Menuju konten utama

Sejarah Korupsi KPU: Lingkaran Setan Penyelenggara Pemilu & Parpol

Kedekatan komisioner KPU dengan anggota DPR menguatkan kemungkinan konflik kepentingan yang bisa berujung korupsi.

Sejarah Korupsi KPU: Lingkaran Setan Penyelenggara Pemilu & Parpol
Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jakarta. ANTARA FOTO/RENO ESNIR

tirto.id - “Siap, mainkan.”

Dua kata tersebut cukup membuat Komisi Pemberantasan Korupsi yakin Wahyu Setiawan menyanggupi permohonan caleg PDIP Harun Masiku untuk kepentingan pergantian antarwaktu (PAW). Permintaan Harun disampaikan kepada Wahyu melalui sekretarisnya, Agustiani Tio Fridelina. Mahar yang menjadi kesepakatan mencapai Rp900 juta.

Dalam pembelaannya, Wahyu mengklaim pesan WhatsApp itu tidak dimaksudkan untuk menyetujui suap, melainkan membantu proses PAW sesuai aturan dan ketentuan yang berlaku. Tafsiran Wahyu, dia ingin surat permohonan PAW dikirimkan kepadanya. Pada praktiknya, justru uang lah yang dikirim Harun kepada Agustiani melalui Saeful Bahri, staf Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto.

PDIP merekomendasikan Harun untuk maju sebagai anggota DPR menggantikan caleg DPR terpilih dari PDIP dapil Sumatera Selatan I, Nazarudin Kiemas, yang meninggal dunia. Keputusan KPU menetapkan Riezky Aprilia sebagai penggantinya karena punya suara tertinggi kedua setelah Nazarudin. PDIP tak setuju karena menurut mereka pergantian anggota adalah hak partai.

"Jadi keputusan hanya satu kali. Keputusan PAW diputuskan satu kali. Dan itu merupakan bagian dari kedaulatan partai politik," kata Hasto di JIEXPO Kemayoran, Jakarta Pusat, Minggu (12/1/2020).

Meski demikian Hasto mengaku partainya sudah patuh terhadap putusan KPU pada awal Januari 2020. Mereka tidak tahu terkait tindakan yang dilakukan Harun menyuap komisioner KPU tersebut. Bagaimanapun Wahyu yang diduga menerima suap sudah menambah panjang daftar komisioner penyelenggara pemilu yang terjerat pidana korupsi.

Korupsi KPU: Suap, Pengadaan Logistik, sampai PAW

Dibentuk tahun 1999, KPU awalnya terlihat bebas dari kasus korupsi. Pada periode selanjutnya, berduyun-duyun komisioner KPU dijerat pidana korupsi, termasuk juga ketuanya.

Mulyana Wira Kusumah adalah orang yang pertama kali tertangkap dari jajaran komisioner KPU. Mulyana dicokok pada April 2005 karena berusaha menutupi korupsi pengadaan kotak suara KPU untuk Pemilu 2004. Kasus itu tengah diselidiki Badan Pemeriksa Keuangan.

Mulyana yang khawatir kemudian bertemu dengan Susongko Suhardjo, Wakil Sekretaris Jenderal KPU untuk membahas penyelidikan tersebut. Dia juga bertemu dengan anggota tim investigasi BPK, Khairiansyah Salman. Dalam pertemuan itu Mulyana meminta Salman menghilangkan temuan indikasi penyimpangan pengadaan kotak suara. Imbalan yang ditawarkan di angka Rp200 juta-Rp300 juta.

Mulyana melakukan pemberian sebanyak dua kali. Masing-masing Rp150 juta dan Rp100 juta. Pada 8 April 2015, di mana pemberian kedua dilakukan, tim KPK yang telah membuntuti Mulyana kemudian melakukan penangkapan.

Mulyana dipidana 2 tahun 7 bulan penjara dengan denda Rp50 juta pengganti tiga bulan kurungan.

Pada Mei 2015 giliran Ketua KPU periode 2001-2005, Nazaruddin Sjamsuddin. Dia menandatangani perjanjian kerja sama pertanggungan asuransi kecelakaan diri antara KPU dengan PT Asuransi Umum Bumiputera Muda 1967. Preminya mencapai Rp14,8 miliar. Masalahnya, keputusan Nazaruddin tak melalui pertimbangan panitia pengadaan, penentuan harga perkiraan sendiri (HPS), ataupun negosiasi harga.

