Menuju konten utama
27 Oktober 1605

Sejarah Maharaja Akbar Memadukan Islam dan Hindu di India

Maharaja Akbar sering dianggap sebagai Sultan Mughal terbesar sepanjang sejarah India. Merumuskan konsep sinkretisme agama dalam Din-i-Ilahi.

Sejarah Maharaja Akbar Memadukan Islam dan Hindu di India
Maharaja Akbar. tirto.id/Nauval

tirto.id - Maharaja Akbar (1556-1605) murka saat mengetahui ada seorang brahmana yang dihukum mati karena dituduh mencuri dan mencela Islam. Bagi raja terbesar dalam sejarah Kesultanan Mughai di India ini, apapun kesalahan pemuka ajaran Hindu itu, hukuman mati dirasa terlalu berat.

Sang sultan sadar bahwa memang tidak mudah menjalankan pemerintahan Islam di tengah mayoritas masyarakat Hindu. Pertikaian antara warga muslim kontra penganut Hindu kerap terjadi. Belum lagi konflik dengan pemeluk agama atau kepercayaan lain, bahkan sesama umat Islam sendiri yang berbeda haluan karena merasa pihaknya yang paling benar.

Dari sinilah Maharaja Akbar mulai berpikir, bahwa seharusnya tidak boleh ada satu agama yang berhak mengklaim atau memonopoli suatu kebenaran atas agama-agama lain. Baginya, benar dan salah dalam beragama adalah urusan atau hak masing-masing umat dengan Sang Pencipta.

Maka, pada 1582, atas pemikiran Maharaja Akbar, tercetus semacam ajaran untuk memadukan unsur-unsur dalam agama Islam dan Hindu, ditambah unsur dari beberapa ajaran lainnya. Kepercayaan baru yang mengusung semangat toleransi dan harmonisasi ini dikenal sebagai Din-i-Ilahi.

Raja Islam Terbesar di India

Maharaja Akbar merupakan raja terbesar yang sukses membawa kerajaannya meraih masa kejayaan. Tak heran jika penguasa Kesultanan Mughal (Moghul) ke-3 ini punya julukan Akbar yang Agung, seperti dikutip dari The Emperor'S Writings: Memories of Akbar The Great (2011) karya Dirk Collier.

Riwayat Kesultanan Mughal yang bercorak Islam di India dapat dilacak dari penaklukan oleh Khalifah Al-Walid bin Abdul-Malik mewakili Dinasti Umayyah pada 711 Masehi. Inilah awal mula kehadiran Islam yang meninggalkan pengaruh kuat di tanah air umat Hindu tersebut.

Setelah era Khalifah Al-Walid, wilayah India secara bergantian dikuasai dinasti-dinasti Islam, hingga akhirnya tiba masa Zahiruddin Muḥammad alias Sultan Babur, pendiri Kesultanan Mughal di Agra, dekat Delhi, pada 1526. Sultan Babur adalah kakek Jalaluddin Muhammad Akbar atau yang kelak bergelar Sultan Maharaja Akbar.

Raja Mughal ke-2 adalah Sultan Humayun yang tidak lain adalah ayahanda Akbar. Pada 1556 Sultan Humayun wafat. Akbar yang baru berusia 14 lantas dinobatkan sebagai sultan baru. Namun, karena Akbar belum cukup umur, kendali pemerintahan untuk sementara dipegang Bhairam Khan.

Menurut Conflict and Conquest in the Islamic World a Historical Encyclopedia (2011) suntingan Alexander Mikaberidze, Bhairam Khan adalah jenderal tertinggi angkatan perang Kesultanan Mughal yang juga orang kepercayaan Sultan Humayun, mendiang ayahanda Maharaja Akbar.

Bhairam Khan menganut Syiah, sedangkan Akbar dan keluarga istana adalah Muslim Sunni. Setelah Akbar dewasa dan mengambil alih kerajaan, Bhairam Khan disingkirkan karena dianggap terlalu agresif serta ngotot menanamkan paham Syiah.

Maharaja Akbar membawa Kesultanan Mughal ke puncak masa emas. Wilayah-wilayah taklukan Mughal yang tercerai-berai sepeninggal Sultan Babur, dan situasi yang sempat mengalami serentetan konflik di masa pemerintahan Sultan Humayun, dapat dipersatukan lagi dan diperbaiki oleh Sultan Akbar.

Wilayah kekuasaan Kesultanan Mughal di bawah kepemimpinan Maharaja Akbar bertambah luas dan solid, mencakup Asia Selatan yakni sebagian besar India dan sub benua di sekitarnya (kini menjadi wilayah negara Bangladesh, Bhuta, Nepal, Maladewa, dan seterusnya), hingga kawasan Balochistan (kini sebagian Pakistan, Afghanistan, hingga Persia atau Iran).

Kisah Sultan yang Toleran

Salah satu kebijakan yang diterapkan Maharaja Akbar dalam mengelola negara adalah Sulh-i Kull atau Shalakul yang berarti toleransi universal. Dengan kebijakan ini, semua rakyat dipandang sama, tidak dikotak-kotakkan hanya karena perbedaan etnis maupun agama.

Karen Amstrong dalam Islam: A Short History (2000) menyebut, Sulh-i Kull yang diterapkan Akbar adalah sebuah aturan politik yang mengekspresikan cita-cita sufi, yaitu perdamaian universal yang secara positif mencari kesejahteraan materi dan rohaniah dari semua umat manusia.

