Menuju konten utama

Sejarah Kerajaan Siau: Ditaklukkan VOC dan Menganut Protestanisme

Selain Kerajaan Manado Tua, di Sulawesi Utara juga pernah ada Kerajaan Siau yang semula Katolik lalu menjadi Protestan setelah ditaklukkan VOC.

Sejarah Kerajaan Siau: Ditaklukkan VOC dan Menganut Protestanisme
Ilustrasi kerajaan Siau. tirto.id/Fuad

tirto.id - Rombongan kapal Portugis tiba di Pulau Manado Tua pada Mei 1563. Dalam rombongan itu terdapat seorang misionaris Katolik, Pater Magelhaes.

“Penduduk ingin sekali menerima agama orang-orang Portugis. Pater Magelhaes mempergunakan waktu dua minggu mengajar mereka tentang pokok-pokok agama Kristen,” tulis Th van den End dalam Ragi Carita I (1987:80).

Raja Manado Tua dan 1.500 orang lainnya kemudian dibaptis sebagai umat Katolik. Dari sana, Pater Magelhaes kemudian ke Kaidipan, utara Gorontalo, dan membaptis 2.000 orang.

Ketika Portugis datang, Raja Posuma dari Kerajaan Siau juga tengah berada di Manado Tua. Dia tertarik dengan Katolik dan ikut dibaptis serta mendapat nama Portugis Jeronimo, yang kemudian dikenal sebagai Don Jeronimo. Menurut van den End, rakyat Siau kemudian mengikuti jejaknya menjadi umat Katolik.

Saat itu, seperti disebut Jessy Wenas dalam Sejarah dan Kebudayaan Minahasa (2007:42), ketika orang-orang Siau sudah kenal agama Kristen dan huruf latinnya, para pemuka Minahasa di daratan Sulawesi Utara masih menganut ajaran lokal, yang oleh orang Belanda disebut Alifuru.

Siau adalah sebuah pulau yang terletak di sebelah utara Kota Manado, dan kini menjadi bagian dari Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro, Sulawesi Utara. Feodalisme di Siau punya keterkaitan masa lalu dengan orang-orang Mindanao di Filipina selatan. Sebelum agama Islam dan Kristen tiba di Nusantara, Siau juga mempunyai kepercayaan lokal.

“Siau tetap menjadi pusat misi antara Sulawesi dan Mindanao. Rajanya, yang memilih nama Jeronimo I, dengan sangat antusias mencoba mengubah banyak adat Pagan di pulau itu,” tulis penyusun buku A History of Christianity in Indonesia (2008:64) yang disunting Jan Aritonang dan Karel Stenbrink.

Namun, penyebaran Katolik di Kerajaan Siau ternyata kurang berjalan. Pembaptisan tidak diikuti dengan pembinaan rohaniawan Katolik yang kompeten. Dalam hitungan puluhan tahun, agama Katolik di Siau mulai luntur dan masyarakat kembali pada kepercayaan lokalnya. Raja Jeronimo I kemudian digantikan oleh Jeronimo II.

Saat Siau terancam oleh Ternate dan Portugis tak bisa diharapkan, mereka mulai menjalin persahabatan dengan Spanyol. Alex John Ulaen dalam Nusa Utara: Dari Lintasan Niaga ke Daerah Perbatasan (2003:62) menyebutkan bahwa “perkembangan kedatuan Siau--yang berakar dari kedatuan Bawontehu (Manado Tua) dan mempunyai ikatan genealogi dengan keturunan Medellu sangat dipengaruhi oleh kehadiran bangsa Portugis dan Spanyol.”

Sementara Jessy Wenas dalam Sejarah dan Kebudayaan Minahasa (2007:43) menulis, “Tahun 1593 Raja Siau Jeronimo Winsulangi pergi ke Manila di Filipina Selatan untuk meminta bantuan Spanyol yang sejak tahun 1564 telah mendirikan koloni di Manila.”

Karena sejak awal berhubungan dengan Portugis yang Katolik, maka Siau lebih nyaman bersahabat dengan Spanyol yang juga Katolik, daripada dengan Belanda yang Protestan. Selain itu, karena Belanda juga sempat menjadi sekutu Ternate yang mengancam mereka.

Meski pada 1606 Ternate berhasil dikalahkan Spanyol, tetapi atas bantuan Belanda mereka terus melakukan gangguan terhadap Siau. Gangguan mereka salah satunya adalah membunuh seorang guru agama Katolik. Masalah lainnya justru timbul dari Raja Siau yang masih melakukan poligami. Hal ini berperan dalam menghambat penyebaran agama Katolik di kerajaannya.

Namun suatu hari, raja bermimpi didatangi ayahnya yang menyuruhnya membangun gereja dan minta kepada Spanyol untuk mendatangkan misionaris. Setelah itu, seperti disebut Th van den End dalam Ragi Carita I (1987:83), rakyat Siau berbondong-bondong mendengarkan pelajaran agama dari para pater. Hal ini pada akhirnya membuat seluruh rakyat Siau menganut Kristen Katolik.

Warsa 1677, situasi politik di Siau kembali berubah. Tentara Kompeni Belanda dan sekutunya Ternate menduduki Siau dan Sangir. Raja Siau Don Franciscus Xaverius Bataveros terpaksa membuat kesepakatan dengan VOC, termasuk dalam perkara agama. Raja dan rakyatnya dipaksa pindah agama dari Katolik ke Kristen Protestan yang membuat misi Katolik di Siau pun berakhir.

Infografik kerajaan Siau

Infografik kerajaan Siau. tirto.id/Fuad

Pendudukan VOC terhadap Siau tidak terutama karena motif agama, melainkan potensi ekonominya. Siau adalah penghasil cengkeh, dan VOC menjadikan daerah Manado sebagai pos pelayaran yang menyediakan logistik.

Pada mulanya, apalagi selama tidak membahayakan, VOC tidak hendak menghancurkan kerajaan-kerajaan yang ada di Nusantara, melainkan hanya menjadikannya sebagai mitra dagang. Oleh karena itu, Kerajaan Siau pun dibiarkan hidup.

Kerajaan Siau, menurut Bambang Suwondo dalam Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Sulawesi Utara (1978:119), mendapat subsidi dari pemerintah kolonial dalam rangka menjalankan Politik Etis. Sekolah diperbanyak dan Kerajaan Siau diperbolehkan membangun kekuatan militer. Belanda berharap suatu saat militer Siau akan membantu mereka jika terseret dalam Perang Dunia I.

Ketika pergerakan nasional di Jawa sedang ramai, Raja Siau yang bernama Lodewijk Nicolaas Kansil disebut ikut terlibat dan punya kaitan dengan Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Partai Rakyat Indonesia (PARI).

Setelah proklamasi kemerdekaan, tepatnya pada tahun 1946, Kerajaan Siau yang masih eksis dihuni juga oleh kaum pro Republik yang diintai NICA. Kerajaan ini berakhir pada taun 1956 dengan raja terakhirnya Ch David.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Pendidikan
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Irfan Teguh