Nazaruddin kemudian menugaskan Kabiro Keuangan KPU Hamdani Amin untuk melengkapi persyaratan administrasi yang dibutuhkan. Singkatnya, Hamdani kemudian mendapat komisi senilai 566.795 dolar Amerika. Uang itu dibagi-bagikan kepada beberapa pihak atas perintah Nazaruddin. Kasus ini menyeret Nazaruddin ke meja hijau dengan vonis 7 tahun penjara.

Rusadi Kantaprawira selaku komisioner KPU periode yang sama adalah salah satu yang menerima uang hasil kejahatan Nazaruddin. Kendati demikian Rusadi justru diciduk KPK dalam perkara pengadaan tinta sidik jari untuk pemilu DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota tahun 2004 pada Juni 2005. Dana pengadaan itu bersumber dari APBN.

Rusadi bersama Achmad Rojadi menunjuk langsung 8 rekanan untuk pengadaan barang. Padahal hal itu bertentangan dengan peraturan. Delapan rekanan itu juga belum tentu memenuhi syarat administrasi.

Dalam pertemuan tertutup kemudian, Rusadi bersama Rojadi menggugurkan empat rekanan yang kemudian disuruh mengajukan skema anggaran pengadaan barang. Dua orang itu lantas menetapkan perkiraan anggaran berdasar pandangan pribadi tanpa bantuan konsultan.

Rusadi mendapat keuntungan dengan berjalan-jalan untuk melakukan peninjauan barang di India. Padahal barang-barang itu sudah didatangkan rekanan ke Indonesia. Perjalanan itu juga dibiayai rekanan, meski negara telah menganggarkan perjalanan untuk survei.

Pengadaan tinta itu dianggap KPK telah merugikan negara sebesar Rp4,662 miliar atau setidak-tidaknya Rp1,382 miliar jika dihitung berdasar harga negosiasi terendah yang seharusnya bisa didapatkan negara. Rusadi harus mendekam di penjara selama empat tahun untuk mempertanggungjawabkan tindakannya.

Yang terakhir tertangkap adalah Daan Dimara pada Februari 2006. Kasusnya terjadi pada 2004 saat Daan memalsukan Nota Dinas untuk menunjuk PT Royal Standar mengerjakan pembuatan/pencetakan segel surat suara dalam Pileg 2004. Perbuatan Daan disinyalir KPK merugikan keuangan negara sebesar Rp3,5 miliar. Dia akhirnya mendapat vonis empat tahun penjara oleh majelis hakim pengadilan tindak pidana korupsi.

Kini yang teranyar, komisioner KPU Wahyu Setiawan disuap untuk memuluskan laju caleg melengos ke DPR. Sejarah membuktikan, KPU yang harus netral untuk menjaga pemilu jujur dan adil nyatanya tidak berhasil menjaga marwah lembaga. Setelah vakum hampir 15 tahun, kembali lagi komisioner KPU tertangkap KPK.

Celah Berujung Suap

PAW memang menjadi medan pertempuran bagi partai politik dan KPU. UU nomor 17 tahun 2014 soal MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) Pasal 239 menyebutkan PAW bisa dilakukan berdasar keputusan partai sesuai peraturan perundang-undangan.

Namun Pasal 242 menegaskan, PAW diisi caleg yang mendapat suara terbanyak berikutnya dari partai yang sama. KPU periode 2010-2015 pernah menemui kasus serupa Harun Masiku dan menolak PAW yang ditunjuk partai dengan mengesampingkan perolehan suara terbanyak. Sebagaimana diwartakan Detik, KPU menolak keinginan partai. Ini menjadi satu masalah tersendiri dalam pemilihan anggota DPR.

Tapi penolakan itu sia-sia belaka. KPU tiba-tiba memuluskan PAW keinginan partai. Presiden Joko Widodo menetapkan keputusan presiden yang mengangkat Eva Kusuma Sundari, yang mendapat suara ketiga terbanyak dalam pileg 2014-2019 dapil Jawa Timur, menggantikan Pramono Anung. Kala itu Pramono Anung ditarik ke jajaran kabinet. Pramono, seperti dilaporkan Tempo (28/12/2015), berpendapat terpilihnya Eva tak lepas dari faktor politis keputusan partai.