Maharaja Akbar memang sangat menghargai keberagaman beragama dalam kehidupan di Kesultanan Mughal. Ia selalu mengingat sang kakek, Sultan Babur, agar jangan sekali-kali mempersulit hidup rakyat, termasuk mereka yang bukan pemeluk Islam.

Salah satu istri Maharaja Akbar adalah seorang perempuan Hindu. Ia memperbolehkan istri dan kaum wanita Hindu lainnya melaksanakan ajaran agama mereka di istana dengan sebebas-bebasnya.

Seperti yang dipaparkan C.E. Bosworth dalam The New Islamic Dynasties (1996), Maharaja Akbar mempersatukan berbagai etnis dan agama ke dalam suatu kelas penguasa di dalam pemerintahannya, yakni meliputi orang India, Turki, Afghanistan, hingga Persia.

Tak hanya itu, Maharaja Akbar juga kerap mengundang para pemuka agama lain untuk berdiskusi dengan para ahli fikih istana. Sang raja menilai, untuk menjamin kedamaian rakyat Mughal di India, Islam harus menerima unsur-unsur dari agama lain.

Beberapa kebijakan Akbar lainnya adalah penghapusan praktik perbudakan tawanan perang dan memaksakan agama Islam kepada mereka, penghapusan pajak masuk di candi-candi atau tempat peribadatan umat Hindu, sera penghapusan jizyah (pajak) untuk warga non-muslim.

Pada 1575 Maharaja Akbar mendirikan suatu tempat khusus untuk para ulama berdiskusi dan bertukar pikiran. Namun, perdebatan yang sering terjadi justru saling memojokkan. Mereka masing-masing merasa paling benar.

Puncaknya adalah saat dilakukannya hukuman mati terhadap seorang brahmana yang dituding melecehkan Islam dan mencuri di masjid. Dari kekesalan inilah muncul gagasan di pikiran Maharaja Akbar untuk merumuskan suatu konsep yang bisa memadukan seluruh unsur keagamaan di Mughal.

Maka, dikutip dari The Din-i-Ilahi or The Religion of Akbar (1997) tulisan Roy Choudhury dan Makhan Lal, pada 1582 Maharaja Akbar menciptakan Din-i-Ilahi, yang artinya “Agama Tuhan”.

Din-i-Ilahi: Alat Politik Penguasa?

Din-i-Ilahi menggabungkan unsur-unsur terbaik dari ajaran Islam dan Hindu, ditambah dari unsur agama atau kepercayaan lainnya seperti Kristen, Jainisme, Zoroastrianisme, dan seterusnya (sinkretisme).

Umar Asasudin Sokah melalui buku Din-i-Ilahi: Pemikiran Kontroversial Sultan Akbar Agung (1994) menganggap Din-i-Ilahi sama dengan konsep Pancasila sebagai way of life bagi bangsa Indonesia.

Akbar memang tidak lantas mendeklarasikan Din-i-Ilahi sebagai agama baru. Seperti halnya Soeharto yang memanfaatkan Pancasila untuk kepentingan politiknya, Akbar pun begitu. Din-i-Ilahi adalah alat utama birokrasi Akbar dalam usaha mencari legitimasi untuk menciptakan kepemimpinan langsung di bawah komandonya.

Infografik Mozaik Kaisar Akbar 3

Infografik Mozaik Kaisar Akbar 3. tirto.id/Nauval

Para pengikut, tulis Sokah, bersumpah mengorbankan jiwa, harta, agama, dan kehormatan demi Akbar. Dengan Din-i-Ilahi, Akbar menciptakan sistem yang menguntungkan, sehingga mereka yang bergabung bukan hanya akan menjadi bagian dari pemerintahan Mughal, tetapi juga bakal mempertahankannya habis-habisan.

Kenyataannya, Din-i-Ilahi memang tidak pernah menjadi agama atau kepercayaan baru dalam arti yang sesungguhnya. Tentangan keras dari kalangan muslim berpengaruh membuat Din-i-Ilahi sulit memikat banyak peminat, melainkan hanya para pejabat terdekat Akbar saja yang konon jumlahnya cuma belasan orang.

Taktik politik berbalut agama yang diterapkan Maharaja Akbar melalui Din-i-Ilahi pada akhirnya memang kandas. Banyak perlawanan muncul, bahkan dari salah satu putranya sendiri yang bernama Salim, yang berupaya merebut takhta sang ayah.

Maharaja Akbar melalui masa-masa senjanya dengan kenestapaan. Aksi pemberontakan yang terus-menerus dilancarkan Salim membuatnya sangat terluka. Belum lagi meninggalnya dua putra kembarnya, Hassan dan Hussein, kian merajam hati sang raja tua ini.

Situasi seperti ini semakin menggerogoti kesehatan Maharaja Akbar sejalan dengan usianya yang kian renta. Akibatnya, tulis Ajid Thohir dalam Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam (2004), Maharaja Akbar jatuh sakit. Ia menderita secara fisik maupun psikis.

Akhirnya, pada 27 Oktober 1605, tepat hari ini 414 tahun lalu, raja terbesar Kesultanan Mughal ini mengembuskan napas penghabisan. Maharaja Akbar mangkat dalam usia 63.

Salim, putranya sekaligus pemberontak itu, mengambil alih singasana dan dinobatkan sebagai Sultan Mughal ke-4 dengan gelar Maharaja Jahangir.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDIA atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya

tirto.id - Humaniora
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Ivan Aulia Ahsan