Menuju konten utama

Sejarah Mekotek di Bali: Tradisi Kerajaan, Tolak Bala, Jadi Wisata

Tradisi Mekotek di Bali yang kini jadi atraksi wisata bermula dari sejarah peperangan Kerajaan Mengwi melawan Kerajaan Blambangan atau Banyuwangi.

Sejarah Mekotek di Bali: Tradisi Kerajaan, Tolak Bala, Jadi Wisata
Seorang pemuda berdiri di atas tongkat yang disatukan dalam Tradisi Mekotek saat Hari Raya Kuningan di Desa Munggu, Badung, Bali. ANTARA/Fikri Yusuf

tirto.id - Mekotek kini menjadi atraksi wisata baru di Bali. Sejarah mencatat, Mekotek semula merupakan tradisi Kerajaan Mengwi, salah satu kerajaan di Pulau Dewata. Sempat dihentikan oleh pemerintah kolonial Belanda, Mekotek kembali dihidupkan sebagai ritual atau upacara adat tolak bala karena serangan wabah penyakit.

Tradisi Mekotek merupakan adat khas Desa Munggu, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, Provinsi Bali. Di wilayah inilah dahulu berdiri Kerajaan Mengwi yang eksis pada abad ke-18 Masehi dan sempat terlibat peperangan dengan Kerajaan Blambangan yang berpusat di Banyuwangi, Jawa Timur.

Dikutip dari website resmi Pemerintah Kabupaten Badung, tradisi Mekotek dilakukan setiap 6 bulan sekali berdasarkan penanggalan Hindu, tepatnya pada Sabtu Kliwon di Hari Raya Kuningan atau setelah Hari Raya Galungan.

Upacara Mekotek diikuti oleh 2.000 peserta, dari usia 12 hingga 60 tahun. Para peserta yang membawa tongkat kayu (sebagai ganti tombak) dibagi dalam beberapa kelompok yang masing-masing terdiri dari 50 orang.

Kelompok-kelompok ini kemudian memainkan kayu yang dibawa, diadu ke atas dan membentuk kerucut atau piramida. Sesekali, ada peserta yang naik ke puncak piramida kayu itu untuk menggelorakan semangat kelompoknya. Sepanjang atraksi ini, diperdengarkan gamelan sebagai pengiring acara.

Sejarah Tradisi Mekotek

Seperti yang sudah disinggung di atas, tradisi Mekotek semula dilakukan untuk menyambut prajurit Kerajaan Mengwi yang datang dengan membawa kemenangan atas Kerajaan Blambangan di Banyuwangi.

Dikisahkan, Kerajaan Blambangan semula merupakan wilayah taklukkan Dinasti Mataram yang saat itu direpresentasikan oleh Kesultanan Kartasura (sebelum berganti menjadi Kasunanan Surakarta).

Pada 1743, Pakubuwana II selaku pemimpin Kesultanan Kartasura menyerahkan wilayah Blambangan kepada VOC atau Belanda. Lepasnya Blambangan dari Mataram membuat Kerajaan Mengwi bergerak untuk merebut wilayah di ujung timur Pulau Jawa itu.

Dikutip dari buku Pangeran Rempeg Jagapati: Pahlawan Perjuangan di Tanah Blambangan (2008) karya Hadi Moh. Sundoro, Mengwi menilai Blambangan sangat strategis dan menguntungkan jika berhasil dikuasai. Terlebih, antara Mengwi dengan Blambangan hanya dipisahkan oleh selat.

Selain dari sisi ekonomi dan perdagangan, Blambangan bagi Mengwi juga menjadi benteng terakhir untuk membendung masuknya pengaruh Islam ke Pulau Bali yang mayoritas beragama Hindu.

Di sisi lain, tulis I Made Sudjana dalam buku Nagari Tawon Madu: Sejarah Politik Blambangan Abad XVIII (2001), VOC menganggap Blambangan tidak terlalu penting dan akan mengurusi wilayah ini saat dibutuhkan nanti.

Invasi militer yang dilakukan Kerajaan Mengwi ke Blambangan ini tentunya memicu pertempuran. Mengwi pun meraih kemenangan yang kemudian diabadikan dalam tradisi Mekotek.

Dulu, perayaan Mekotek menggunakan besi atau tombak yang merupakan senjata para prajurit Mengwi saat menaklukkan Blambangan. Namun, demi keamanan, alat yang digunakan diganti dengan tongkat kayu sepanjang 3 sampai 5 meter. Para peserta Mekotek diwajibkan mengenakan pakaian adat madya, yaitu kancut dan udeng batik.

Tolak Bala Hingga Wisata

Pada akhirnya, hampir seluruh wilayah Nusantara, termasuk Bali, dikuasai oleh VOC yang kemudian beralih rupa menjadi pemerintah kolonial Hindia Belanda. Pada dekade kedua abad ke-20, tepatnya tahun 1915, tradisi Mekotek dihentikan paksa oleh Belanda.

Belanda merasa khawatir jika tradisi yang melibatkan ribuan warga Desa Munggu itu justru bakal memantik perlawanan terhadap pemerintah kolonial. Maka, meskipun sudah menjadi tradisi yang dilakukan berpuluh-puluh tahun, Mekotek terpaksa tidak digelar lagi.

Namun, yang terjadi kemudian, dikutip dari Kintamani.id, wabah penyakit menyerang Desa Munggu dan sekitarnya. Banyak orang yang meninggal dunia lantaran terserang penyakit misterius itu.

Para pemuka adat dan tokoh masyarakat Desa Munggu pun meminta kepada otoritas pemerintah kolonial di Badung untuk mengizinkan kembali diselenggarakannya tradisi Mekotek sebagai ritual tolak bala.

Belanda sempat menolak permintaan itu. Namun, karena korban semakin banyak yang berjatuhan, juga dengan negosiasi yang cukup alot, akhirnya tradisi Mekotek diizinkan untuk dilaksanakan kembali.

Kini, Mekotek bukan hanya dilestarikan sebagai tradisi maupun ritual tolak bala bagi masyarakat Desa Munggu. Keunikan pelaksanaan upacara adat ini ternyata menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan.

“Untuk itu kami mencoba mengemas tradisi Mekotek dalam bentuk fragmentari yang kami suguhkan selama wisatawan domestik maupun mancanegara yang menginap di wilayah Desa Wisata Munggu," papar Putu Suarda, tokoh pemuda dan masyarakat Desa Munggu, seperti dilansir Antara (21 Oktober 2019).

Selain sebagai salah satu cara untuk melestarikan tradisi, pengemasan tradisi Mekotek sebagai atraksi wisata diharapkan juga dapat menjadi kegiatan positif bagi para pemuda sekaligus meningkatkan perekonomian warga Desa Munggu.

Kegiatan ini didukung oleh Pemerintah Kabupaten Badung. “Kami menyambut baik pagelaran fragmentari Mekotek di Desa Munggu ini. Namun, kami harapkan kemasan atraksi wisata itu juga tetap menjaga kesakralan dari budaya Mekotek,” ucap Wakil Bupati Badung, I Ketut Suiasa.

Baca juga artikel terkait UPACARA ADAT atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Agung DH