Kejadian ini terulang lagi di tahun 2020. Bedanya, jika pada 2015 perubahan sikap KPU tidak diketahui sebabnya, kali ini KPK menemukan ada usaha mengubah sikap KPU lewat suap. Peluang suap ini tak lepas dari problem akut menyangkut rekrutmen komisioner KPU.

Seluruh komisioner KPU terpilih melalui proses seleksi. Pada tahap akhir mereka akan melakukan fit and proper test di DPR. Mereka yang lolos nantinya akan dilantik oleh presiden. Intinya, siapa yang lolos menjadi komisioner disukai oleh partai politik.

Wahyu, sebagai contoh, punya latar belakang yang bisa membuatnya rentan dengan konflik kepentingan. Sewaktu di bangku kuliah Wahyu ikut dalam Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI). Organisasi ini pada 1950-an hingga 1960-an berafiliasi dengan Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan Sukarno.

Setelah ada kebijakan fusi partai di masa Orde Baru, PNI dilebur ke dalam ke Partai Demokrasi Indonesia (PDI), pendahulu PDIP. Para aktivis GMNI pun melanjutkan karier politik mereka di partai ini. Almarhum Taufiq Kiemas, suami Megawati, adalah salah satu contohnya.

Ketika PDIP dibentuk setelah Soeharto lengser, jaringan GMNI di dalamnya tetap dominan. Beberapa politikus PDIP yang menonjol saat ini seperti Djarot Saiful Hidayat, Eva K. Sundari, Ahmad Basarah, dan Ganjar Pranowo adalah alumni GMNI. Orang kepercayaan Wahyu, Agustiani, juga berasal dari organisasi kemahasiswaan itu. Agustiani pernah pula menjadi caleg DPR dari PDIP.

Infografik Komisioner KPU Tersandung Korupsi

Infografik Komisioner KPU Tersandung Korupsi. tirto.id/Rangga

Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pelita Harapan, Ignatius Ismanto, menilai pemilihan komisioner KPU oleh anggota DPR seharusnya dihilangkan. Dia menduga sangat mungkin akan ada “kontrak politik” di antara kedua pihak.

“Yang ideal adalah mekanisme dan seleksi keanggotaan KPU harus melalui team yang sifatnya juga independen,” tulis Ismanto dalam Pemilihan Presiden Secara Langsung 2004: Dokumentasi, Analisis dan Kritik (2004).

Dugaan seperti ini makin dikuatkan oleh Wahyu sendiri dalam pernyataannya di sidang etik. Dia mengaku tak bisa menolak pertemuan tak resmi dengan Saeful ataupun Agustiani karena mengenal dekat keduanya.

Hakim Mahkamah Konstitusi Saldi Isra pernah mencatat bahwa skandal korupsi yang dilakukan mantan Ketua KPU Nazaruddin Sjamsuddin sebenarnya bisa menyasar aktor-aktor lain yang terkait skandal tersebut. Namun aktor lain itu tak pernah terungkap.

Dalam Kekuasaan dan Perilaku Korupsi: Catatan Hukum (2009), Saldi mengulang kembali pernyataan anggota DPR dari fraksi Partai Demokrat, Benny K. Harman, bahwa dirinya sudah sadar akan ada beberapa orang yang lolos dari prahara. Pernyataan Benny, menurut Saldi, “didasarkan pada posisi politik beberapa anggota KPU.”

Untuk menjaga independensi, KPU sebenarnya sudah mempunyai Dewan Kehormatan KPU (DK KPU) yang sekarang dikenal dengan nama Dewan Kehormatan Penyelenggaran Pemilu (DKPP). Kelemahan dewan ini diungkap guru besar hukum tata negara Universitas Islam Indonesia, Ni’matul Huda, melalui buku Penataan Demokrasi dan Pemilu di Indonesia (2017).

Selain karena anggota DKPP disahkan DPR, DKPP merekomendasikan hasil pemeriksaan terhadap KPU. Pembentukan dan pertanggungjawaban DKPP, menurut Ni’matul, tetap saja pada KPU. DKPP baru mengambil langkah ketika sudah ada lembaga lain yang menyelidiki. Bagi Ni’matul, absennya inisiatif DKPP ini pertanda kurangnya efektivitas.

“Dengan kata lain DK KPU (DKPP) berada di bawah 'ketiak' KPU,” catat Ni’matul.

Baca juga artikel terkait KORUPSI atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Politik
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Ivan Aulia Ahsan