Menuju konten utama
28 Juni 1965

Sejarah Lahirnya Harian Kompas dan Asal-Usul Jurnalisme Kepiting

Kompas lahir dengan tujuan melawan wacana PKI. Menjadi koran penting di zaman Orde Baru dan cukup berhati-hati dalam berwarta.

Sejarah Lahirnya Harian Kompas dan Asal-Usul Jurnalisme Kepiting
Ilustrasi logo harian Kompas. tirto.id/Nauval

tirto.id - Sebelum Oktober 1965, Harian Rakjat bukan lawan enteng bagi kaum anti-Partai Komunis Indonesia (PKI). Bahkan Angkatan Darat, yang dikenal sebagai musuh utama komunis di Indonesia, tak mampu seorang diri melawan berita-berita dari koran yang bagi mereka tak ubahnya corong PKI. Harian Rakjat yang terbit sejak 1951 punya oplah 100 ribu eksemplar. Musuh-musuh PKI tentu merasa PKI akan menang lagi jika pemilu diadakan pada 1965 itu.

Suatu hari, Menteri Panglima Angkatan Darat (Menpangad) Letnan Jenderal Ahmad Yani menelepon Menteri Perkebunan Frans Seda, seorang politikus dari golongan Katolik. Yani, seperti dicatat St Sularto dalam Syukur Tiada Akhir: Jejak Langkah Jacob Oetama (2007: 112), punya ide untuk membangun koran guna menandingi Harian Rakjat (corong PKI) yang oplahnya besar. Yani berharap ada media alternatif dari kalangan Katolik. Frans Seda kemudian membahas ide Yani bersama tokoh Katolik lain, Ignatius Josef Kasimo.

“Ide Jenderal Yani tersebut berkembang di kalangan pimpinan Partai Katolik, tetapi dianggap sesuatu yang berat,” tulis Frans Seda dalam Kompas (28/6/1990). Tapi berbahagialah Partai Katolik, mereka punya Petrus Kanisius Ojong dan Jakob Oetama. Sebelum ide soal surat kabar untuk melawan komunis itu muncul, Ojong dan Jacob sudah mendirikan majalah pengetahuan bernama Intisari dan sebelumnya malang melintang di surat kabar.

Demi terealisasinya koran baru itu, Jajasan Bentara Rakjat kemudian didirikan pada awal 1965. Semula koran itu hendak diberi nama Bentara Rakjat, yang nama belakangnya mirip dengan koran yang hendak mereka lawan. Nama Bentara Rakjat barangkali agak menantang. Nama itu tak jadi dipakai. Sukarno mengarahkan agar dinamai Kompas. Arahan pemimpin besar revolusi itu pun mereka pakai. Nama Kompas sebelumnya pernah dipakai sebagai nama majalah mingguan era 1950-an. Sejarawan militer Nugroho Notosusanto pernah memimpin redaksinya.

Meski didukung orang nomor satu Angkatan Darat, izin tidak mudah keluar. Mamak Sutamat dalam Kompas Menjadi Perkasa karena Kata (2012: 16-17) mengisahkan sebagian perwira menengah Kodam Jaya yang dianggap terpengaruh PKI berusaha mencegah munculnya surat kabar ini. Tapi, koran yang mereka idam-idamkan itu terbit juga pada 28 Juni 1965, tepat hari ini 55 tahun lalu, di masa yang disebut Frans Seda sebagai "sikon revolusioner".

Kompas pertama terbit dengan hanya empat halaman dan enam iklan. Kantor redaksinya menumpang rumah Jacob. Di halaman muka Kompas, nama Jacob Oetama bersama P.K. Ojong ditulis sebagai pendiri.

Kompas berusaha menyesuaikan zaman. Di awal kelahirannya, menurut tajuk rencana edisi 28 Juni 1965, Kompas mengikuti apa yang menjadi garis arahan dari Presiden Sukarno. Tak hanya Pancasila, tapi juga Manipol. Meski lahir dari orang-orang Katolik, Kompas kemudian menjadi bacaan seluruh rakyat Indonesia.

