Menuju konten utama

Sejarah Modal Asing di Indonesia, 150 Tahun Warisan Zaman Kolonial

Kebijakan membuka keran investasi ala kolonial Belanda mengawali kecanduan Indonesia kepada modal asing yang tidak berubah dalam 150 tahun terakhir. 

Sejarah Modal Asing di Indonesia, 150 Tahun Warisan Zaman Kolonial
Stasiun lori tebu Pabrik Gula di Jatiroto tahun 1930. FOTO/KITLV

tirto.id - Dalam benak sebagian kolonialis Belanda abad ke-18 dan sebelumnya, Nusantara pada mulanya bukan tempat yang nyaman untuk ditinggali. Wilayah ini dianggap dipenuhi konflik antarpenguasa lokal yang saling bermusuhan tapi sama-sama membenci orang asing. Tidak banyak orang Belanda yang benar-benar mau menetap, kecuali mereka yang merasa gagal atau tidak punya kesempatan di negeri sendiri.

Menurut Bernard H.M. Vlekke dalam Nusantara: Sejarah Indonesia (2020: 290), stigma tersebut mulai berubah pada pertengahan abad ke-19. Pemodal Eropa makin tertarik untuk tinggal dan membuka peluang ekonomi di Hindia Belanda berkat kemajuan industri di negaranya. Kolonialisme yang awalnya hanya mengurusi soal perdagangan rempah, bertransformasi menjadi penjajahan menyeluruh bersamaan dengan kedatangan sistem ekonomi uang.

“Orang dari segala tingkat masyarakat mulai melihat Indonesia seperti Amerika abad ke-19: sebagai negeri yang menawarkan kesempatan bagus untuk memperoleh penghidupan baik bagi orang yang mau bekerja keras,” tulis Vlekke. Standar kemakmuran di negara rempah ini pun meningkat tatkala banyak orang-orang Eropa dari kalangan atas sampai bawah datang untuk bekerja.

Pada tahun 1870, pemerintah kolonial Belanda menghapus sistem Tanam Paksa dan mengesahkan Undang-Undang Agraria yang mengatur sistem sewa lahan komunal kepada pengusaha swasta. Peraturan ini diharapkan mampu menarik aktivitas penanaman modal asing sehingga pemulihan ekonomi pasca-Perang Jawa (1825-1830) dapat dipercepat.

Kebijakan membuka keran investasi selebar-lebarnya oleh pemerintah kolonial kala itu mengawali kecanduan Indonesia kepada modal asing yang hampir tidak berubah dalam 150 tahun terakhir. Modal asing tetap menjadi sumber dana pembangunan yang dipelihara Sukarno, dimanfaatkan habis-habisan oleh Orde Baru, dan tak berhenti digunakan hingga saat ini.

Gelombang Pertama

Berbeda dengan pemahaman yang menyebut orang-orang asing baru menanamkan uangnya setelah UU Agraria disahkan, penelitian yang dilakukan sejarawan Vincent Houben menunjukkan bahwa modal asing sebenarnya sudah datang jauh lebih awal. Sebagian tanah garapan di Jawa Barat pada awal abad ke-19 pernah dikelola oleh pengusaha Eropa dan Cina berkat praktik jual beli tanah yang dilakukan pada masa pemerintahan Daendels dan Raffles.

Meskipun terdapat larangan penyewaan tanah lungguh oleh pemerintah kolonial, tetapi sejak tahun 1827 praktik tersebut berlangsung kembali. Soal kontrak sewa tanah di tahun-tahun sebelumnya bahkan dikaitkan dengan kerusuhan besar di Jawa yang berlangsung selama lima tahun. Perang Jawa dinyatakan sebagai dampak dari pemerasan tenaga petani dan tanahnya yang digadaikan oleh elite pribumi kepada pengusaha asing.

Dalam tulisan yang terbit pada bunga rampai New Challenges in the Modern Economic History of Indonesia (1991: 51), Houben membuktikan bahwa puluhan ribu ton kopi dan gula yang dihasilkan di Jawa pada 1845 datang dari kebun-kebun yang dikelola pengusaha asing. Menurutnya, perkebunan kopi dan pabrik pengolahan gula pada waktu itu belum murni dimiliki pedagang swasta, tetapi lebih kepada bisnis keluarga pejabat kolonial. W.A. Baud, anak tertua mantan Gubernur Jenderal J.C. Baud (1833-1836), dikisahkan jauh-jauh merantau ke Jawa untuk menjadi pengusaha perkebunan.

Jan Breman dalam Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa (2014: 159) sepakat dengan argumen Houben. Dia mencatat adanya percobaan serius parlemen Belanda menarik modal asing swasta ke Hindia Belanda setelah laporan kolonial milik Willem van Hogendorp diterbitkan pada 1851. Hogendorp merupakan pejabat parlemen yang sejak lama ditugaskan menerapkan prinsip-prinsip liberal untuk menggantikan Tanam Paksa yang dinilai semakin tidak menguntungkan.

