Menuju konten utama

Sejarah Lagu & Lirik Darah Juang, Pengobar Semangat Demo Mahasiswa

Gelombang demo mahasiswa pecah di Jakarta dan hampir seluruh kota Indonesia, begitu pula lagu "Darah Juang" yang terus berkumandang, seperti apa sejarah lagu ini?

Sejarah Lagu & Lirik Darah Juang, Pengobar Semangat Demo Mahasiswa
Ratusan mahasiswa dari berbagai kampus turun ke jalan menuju gerbang DPR/MPR dalam aksi protes menolak kebijakan revisi UU KPK pada Kamis (19/09/19). tirto.id/Bhagavad Sambadha

tirto.id - Lagu yang baik, seperti dikatakan banyak orang, adalah lagu yang selalu memiliki relevansi dengan kondisi saat ini, atau lebih tepatnya tak mudah digilas zaman. Jika indikatornya begitu, maka lagu "Darah Juang" masuk dalam kategori tersebut.

Di saat masa-masa gelap "pembungkaman" atas ketidakadilan yang dilakukan Orde Baru, lagu "Darah Juang" menjadi semacam suara bersama yang bergema di hati banyak orang. Ia ada bersama aksi mahasiswa dan aktivis secara besar-besaran maupun diskusi-diskusi kecil, sebagai pembakar semangat pergerakan terhadap penindasan.

Soeharto, sebagaimana ikon serta pemimpin rezim Orde Baru, memang telah tumbang sekitar 21 tahun yang lalu. Tapi memori kolektif kembali dibukakan atas sikap mahasiswa dan masyarakat yang memilih turun ke jalan baru-baru ini. Mereka menuntut sejumlah hal yang dinilai bisa memundurkan semangat demokrasi.

Gelombang demonstrasi pun pecah di hampir seluruh kota di Indonesia seperti Jakarta, Medan, Semarang, Solo, Balikpapan, Lampung, Makassar dan masih banyak lagi, tak ketinggalan pula Yogyakarta atau yang dikenal dengan seruan #GejayanMemanggil.

Jalan Gejayan, kini bernama Jalan Affandi adalah lokasi bersejarah. Tempat ini adalah monumen perlawanan mahasiswa terhadap Soeharto tahun 1998 silam. Aksi Gejayan berpuncak pada 8 Mei 1998, yang menjadi bagian dari gelombang besar di seantero Indonesia, terutama Jakarta, yang akhirnya membuat Soeharto lengser keprabon pada 21 Mei 1998.

Pada demo 23 September 2019 kemarin, lagu "Darah Juang" kembali dikumandangkan oleh peserta aksi di Gejayan, Sleman, Yogyakarta. Mereka menuntut sejumlah hal, seperti menolak UU KPK yang baru disahkan, RUU KHUP, RUU Agraria, RUU Ketenagakerjaan, persoalan kerusakan lingkungan dan kriminalisasi aktivis.

"Mereka dirampas haknya Tergusur dan lapar bunda relakan darah juang kami tuk membebaskan rakyat..." nyanyian dari peserta aksi.

Sejarah Lagu dan Lirik Darah Juang

Dikutip dari buku Penakluk Rezim Orde Baru: Gerakan Mahasiswa 1998, tulisan Muridan Satrio, lagu "Darah Juang" diciptakan pada awal 1990-an. Lagu ini populer di kalangan aktivis mahasiswa, terutama di Yogyakarta, kemudian berkembang ke daerah-daerah lain.

Saat itu, pengorbanan adalah harga yang pasti harus dibayar. Oleh karena itu, mereka sadar atas sikap mereka sehingga munculah frasa yang tergambar dalam "Darah Juang". Kata "darah" sendiri menunjukkan akan totalitas mahasiswa untuk menghadapi risiko apa pun yang diakibatkan dari protes mereka terhadap penguasa. Sementara kata "juang" adalah sikap dari perjuangan itu sendiri.