Tiga bulan setelah Kompas terbit, pada dini hari 1 Oktober 1965, Yani, sang penggagas, menjadi korban penculikan kelompok G30S dan terbunuh. Dua hari setelah kematian Yani, pada 3 Oktober 1965, Harian Rakjat tak cetak lagi. Setelahnya itu, kolega Yani, yakni Letnan Jenderal Soeharto, naik jadi orang nomor satu di Angkatan Darat dan kemudian menjadi orang nomor satu di Indonesia. PKI pun tak bisa hidup lagi.

Waktu itu Kompas menjadi salah satu koran penting selain Sinar Harapan (yang terkait golongan protestan) dan tentu bersama koran tentara Berita Yudha dan Angkatan Bersenjata. Dalam Jurnalisme dan Politik di Indonesia (2011: 126), David Hill menyebut Kompas sebagai koran bergengsi setelah Orde Baru dimulai, seperti halnya Sinar Harapan yang dipimpin Aristides Katoppo dan kawan-kawan. Menurut Hill, kedua koran ini punya sirkulasi yang tinggi di zaman orde baru. “Koran-koran Kristen ini berhati-hati secara politis,” tulis David T. Hill.

Infografik Mozaik Harian Kompas

Infografik Mozaik Kompas Diterbitkan. tirto.id/Nauval

Diberedel Pemerintah

Meski dikenal berhati-hati, ada kalanya Kompas dan Sinar Harapan bikin jengah pihak yang berkuasa. Sinar Harapan diberedel pada 1986 setelah memberitakan devaluasi nilai rupiah dan menyoroti rencana pemerintah mencabut izin dari 44 monopoli impor. Orang-orang Sinar Harapan lalu membangun koran baru, Suara Pembaruan.

Kompas sendiri pernah nyaris diberedel. “Tanggal 19 dan 20 Januari 1978 , Kompas menulis tajuk tentang gerakan mahasiswa itu dan tanggal 21 Januari Kompas dibredel,” tulis Helen Ishwara dalam P.K. Ojong: Hidup Sederhana, Berpikir Mulia (2001: 243).

St. Sularto dalam biografi Jacob Oetama menyebut Kompas berhenti beredar selama dua minggu, sejak tanggal 21 januari 1978. Beruntungnya, pemerintah kala itu menawarkan “pengampunan”. Pada 5 Februari, pemerintah menawarkan penandatanganan permintaan maaf dan kesetiaan dengan kop surat tertanggal 28 januari 1978. Kompas pun kemudian terbit lagi dan selalu berhati-hati agar pemberitaannya tidak memancing amarah penguasa.

“Dibandingkan dengan koran-koran lain yang sukses di pasaran, bendera Kompas-lah yang paling lama berkibar sepanjang perjalanan sejarah,” tulis David Hill dalam Pers Orde Baru (2011: 101).

Hill menyebut Kompas punya pembaca setia yang cukup banyak. Bahkan di antara pelanggannya juga membaca koran pesaing Kompas. Tak hanya aman, pendapatan koran Kompas dari iklan sangat besar. Sayap usaha media Kompas kemudian berkembang dan menguasai pasar.

Kompas, bersama Intisari dan media lainnya di bawah komando Jakob Oetama, berkembang lewat imperium media bernama Kelompok Kompas Gramedia. Kelompok media ini, menurut Hill, “terus menerus menjaga agar tulisan-tulisan mereka tidak melampaui batas”. Dari sinilah kelak muncul istilah "jurnalisme kepiting".

Sejak itulah Kompas tampil menjadi media moderat yang berpengaruh di Indonesia hingga hari ini.

Baca juga artikel terkait JURNALISME atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Politik
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Windu Jusuf