Hogendorp menggunakan pengalamannya keliling Jawa pada awal abad ke-19 untuk mendukung kebijakan impor modal dan pengetahuan dari Eropa guna membuka lahan liar. Dengan demikian, golongan pemodal Eropa bisa mendapat peluang bisnis yang mereka incar, sementara kaum petani punya kesempatan memperbaiki keadaan ekonominya. Kondisi tersebut, menurut pandangan Hogendorp, akan memperkaya negara.

Pada 1870, terjadi dua peristiwa penting, yakni penghapusan Tanam Paksa dan pembukaan Terusan Suez. Hal ini menarik gelombang besar pertama modal Eropa ke Hindia Belanda. Sejumlah perusahaan dagang dan bank berangsur-angsur didirikan di beberapa kota antara tahun 1860 dan 1880. Perusahaan dagang pemerintah yang didirikan Raja William I tercatat pernah menginvestasikan hampir 10 juta gulden untuk merangsang pembukaan lebih banyak perkebunan di Deli, Sumatra Timur.

Pengusaha swasta pertama yang tercatat berhasil membuka perkebunan Deli kala itu bernama Jacobus Nienhuys. Menurut catatan Thee Kian Wie dalam Plantation Agriculture and Export Growth an Economic History of East Sumatra, 1863-1942 (1977: 7), Nienhuys adalah pengusaha Belanda yang diberi kuasa oleh Pieter van den Arend & Consortium, sebuah asosiasi pedagang Rotterdam. Mereka yang awalnya hanya tengkulak tembakau Jawa malah meraup untung yang sangat besar usai menginvestasikan uangnya dalam perusahaan Deli Maatschappij.

Infografik Modal Asing Zaman Kolonial

Infografik Modal Asing Zaman Kolonial. tirto.id/Rangga

Investasi Asing Abad ke-20

Keberhasilan UU Agraria tak lantas membuat volume modal asing meningkat pesat dalam waktu singkat. Investasi asing swasta membutuhkan masa persiapan beberapa dekade sebelum mencapai titik yang dianggap berpengaruh. Titik ini baru terjadi sekitar tahun 1910 ketika orang-orang Inggris mulai memperluas pengaruh ekonomi mereka di wilayah jajahan Belanda.

Dalam buku Netherlands India: A Study of Plural Economy (2010: 310), Furnivall mencatat bahwa orang Inggris menguasai hampir 50 persen perusahaan pengolahan karet yang tersebar di Jawa pada tahun 1912. Sementara di perkebunan Deli, pengusaha Inggris yang berdampingan dengan pengusaha Swiss dan Jerman disebutkan memiliki nilai investasi hampir sama besar dengan pengusaha Belanda yang tiba setengah abad lebih dulu. Hal ini serta-merta membuat sebagian pengusaha Belanda merasa tersaingi.

“Rasa prihatin muncul di kalangan orang Belanda akibat kurva modal asing yang terus meningkat, sekitar tahun 1910, ketika beberapa perusahaan swasta besar mulai berpindah ke tangan orang Inggris dan Prancis,” tulis sejarawan kolonial itu.

Anne Booth mendukung temuan Furnivall melalui tesisnya yang terbit dalam The Indonesian Economy in the Nineteenth and Twentieth Centuries (1998: 257). Dia menunjukkan bagaimana investasi swasta meningkat pesat antara tahun 1910-an dan 1920-an, jauh di atas investasi pemerintah kolonial. Puncaknya pada 1930, nilai akumulasi aset asing yang tersebar di Nusantara mencapai empat miliar gulden (kira-kira 22 triliun rupiah dalam uang sekarang).

Pada 1933, nilai investasi Belanda yang sempat anjlok akibat depresi besar tiga tahun sebelumnya, kembali meningkat berkat diberlakukannya Ordonansi Krisis Impor. Dengan menggandakan impor barang-barang asal Belanda yang berharga tinggi, pemerintah memastikan barang-barang dari negara lain tidak bisa masuk. Cara ini berhasil dan modal Belanda pun kembali ke posisi atas.

Hal Hill dalam Investasi Asing dan Industrialisasi di Indonesia (1990: 10) memperkirakan total nilai investasi orang Belanda kala itu melambung hingga 63 persen. Sementara sisanya berada di tangan pengusaha Inggris, Prancis, Belgia, Amerika, Cina, dan Jepang. Sampai dekade 1940-an, presentase investasi Belanda di Indonesia menjadi salah satu yang tertinggi di dunia.

Dominasi modal Belanda di Indonesia masih bisa dirasakan bahkan setelah Indonesia merdeka. Tidak adanya keberpihakan kapital di kalangan bumiputra menimbulkan kemarahan di kalangan buruh. Sepanjang tahun 1957, mereka menggelar aksi mogok massal yang mengawali peristiwa Nasionalisasi Perusahaan Belanda.

Baca juga artikel terkait MODAL ASING atau tulisan lainnya dari Indira Ardanareswari

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Indira Ardanareswari
Editor: Irfan Teguh