Menuju konten utama
Jogja Darurat Klitih

Sejarah Klitih, Apa Arti Klitih dan Apakah Klitih Jogja Masih Ada?

Dalam bahasa Jawa, klitih adalah suatu aktivitas mencari angin di luar rumah atau keluyuran.

Sejarah Klitih, Apa Arti Klitih dan Apakah Klitih Jogja Masih Ada?
Ratusan anggota organisasi masyarakat (Ormas) melakukan aksi di halaman Polda DIY, Sleman, DI Yogyakarta, Senin (3/2/2020). ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah/foc.

tirto.id - Tagar #YogyaTidakAman #Klitih hingga #SriSultanYogyaDaruratKlithih ramai diperbincangkan warganet di Twitter, Selasa (28/12/2021).

Tagar ini ramai menjadi perbincangan berawal dari salah seorang warganet yang membagi ceritanya soal kejadian klitih yang ia alami. Lantas banyak warganet di Twitter yang juga membagikan kisah klitih yang mereka temui atau bahkan mereka alami sendiri.

Ramainya tagar tersebut juga menjadi respons terkait kejahatan jalanan yang beberapa kali terjadi di Jogja dan dikenal dengan istilah aksi klitih.

Sebelumnya pada Selasa (4/2/2020) tagar #DIYdaruratklitih juga sempat ramai di Twitter. Saat itu, tagar tersebut muncul usai adanya kasus kejahatan jalanan atau klithih yang menimpa tiga driver ojek online dalam waktu sepekan.

Kali ini, tagar tersebut kembali ramai diperbincangkan karena banyak warganet yang merasa polisi dan Pemda DIY dianggap tak serius menangani kasus kejahatan jalanan atau klithih yang masih saja terjadi di Jogja.

Apa itu arti klitih dan sejarahnya?

Dalam bahasa Jawa, klitih adalah suatu aktivitas mencari angin di luar rumah atau keluyuran. Namun, dalam dunia kekerasan remaja Jogja, pemaknaan klitih kemudian berkembang sebagai aksi kekerasan atau kejahatan jalanan dengan senjata tajam atau tindak-tanduk kriminal anak di bawah umur di luar kelaziman.

Namun, Suprapto, Kriminolog yang sebelumnya bergabung di Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada saat diwawancara Tirto pada Selasa (4/2/2020) lalu mengatakan tak setuju dengan istilah klitih yang terus digunakan untuk mendefinisikan kejahatan jalanan.

"Kejahatan jalanan itu beda dengan klitih. Jangan menyebut klitih karena klitih sendiri berarti aktifitas positif yang dilakukan untuk mengisi waktu luang. Sayangnya ini kemudian diadaptasi pelajar atau remaja untuk kegiatan mencari musuh," ujar Suprapto.

Suprapto juga mengatakan sebetulnya aktifitas yang dilakukan pelajar tersebut berbeda dengan aksi kejahatan jalanan berupa pembacokan.

"Pelajar itu punya aturan sendiri, mereka tidak akan menyerang (membacok) perempuan, orang yang boncengan, orang tua. Aksi pembacokan yang menimpa driver online beberapa hari lalu menurut saya bukan dilakukan oleh pelajar atau geng pelajar karena itu bukan target mereka," ujar Suprapto pada Selasa (4/2/2020) lalu.

Menurutnya untuk mengatasi masalah kejahatan jalanan yang beberapa kali terjadi ada beberapa cara yang bisa dilakukan, salah satunya adalah penggunaan pasal soal penganiayaan yang berecana.

"Pelaku kan sudah punya niat, sudah bawa senjata tajam dari rumah, ini bisa disangkakan dengan penganiayaan yang berencana dan hukumannya akan menjadi lebih berat," ujar Suprapto.

Kronologi kasus klitih di Jogja

Kasus kejahatan jalanan atau yang oleh masyarakat lebih dikenal dengan istilah klitih masih terjadi di Jogja hingga saat ini.

Kepada redaksi Tirto, Pipoy, salah satu korban klitih, menjelaskan kejadian yang ia alami saat pulang kerja pada Senin (27/12/2021) malam.