Atas segala persoalan ketidakadilan dan pembungkaman yang muncul saat itu, lagu ini cepat mendapat tempat sekaligus menjadi pengobar semangat, yang kemudian hari selalu dinyanyikan oleh aktivis mahasiswa setiap kali hendak menggelar aksi.

Seperti ditulis jurnalis Anang Zakaria dalam "Mantra Darah Juang Johnsony dan Jejak Kejatuhan Soeharto" di Beritagar, lagu ini tercipta saat John Tobing, kala itu mahasiswa Fakultas Filsatat UGM, dan kawan-kawan aktivis Keluarga Mahasiswa UGM (KM UGM) sedang berkumpul di Gejayan, Yogyakarta.

Kala itu, pria bernama lengkap Johnsony Marhasak Lumbantobing itu tengah bermain gitar dan tiba-tiba tercipta sebuah nada. Karena merasa bagus, ia kemudian meminta rekan sesama aktivis di KM-UGM, Dadang Juliantara, untuk menulis liriknya.

Setelah lagunya selesai, John kembali memainkannya di depan kawan-kawan sambil membenahinya. Namun, lagu tersebut mendapat masukan dari kawannya, mahasiswa Fakultas Ekonomi UGM, yang tak lain adalah Budiman Sudjatmiko, kini politikus PDIP.

Budiman bilang, liriknya kebanyakan memakai kata "Tuhan" sehingga ia menyarankan untuk mengganti dengan kata "Bunda". John mengiyakan, kemudian jadilah sebuah lirik: "Bunda relakan darah juang kami, padamu kami berbakti."

Lagu dan lirik sudah jadi, tapi judulnya belum ada. Tetapi, lagu ini sering dibawakan John di depan aktivis mahasiswa. John bilang, judul lagu ini pada akhirnya terilhami oleh celetukan frasa "Darah Juang" dari seorang aktivis saat ia tampil di pertemuan Forum Komunikasi Mahasiswa Yogyakarta (FKMY). Kendati demikian, John tak tahu siapa nama aktivis yang memberi judul itu.

Sejak saat itu, lagu "Darah Juang" menjadi pengobar semangat setiap aksi yang dilakukan aktivis mahasiswa dan ikut mewarnai tumbangnya Soeharto dari tampuk kekuasaannya. Bahkan, ikut dinyanyikan saat peserta aksi menduduki gedung DPR/MPR di Jakarta pada Mei 1998.

Puluhan tahun sudah lagu ini mewarnai pergerakan dan aksi mahasiswa yang memprotes ketidakadilan dan kesewenang-wenangan dari penguasa. Tepat pada 23 September 2019 lalu, lagu ini kembali berkumandang di aksi Gejayan Memanggil, sebuah lokasi yang tak jauh dari tempat John Tobing dan kawan-kawannya membuat lagu ini.

Berikut Lirik Lagu Darah Juang

Di sini negeri kami

Tempat padi terhampar

Samudranya kaya raya

Tanah kami subur tuan...

Di negeri permai ini

Berjuta Rakyat bersimbah ruah

Anak kurus tak sekolah

Pemuda desa tak kerja...

Mereka dirampas haknya tergusur dan lapar bunda relakan darah juang kami tuk membebaskan rakyat...

Mereka dirampas haknya tergusur dan lapar bunda relakan darah juang kami pada mu kami berbakti padamu kami mengabdi

Di negeri permai ini

Berjuta Rakyat bersimbah ruah

Anak kurus tak sekolah

Pemuda desa tak kerja...

Mereka dirampas haknya tergusur dan lapar bunda relakan darah juang kami tuk membebaskan rakyat...

Mereka dirampas haknya Tergusur dan lapar bunda relakan darah juang kami pada mu kami berbakti padamu kami mengabdi

Baca juga artikel terkait AKSI GEJAYAN atau tulisan lainnya dari Alexander Haryanto

tirto.id - Musik
Penulis: Alexander Haryanto
Editor: Agung DH