Menuju konten utama
Sejarah Hari Ini

Sejarah Lahirnya W.S. Rendra 7 November 1935

Tanggal 7 November 1934 adalah sejarah Lahirnya W.S. Rendra, sastrawan besar berjuluk Si Burung Merak.

Sejarah Lahirnya W.S. Rendra 7 November 1935
Ilustrasi Mozaik WS Rendra. tirto.id/Sabit

tirto.id - Sejarah hari ini, tanggal 7 November 1935 atau tepat 84 tahun lalu, W.S. Rendra dilahirkan di Solo, Jawa Tengah, dengan nama asli Willibrordus Surendra Broto Rendra. Kelak, ia terkenal sebagai sosok seniman dan sastrawan besar berjuluk Si Burung Merak.

Rendra lahir dari pasangan Raden Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo dan Raden Ayu Catharina Ismadillah. Dilihat dari nama-nama ini, sebut Harlina Indijati dan Abdul Muraddikutip dalam Biografi Pengarang Rendra dan Karyanya (1996), dapat ditebak keluarga ini adalah keluarga Katolik yang dibesarkan dalam lingkungan budaya Jawa.

Sugeng Brotoatmodjo adalah seorang guru Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa di salah satu sekolah Katolik di Solo. Selain itu, ayah Rendra ini juga dikenal sebagai pelaku seni drama tradisional. Sementara sang ibu, Raden Ayu Catharina, seorang penari di istana Kasunanan Surakarta Hadiningrat.

Tumbuh-besar di lingkungan seni dan budaya, maka tidak heran jika nantinya Rendra menjelma sebagai sosok seniman ulung yang telah menghasilkan seabrek karya sastra, dari puisi, naskah drama, cerpen, dan lainnya.

Kisah Si Burung Merak

Suatu hari, Rendra dan sahabatnya yang berasal dari Australia mengunjungi Kebun Binatang Gembiraloka di Yogyakarta untuk sekadar berekrasi. Saat mereka tiba di kandang burung merak, terlihat seekor merak jantan yang tengah dikerubungi merak-merak betina. Secara spontan, Rendra berkata, “Seperti itulah saya.”

Dari situlah julukan Si Burung Merak yang kemudian amat lekat dengan sosok Rendra berasal. Memang, sang pujangga ini pernah memiliki lebih dari satu istri.

Rangkaian puisi dan sajak pernah tercipta dari buah pikir Rendra,termasuk Blues untuk Bonnie, Sajak-sajak Sepatu Tua, Mencari Bapak, Perjalanan Bu Aminah, Nyanyian Orang Urakan, Disebabkan oleh Angin, Sajak Sebatang Lisong, Orang-Orang Rangkasbitung, State of Emergency, Doa untuk Anak-Cucu, dan masih banyak lagi.

Rendra piawai pula menulis naskah drama, seperti yang berjudul Orang-orang di Tikungan Jalan, Bib Bob Rambate Rate Rata, Selamatan Anak Cucu Sulaiman, Mastodon dan Burung Kondor, Kasidah Barzanji, Lingkaran Kapur Putih, Panembahan Reso, Kisah Perjuangan Suku Naga, Shalawat Barzanji, Sobrat, dan lainnya.

Selain itu, Rendra juga menerjemahkan karya sastra dari banyak tokoh besar dunia, seperti Hamlet dan Machbeth karya William Shakespeare, lalu Oedipus Rex, Odipus di Kolonus, dan Antigone karya Sophokles, juga Lysistrata karya Aristophanes.

Tahun 1961, sepulangnya dari sekolah di Amerika Serikat, Rendra membentuk kelompok teater di Yogyakarta. Selanjutnya pada 1985, tulis Ulinuha Rosyadi dalam Biografi Tokoh Sastra (2012), ia mendirikan markas kegiatan berkesenian yang ia namakan Bengkel Teater. Di sinilah segala proses penciptaan karya dijalani Rendra.

Berkarya Adalah Ibadah

Kepada Anton Lake, mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada (UGM) yang pernah mewawancarainya, Rendra berkata bahwa ia tak henti-hentinya mempertanyakan gejala-gejala yang ada di sekitar untuk direnungkan dan dipertanyakan kembali.

“Berulang-ulang dan seterusnya,” ucap Rendra seperti dikutip Bakdi Soemanto lewat tulisannya bertajuk “Si Burung Merak” yang terhimpun dalam buku Rendra, Ia Tak Pernah Pergi (2009).

Si Burung Merak juga pernah menyatakan, seniman bukanlah penghibur yang tidak perlu penghayatan. Rendra, tulis Fridiyanto di buku Kaum Intelektual dalam Catatan Kaki Kekuasaan (2017), menegaskan bahwa setiap karyanya dicipta melalui relevansi sosial yang merupakan kodrat seorang seniman.

Menciptakan karya, kata Rendra, adalah ibadah. Menciptakan puisi, misalnya, merupakan proses yang mengharuskan manusia untuk peka terhadap panggilan pesona dan lingkungan, alam, manusia, serta hewan atau semua ciptaan Tuhan dan masalah yang mereka hadapi.

"Anda pasti ingin terlibat dengan mereka sehingga Anda sampai pada tahap manjing ajer-ajer [saya ada karena Anda ada],” kata Rendra dalam wawancara dengan Suzan Piper dari Inside Indonesia (2007).

“Dan yang terakhir adalah menyadari karsaning Hyang Widhi, kehendak Tuhan, atau apa yang Anda sebut dengan istilah sekuler nilai-nilai universal,” lanjut sastrawan yang akrab disapa Willy ini.

“Tanpa ketiganya, ruang untuk beribadah tidak akan ada. Seseorang harus terlibat secara kontekstual, pada dasarnya hadir dan disejajarkan dengan nilai-nilai universal. Saat itulah ruang itu terbuka,” bebernya.

Pada 2008, Rendra memperoleh gelar Doktor Honoris Causa (HC) dari UGM. Karya-karya Rendra dianggap berpengaruh dalam khazanah satra di Indonesia. Rendra juga dikenal konsisten dalam berkarya sehingga karena proses itu karya-karya sastra yang besar muncul.

Namun, gelar tersebut tak membuat seniman yang juga menerima banyak penghargaan dari dalam maupun luar negeri ini berniat mengajar di perguruan tinggi. Rendra mengaku bangga dan berterimakasih atas pemberian gelar dari UGM itu, tapi tidak ingin masuk kancah akademis.

Kurang lebih setahun setelah menerima gelar dari UGM itu, tepatnya tanggal 6 Agustus 2009 di Depok, dekat Jakarta, W.S. Rendra menutup mata untuk selama-lamanya. Si Burung Merak wafat dalam usia 73 tahun.

Baca juga artikel terkait WS RENDRA atau tulisan lainnya dari Febriansyah

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Febriansyah
Penulis: Febriansyah
Editor: Iswara N Raditya