Saat kejadian, menurutnya sekitar pukul 19.00 kurang, kala itu ia sedang pulang kerja. Karena kondisi Jogja yang hujan dan mata Pipoy minus, sehingga membuatnya mengendarai motor dengan pelan.

"Jadi kacamataku berembun dan aku naik motor pelan-pelan dari Palagan pas lewat underpass Kentungan lampu belum nyala jadi gelap," ujarnya saat dihubungi redaksi Tirto.

"Pas jalan turunan ada mobil dia itu cat calling nah pas lihat spion sebelah kanan ada mobil jauh, sebelum aku lihat spion kiri udah ada motor metik 2 orang ciri-cirinya kurus semua, dia megang tangan aku langsung reflek keluar kata kasar terus aku buru-buru tancap gas," tambahnya.

Pipoy awalnya mengira ia akan dibegal sehingga langsung tancap gas dan masuk jalur cepat agar bisa berada di tengah-tengah mobil lainnya. Tetapi sampai kost ia baru menyadari bahwa tangannya terluka dan jaketnya sobek.

"Terus aku lewat jalur cepat biar bisa nyalip di mobil, di lampu merah Gejayan aku lihat spion udah enggak kelihatan orangnya, setelah di kost pas baru masukin motor kok tanganku perih ternyata pas aku masuk kost jaketku udah bolong udah berdarah tangannya," ujarnya.

Meski begitu, Pipoy memutuskan untuk tak melaporkan kejadian tersebut ke Polisi. Ia lebih memilih membagikan kisah tersebut di Twitter agar masyarakat di Jogja lebih berhati-hati terhadap klitih.

Keputusan Pipoy tak melaporkan kasus yang ia alami, menurutnya juga karena sudah banyak kasus serupa yang terjadi di Jogja namun hingga saat ini klitih masih saja terjadi di Jogja.

Sementara itu, sebagian besar kasus klitih yang terjadi di Jogja korbannya adalah laki-laki. Pipoy pun merasa heran mengapa ia yang seorang perempuan juga menjadi korban.

"Setahuku klitih biasanya korbannya laki-laki, mungkin karena baju yang aku pakai dari belakang kelihatan kayak laki-laki, aku pakai baju gombrong," ujarnya.

Sementara itu, saat dihubungi redaksi Tirto dan hingga berita ini ditayangkan pada pukul 15.00, Kabid Humas Polda DIY Kombes Yulianto belum mau memberikan keterangan terkait update terbaru kasus klitih di Jogja.

Bisakah klitih diberantas

Dosen Sosiologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Arie Sujito saat dihubungi redaksi Tirto pada Selasa (4/2/2020) lalu mengatakan terdapat regenerasi sehingga kasus klitih, terutama di tingkat pelajar di Yogyakarta menjadi sulit untuk diberantas.

"Ini terjadi regenerasi kasus dan reproduksi. Dulu terjadi karena sentimen kelompok, tapi sekarang polanya bergeser. Banyak orang hanya iseng, orang baru belanja disikat, cuma gaya-gaya. Polanya ini tidak bisa kita mendiagnosis seperti dulu," kata Arie.

Regenerasi kekerasan di kalangan pelajar itu, kata Arie, terjadi sejak dulu. Namun, kata dia, pola yang sekarang terjadi perlu untuk dipelajari.

Saat ini, kata Arie, polanya berbeda dengan dulu yang lebih pada pertarungan antar-geng. Hingga kemudian identifikasi terhadap setiap peristiwa itu jauh lebih mudah.

"Kalau ruang publik makin kumuh, pendekatannya tidak bisa sekadar menduga kelompok tertentu pelakunya. Kalau dulu bisa," kata dia.

Dengan persoalan yang semakin kompleks, kata Arie, memang perlu keterlibatan seluruh elemen masyarakat dalam mengatasi masalah klitih.

“Polisi punya keterbatasan, dia punya pendekatan hukum. Maka itu masyarakat harus dilibatkan sekolah juga begitu,” kata Arie.

Baca juga artikel terkait KLITIH atau tulisan lainnya dari Nur Hidayah Perwitasari

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Nur Hidayah Perwitasari
Editor: Iswara N Raditya