafir. Kedudukan pelaku dosa besar, menurut Washil bin Atha', di antara 2 posisi (al-manzilatu baina manzilatain).

Dalam bahasa Arab, "mu'tazilah" artinya (keadaan) memisahkan diri. Pada kasus ini, penyematan nama Mu'tazilah berasal dari kejadian ketika Washil bin Atha' memisahkan diri dari golongan Hasan Al-Bahsri.

Lambat laun, Washil bin Atha' mengajarkan pemikirannya hingga menjadi aliran yang berpengaruh luas dan populer pada masa Dinasti Abbasiyah.

Saking populer dan kuatnya pengaruh Mu'tazilah, ia menjadi mazhab dan aliran resmi negara pada masa pemerintahan 4 khalifah Abbasiyah, yakni Al-Makmun (198-218 H), Al-Mu’tashim (218-227 H), Al-Watsiq (227-232 H), dan berakhir pada masa Al-Mutawakil (234 H).

Doktrin Ajaran Mu'tazilah

Doktrin Mu'tazilah terpusat pada 5 dasar ajaran (ushulul khamsah) yaitu, (1) At-Tauhīd (Keesaan Allah), (2) Al-‘Adlu (Keadilan Allah), (3) Al-Wa’du wa Al-Wa’id (janji dan ancaman), (4) Al-Manzilah baina Al-Manzilatain (posisi di antara 2 posisi), dan (5) Amar makruf nahi munkar (memerintahkan yang baik dan mencegah yang mungkar).

Berikut penjelasan mengenai 5 ajaran Mu'tazilah sebagaimana dikutip dari buku Akidah & Akhlak (2020) yang ditulis Sihabul Milahudin.

1. Mengesakan Tuhan (At-Tauhid)

Untuk mengesakan Allah SWT, ajaran Mu'tazilah menafikan dan mengingkari sifat-sifat Allah yang tertuang dalam Asmaul Husna. Menurut Mu'tazilah, ada kesalahpahaman umat Islam memahami tauhid Allah.

Penganut Mu'tazilah meyakini bahwa yang disebut sifat dan nama-nama-Nya yang Indah (Asmaul Husna) adalah satu kesatuan dengan Zat Allah SWT, bukan terpisah dari-Nya.

Selain itu, Mu'tazilah memandang bahwasanya Al-Quran adalah "makhluk baru". Dalam kasus ini, "makhluk" merujuk ke penggunaan bahasa Arab, yang artinya sesuatu yang diciptakan. Artinya, Allah menciptakan Al-Quran, serta terlepas dari sifat firman-Nya.

Sifat Allah juga Maha Agung dan di luar kekuatan panca indera manusia. Karena itu juga, ketika manusia masuk surga, mereka tidak dapat melihat Allah SWT.

2. Keadilan Allah SWT (Al-‘Adlu)

Mu'tazilah memandang bahwasanya manusia memiliki kehendak bebas (free will). Karena itu, ia bebas melakukan perbuatan apa pun di luar intervensi Allah SWT.

Menurut Mu'tazilah, Allah SWT tidak mungkin menciptakan keburukan, tidak juga menghendaki bencana, atau perbuatan dosa. Jika demikian, maka semua perbuatan buruk pasti dilakukan oleh manusia dengan kehendak bebas mereka sendiri.

Jika Allah memiliki intervensi terhadap perbuatan manusia maka keadilan tidak dapat ditegakkan. Bagaimana mungkin Allah memasukkan pendosa ke neraka atas perbuatan buruk yang sudah diatur oleh-Nya, demikian juga memberi pahala atas takdir baik yang sudah ditetapkan di Lauh Al-Mahfuz, sebagaimana pandangan aliran Jabariyah.

Apabila demikian keadaannya maka Allah SWT tidak adil. Karena itu, keadilan Allah terletak pada kehendak bebas yang Dia anugerahkan kepada manusia. Berbekal akalnya, manusia menentukan sendiri perbuatan mereka dan tidak terikat sama sekali dengan takdir.

3. Al-Manzilah baina Al-Manzilatain

Doktrin paling terkenal dari Mu'tazilah adalah derajat para pelaku dosa besar. Jika aliran Khawarij memandang bahwa orang yang berbuat dosa besar telah murtad dan keluar dari Islam, sementara Murjiah memandangnya tetap mukmin, maka Mu'tazilah berpandangan bahwa pelaku dosa besar tidak bisa dianggap mukmin, tidak bisa juga dibilang kafir.

Posisi pelaku dosa besar berada di antara dua posisi tersebut, yaitu fasik. Orang fasik memiliki derajat tersendiri, yaitu berada di bawah mukmin, namun di atas posisi kafir. Menurut Mu'tazilah, pelaku dosa besar yang tidak bertobat dan meninggal dalam kefasikan akan dimasukkan ke neraka selama-lamanya, namun hukumannya diringankan. Nerakanya tidak sepanas neraka yang dihuni oleh orang-orang kafir.

Sedangkan merujuk penjelasan Analiansyah dalam Jurnal Subtantia, Washil bin Atha’ berpendapat bahwa orang yang melakukan dosa besar dan tidak bertaubat hingga meninggal, di hari akhirat kelak akan berada di antara dua tempat (antara surga dan neraka). Tempat itu diistilahkan dengan Al-Manzilah Baina Al-Manzilatain. Konsep tersebut kemudian menjadi salah satu doktrin Mu'tazilah yang paling fundamental.

4. Amar Makruf, Nahi Munkar

Setiap muslim berkewajiban untuk mengajak kepada hal yang baik (amar makruf) dan melarang perbuatan buruk (nahi mukar). Namun, saat aliran Mu'tazilah menjadi mazhab resmi pemerintahan beberapa khalifah Dinasti Abbasiyah, penerapan prinsip menjadi sangat ekstrem.

Akibatnya, sejumlah ulama yang pendapatnya berseberangan dengan ajaran Mu'tazilah dipenjara dan disiksa agar menyetujui paham aliran Mu'tazilah.

Salah seorang ulama kesohor yang terkena dampak siksaan dan kurungan penjara itu ialah Imam Ahmad bin Hanbal yang menolak mengakui Al-Quran adalah makhluk seperti keyakinan Mu'tazilah.

5. Janji dan Ancaman (Al-Wa’du wa Al-Wa’id)

Allah SWT tidak akan pernah mengingkari janji dan ketentuannya. Jika seorang muslim berbuat baik, maka balasannya adalah pahala dan surga. Sebaliknya, perbuatan buruk diganjar dengan dosa dan balasan neraka.

Melalui akal, manusia diberi kemampuan untuk membedakan hal-hal baik dan buruk. Dengan kapasitas akal, manusia bisa memahami perintah Allah SWT meskipun belum sampai kepadanya pengetahuan agama.

Baca juga artikel terkait ILMU KALAM atau tulisan lainnya dari Abdul Hadi

tirto.id - Film
Kontributor: Abdul Hadi
Penulis: Abdul Hadi
Editor: Addi M Idhom