Menuju konten utama

Sejarah Lahirnya Gunung Anak Krakatau: Mewarisi Erupsi & Tsunami

Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda merupakan kelanjutan dari Gunung Krakatau yang meletus pada 1883 dan Gunung Krakatau Purba yang erupsi pada abad ke-5.

Sejarah Lahirnya Gunung Anak Krakatau: Mewarisi Erupsi & Tsunami
Gumpalan awan menyembur saat terjadi letusan Gunung Anak Krakatau (GAK) di Selat Sunda, Banten, Senin (10/12/2018). ANTARA FOTO/Weli Ayu Rejeki/af/hp.

tirto.id - Longsoran Gunung Anak Krakatau memicu gelombang tsunami di Selat Sunda pada Sabtu (22/12/2018) lalu dan masih berpotensi terjadi. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) sejak Kamis (27/12/2018) pun meningkatkan status aktivitas gunung ini dari Waspada menjadi Siaga. Bagaimana sejarah erupsi dan lahirnya Gunung Anak Krakatau?

Pada abad ke-5 Masehi, Gunung Batuwara meledak hebat dan menimbulkan tsunami besar. Sebagian tanah ambles, membentuk Selat Sunda, serta membelah sebagian Pulau Jawa yang melahirkan Pulau Sumatera. Beberapa ahli geologi kala itu menyimpulkan Gunung Batuwara, yang disebut-sebut dalam naskah kuno Jawa, adalah Gunung Krakatau Purba.

Dikutip dari buku Krakatau: Laboratorium Alam di Selat Sunda (2007) terbitan Pusat Survei Sumber Daya Alam Laut Universitas Indonesia, letusan ini mengakibatkan Gunung Krakatau Purba hancur dengan menyisakan kaldera (kawah besar) di bawah laut. Tepi kawahnya membentuk tiga pulau, yakni Pulau Rakata, Pulau Panjang (Pulau Rakata Kecil), dan Pulau Sertung.

Lantaran dorongan vulkanik dari dalam perut bumi, Pulau Rakata, satu dari ketiga pulau hasil letusan Gunung Krakatau Purba pada abad ke-5 M, berkembang menjadi gunung baru yang terbuat dari batuan basaltic. Dalam proses ini, lahir dua gunung lain dari kawah di area yang sama, yakni Gunung Danan dan Gunung Perbuwatan.

Gunung Turun-Temurun

Oman Abdurrahman dan Priatna dalam buku Hidup di Atas Tiga Lempeng: Gunung Api dan Bencana Geologi (2011) mengungkapkan, gunung dari Pulau Rakata, Gunung Danan, dan Gunung Perbuwatan, tumbuh bersama dalam proses yang sangat lama. Ketiga gunung inilah yang kemudian bersatu menjadi Gunung Krakatau.

Menjelang dini hari tanggal 27 Agustus 1883, ketika wilayah Nusantara di bawah penguasaan pemerintah kolonial Hindia Belanda, Gunung Krakatau meletus dengan dahsyatnya. Terjadi empat kali ledakan besar, disusul empat kali pula gelombang tsunami di Selat Sunda.

Catatan pemerintah kolonial, dikutip Kartono Tjandra dalam buku Empat Bencana Geologi yang Paling Mematikan (2018), menyebutkan, lebih dari 36 ribu orang tewas akibat erupsi Gunung Krakatau ini. Referensi lain bahkan mengklaim jumlah korban jiwa jauh lebih besar, hingga 120 ribu orang.

Wimpy S. Tjetjep dalam buku Dari Gunung Api hingga Otonomi Daerah (2002) menuliskan, letusan besar Gunung Krakatau tahun 1883 menghancurkan sekitar 60 persen dari tubuh gunung itu. Di bekas berdirinya Krakatau, tersisa kaldera purba yang sama dengan kejadian pasca-erupsi Gunung Krakatau Purba pada abad ke-5.

Dari area kawah besar yang masih aktif itu, lahir lagi gunung baru yang mulai terlihat sejak 1927 atau empat dekade setelah erupsi Gunung Krakatau tahun 1883. Gunung terbaru inilah yang kemudian dinamakan Gunung Anak Krakatau.

Siaga Anak Krakatau

Pertumbuhan Gunung Anak Krakatau berjalan relatif cepat, tiap bulan bertambah tinggi sekitar 0,5 meter. Pada perkembangan awalnya, gunung ini menjadi lebih tinggi sekitar 6 meter dan lebih lebar 12 meter setiap tahunnya. Namun, sejak dekade 1990-an, penambahan tingginya agak melambat.

Menurut catatan PVMBG, sejak awal munculnya hingga tahun 2000 atau dalam jangka waktu 73 tahun, Gunung Anak Krakatau meletus sebanyak lebih dari 11 kali, tetapi belum sampai pada taraf yang mengkhawatirkan.

Tahun 2018, aktivitas Gunung Anak Krakatau mengalami peningkatan, hingga terjadilah tsunami di Selat Sunda pada 22 Desember 2018 lalu yang menelan korban ratusan jiwa. Gelombang air bah menerpa lantaran dipicu oleh runtuhan sebagian tubuh gunung yang longsor di dalam laut.

Hingga saat ini, Gunung Anak Krakatau terus dipantau karena potensi tsunami masih bisa terjadi lagi. Status yang ditingkatkan menjadi siaga juga sebagai antisipasi apabila Gunung Anak Krakatau erupsi. Hujan abu pun mulai dirasakan sebagian wilayah Banten.

“Gunung Anak Krakatau [dinaikkan statusnya] dari Waspada (Level II) menjadi Siaga (Level III)," jelas Kepala Pusat Data, Informasi dan Hubungan Masyarakat Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho, Kamis (27/12/2018).

"Masyarakat dan wisatawan dilarang melakukan aktivitas di dalam radius 5 km dari puncak kawah karena berbahaya dan dapat terkena dampak erupsi berupa lontaran batu pijar, awan panas serta abu vulkanik pekat,” imbuhnya.

Baca juga artikel terkait STATUS GUNUNG ANAK KRAKATAU atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Iswara N Raditya